Ch14 : Jendela Yang Tertutup
Djanu hanya membolak-balik makanan di piringnya dengan malas. Selain karena alasan sayurnya adalah salah satu yang dia benci, pikirannya juga sedang tidak berada di tempat.
Kejadian tidak terduga beberapa hari sebelumnya masih menyisakan banyak tanda tanya di kepalanya. Dia sering melamun dan membayangkan berada di situasi itu kembali. Ditambah lagi, tetangga sebelah yang jarak jendela kamarnya hanya beberapa jengkal itu seolah menutup diri dari mereka setelah kejadian itu. Membuat rasa penasaran Djanu semakin membuncah.
Prajna seperti sedang menjaga jarak. Bahkan Djanu hanya melihatnya sesekali, itupun hanya sekilas. Gadis itu seolah sengaja tidak ingin terlihat olehnya dengan alasan yang Djanu tidak ketahui. Mungkin Prajna malu karena sudah bertengkar dengan keluarganya di depan dirinya. Dan dia menganggap itu sesuatu yang seharusnya tidak disaksikan orang lain.
Tapi Djanu bisa apa? Dia sama sekali tidak sengaja mendengar sesuatu se-privat itu. Bukan kemauannya. Bahkan Djanu yakin jika dia bergerak saat itu, kedua pihak tidak akan mengungkapkan perasaan masing-masing karena momennya diganggu. Jadi Djanu berusaha untuk percaya bahwa dia sudah melakukan hal yang tepat karena tidak beranjak dari sana dan mengubah suasana.
Tanpa sadar Djanu menghela napas cukup keras. Membuat orang-orang yang ada di meja makan itu mengernyit bingung.
"Kok kalian berdua sama sih, " ucap Retno tiba-tiba. Membuat Djanu dan Gani-- yang baru sampai rumah tadi pagi untuk beberapa barangnya yang tertinggal, memandang bersamaan ke arah satu-satunya perempuan di ruangan itu.
Bahkan Pram juga ikut mengangkat pandangannya untuk mencari tahu apa yang sangat istri maksud. Saat tidak mendapat jawabannya, Laki-laki paruh bayu itu menoleh ke arah Retno sambil mengangkat kedua alisnya.
"Itu lho, Pak, ga suka sayur kacang. Lihat geh mereka. Ngumpul semua di pinggir ga ada yang di makan, " ucap Retno sambil menunjuk ke arah piring Gani dan Djanu bergantian. Berdecak sebal karena sayur kesukaannya justru ditolak oleh anak-anak ini.
Ketiga laki-laki berbeda usia yang ada di meja itu ikut mengarahkan pandangan pada apa yang Retno maksud. Gani dan Djanu reflek saling menatap satu sama lain dengan kedua alis yang hampir bertaut.
"Ngapa kamu ikut-ikutan? " ucap Gani sewot.
"Dih, sorry to say, the world does not revolve around you, yak. Kepedean. Dari lahir kali aku memang ga suka kacang-kacangan. " Djanu mengelak dengan elitnya. Padahal dia sudah lama tahu ini bahwa ketidaksukaannya pada Kacang-kacangan bisa jadi memang turunan bapaknya. Tapi jelas dia tidak bisa mengakui itu di sini. Bisa dianggap gila dia.
"Karena aku yang lahir lebih dulu. Jadi pasti kamu yang ikut-ikutan, " ujar Gani belum mau kalah. Membuat Djanu yang mendengarnya melongo tak percaya.
"Dan teori dari mana itu? Ini nih kalo ada pelajaran IPA pasti sering bolos makanya pikirannya absurd begitu. "
"Oh... oh ngelak ya... "
"Huss... hahaha, udah-udah. Perkara kacang aja sampe kayak gitu. " Retno melerai dengan suara yang agak keras. Berusaha bersikap tegas tapi nyatanya dia tidak bisa menahan tertawanya sejak tadi. Selama ini mereka terbiasa dengan Gani yang tidak banyak bercanda saat di rumah, membuat kehadiran Djanu yang seperti adik menyebalkan membuat rumah itu terlihat sangat hidup.
Setelah membantu membereskan makan malam keduanya masuk ke kamar Gani. Gani yang belum merasakan kantuk mengambil gitar dan duduk di pinggiran kasur, sedang Djanu memilih duduk di bangku dekat jendela yang mengarah langsung ke jendela kamar Prajna. Lagi-lagi pikirannya dipenuhi hal-hal yang tidak biasa.
"Kalian udah gencatan senjata, ya?" tanya Gani setelah memergoki Djanu yang beberapa kali terlihat sedang mencuri pandang pada jendela di depannya. Mungkin berharap jendela itu tiba-tiba terbuka dan menunjukan penghuni kamarnya.
"Siapa? Aku sama? "
"Prajna lah. Siapa lagi. Seminggu kemarin waktu aku tinggal masih ada tanduk merah di kepala kalian masing-masing. Sekarang udah ga ada. "
Djanu hanya mengangkat bahunya acuh tanpa berniat menanggapi. Lagi-lagi dia melihat ke arah jendela yang masih setia menutup.
"Kamu khawatir sama Prajna karena kejadian kemarin?" tanya Gani setelah membaca gerak tubuh Djanu yang tidak seperti biasa. Gani sudah mendengar cerita lengkapnya dari Retno tentang situasi yang membuat Djanu terjebak kemarin. Membuatnya merasa sedikit bersalah.
Djanu menoleh sekilas dan hanya menganggkat bahunya. Tidak yakin tentang apa yang dia rasakan ini sekedar penasaran atau benar-benar peduli.
"Ga usah terlalu khawatir. Dia biasa begitu memang kalo lagi ada masalah. Ngilang gitu aja dan ga mau ketemu siapapun. Nanti tiba-tiba balik lagi kayak ga pernah terjadi apa-apa sebelumnya. "
"Siapa juga yang khawatir, " jawab Djanu acuh. Dalam hati ingin bertanya lebih lanjut tentang sampai kapan biasany Prajna akan menjauhi semua orang seperti ini. Dan seperti membaca isi kepalanya, Gani kembali memberitahunya kebiasaan Prajna.
"Ga lama kok. Biasanya dua tiga hari tergantung seberapa berat masalahnya. Kalau kayak kemarin sih kayaknya semingguan baru dia mau nongol. Setidaknya sehari sekali kita bisa lihat dia ambil wudhu. Itu artinya keadaan fisiknya baik-baik aja. Biasanya aku nunggu dia mau keluar baru menemaninya jalan-jalan dan memberinya pilihan untuk bercerita atau tidak."
"Kamu biarin temenmu sembuh sendiri dan nunggu dia kembali dari acara penyembuhan itu? Gila kamu, gimana kalau seandainya dia ga kembali dari persembunyiannya itu?"
"Kamu ga cukup kenal Prajna makanya bilang begitu. Dia ga pernah dendam sama siapapun seperti apapun tegasnya mbah putri dan ibunya. Justru dia ga bisaan anaknya. Aku percaya dia ga akan ngelakuin hal-hal yang aneh. Masalahnya itu ya cuma bertarung dengan diri sendiri. "
"Di tempatku, justru orang-orang yang ga bisa menerima diri sendiri seperti ini yang butuh dirangkul segera. Mereka bisa ngelakuin apa aja. "
"Prajna bukan salah satu dari mereka. Prajna selalu bisa keluar dari lubang persembunyian dengan keadaan yang semakin baik. "
Djanu menghela napasnya. Percuma berdebat dengan seseorang yang isi kepalanya penuh keyakinan bahwa seseorang yang dia pedulikan itu adalah seseorang yang selalu positif.
Djanu yang hidup di masa depan dan tahu bagaimana kesehatan mental menjadi masalah yang cukup mendapat perhatian di zamannya tidak bisa tenang begitu saja. Dia bisa menilai jika Prajna banyak menahan sesuatu selama ini. Tubuhnya bahkan mengisyaratkan lelah yang sangat kentara. Djanu sering memergoki gadis itu sedang berdiri dengan tatapan kosongnya. Membuat Djanu semakin yakin jika Prajna sebenarnya tidak baik-baik saja.
"Kalau kamu segitu khawatirnya, temuin langsung aja besok. Dia biasanya jaga perpustakaan desa dari jam 8 sampai jam 3 sore. Tuntasin itu rasa apapun yang mengganjal menurutmu dan luruskan. "
Djanu menoleh cepat mendengar kata-kata yang Gani ucapkan. Saking banyaknya kegiatan sampai lupa kalau dia bukan berasal dari tempat yang sama dan bisa mengunjungi mereka kapanpun dia mau.
****
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro