Ch11 : A Day With You
Djanu dan Prajna menyelesaikan urusan kampus tepat saat adzan dhuhur berkumandang. Cukup cepat dengan bantuan Djanu yang memiliki sedikit pengalaman sebelumnya. Ternyata prosedur penerimaan mahasiswa tidak jauh berbeda dari zamannya berada.
Sebelum melanjutkan ke tujuan selanjutnya, mereka memutuskan untuk istirahat sejenak di masjid yang masih berada di area kampus. Memberi waktu untuk Prajna sholat Dhuhur dan Djanu mengistirahatkan punggungnya yang lumayan pegal. Perjalanan selama 3 jam penuh tanpa jeda cukup mengejutkan otot-ototnya. Terlebih, sudah cukup lama dia tidak berkendara sepeda motor sejauh ini. Jika bepergian jauh, dia dan Garru biasanya akan berkendara dengan mobil dan mengemudi secara bergantian.
Djanu merebahkan dirinya di teras masjid kampus yang cukup besar. Satu hal yang menjadi misteri untuknya selama ini adalah suasana tempat ibadah yang selalu terasa sejuk dan nyaman untuk tidur. Tempat ibadah apapun itu. Dia sering mampir di masjid-masjid, atau masuk area wihara dan pura, dan semuanya memberi kesan yang sama. Membuat Djanu yakin, apapun agama yang dianut, semua mengusung kebaikan yang sama. Hal itu tampak dari tempat-tempat ibadah mereka yang memancarkan keteduhan baginya.
Djanu sudah hampir terlelap saat menyadari ada seseorang yang duduk perlahan di sebelahnya. Dia mengangkat lengannya yang sebelumnya menutupi kepala untuk melihat Prajna yang sedang mengamatinya.
"Tidur dulu aja nggak papa. Setengah jam lagi kita cari makan siang terus lanjut pulang biar ga kesorean. Agak serem kalau lewat sawah-sawah itu soalnya. Jam 5 ke bawah biasanya sepi banget. "
Djanu mengangguk samar dan kembali mengangkat lengannya untuk menutupi mata. Jujur saja dia memang kelelahan. Beberapa saat dia mencoba mengosongkan pikiran dan memejamkan matanya rapat. Namun, suara beberapa rombongan yang sepertinya sedang beristirahat juga di sekitar mereka mengusik niatnya yang sudah hampir terlelap.
Dia menghela napas lelah dan terduduk begitu saja. Membuat Prajna yang sedang membaca buku di sebelahnya menengok terkejut.
"Kenapa?"
"Mana bisa tidur kalo serame itu," ucap Djanu kesal sambil melihat sekitarnya yang berisik. Agak kurang suka dengan yang orang-orang itu lakukan karena bercanda tidak pada tempatnya. Di tambah lagi, banyak yang masih menunaikan sholat Dhuhur di dalam sana. Sungguh sebuah gangguan yang menyebalkan menurutnya.
"Pindah sebelah sana, ayo, " ucap Prajna sambil menunjuk sisi yang agak jauh dan lebih sepi.
"Nggak usah. Istirahat bentar aja udah nggak papa. "
Prajna mengangguk dan melanjutkan bacaannya. Membiarkan Djanu bergeser mendekati tiang besar dan menyandarkan punggungnya di sana. Perasaannya campur aduk saat ini. Di satu sisi dia tidak bisa menghilangkan ketidaksukaannya pada perempuan di sebelahnya ini. Tapi di sisi lain dia juga dibuat penasaran setengah mati. Tuhan mengirimnya ke tempat ini pasti untuk mengungkapkan hal-hal yang seharusnya terungkap. Yang menjadi masalah, Djanu sama sekali tidak tahu apa itu.
"Kamu satu angkatan sama Bang Gani? " ucapnya memulai setelah sebelumnya kepalanya berdebat tentang seberapa perlu dia memulai obrolan.
Prajna mengangguk berkali-kali tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang dia baca. Ada rona merah terlihat yang membuat Djanu sedikit mengernyit. Apa tebakannya selama ini benar?
"Ambil jurusan apa tadi? "
"Psikologi, " jawab Prajna sambil menutup bukunya dan memasukkan buku tebal itu ke dalam ranselnya.
"Ada hal spesial sama jurusan itu? "
Prajna tidak langsung menjawab. Dia justru memandang kosong ke arah depan dengan kaki yang mengayun pelan di teras masjid yang cukup tinggi.
"Dulu aku pengennya bahasa Inggris. Bahkan tes bareng sama Gani. Sejak gagal lanjut waktu itu dan sempet nunda kuliah selama 3 tahun, banyak hal yang terjadi. Dan sepertinya aku mulai tertarik pada kehidupan manusia lain. "
Djanu tidak cukup mengerti. Tapi dia mengangguk-anggukan kepalanya seolah paham. Selama ini dia termasuk seseorang yang tidak terlalu peduli dengan hubungan antar manusia. Jadi melihat orang lain tertarik tentang itu tidak memiliki dampak yang besar untuknya.
"Kenapa nggak lanjut? Aku denger dari Bang Gani bahkan dia bisa masuk karena kamu bantu, eh, gimana aku manggilnya ya? Kok kesannya jadi kurang sopan."
Prajna terkekeh. Cukup terkejut dengan cara bicara anak laki-laki di depannya itu. Cukup berbeda dari kesan yang dia tunjukkan selama ini, bahkan tadi pagi.
"Hmmm ... ada satu dua hal lain yang bikin aku mutusin buat nggak ambil itu. Gani sempet kecewa karena itu sebenernya bukan jurusan yang dia mau dan masuk ke sana dengan bayangan kami akan satu kampus kembali. Tapi mau gimana lagi. Pak Pram sama Ibu Retno senang sekali anaknya masuk ke PTN bergengsi, jurungan Bahasa Inggris pula. Jadi nggak tega kalau mau gagalin juga. Oh, ya, panggil Mba Prajna atau Mba Na aja kayak anak-anak lesku. Biar nggak canggung. Aku tebak kamu jauh lebih muda. "
Djanu terdiam setelah mendengar jawaban Prajna. Dia merasa ada beberapa hal yang gadis di sebelahnya ini sembunyikan tapi dia memilih acuh. Dia orang baru dan bukan siapa-siapa. Membuat dirinya sadar tidak memiliki hak apapun untuk bertanya lebih jauh.
"Kamu kuliah di mana? Kalau dilihat dari cara kamu ngomong kayaknya dari kota besar, ya? "
"Jurusan Musik, Yogya, " ucap Djanu cepat. Kali ini dia memutuskan untuk jujur karena akan lebih mudah menjawab setelahnya. Dia percaya jika hukum yang mengatakan bahwa sebuah kebohongan akan membuatmu berbohong lagi dan lagi itu benar adanya.
"WOW! Anak ISI ternyata? Keren! "
"Nggak seheboh itu sih. Karena nyatanya anak ISI pun nggak jauh beda dari yang lain."
"Tetep aja, itu termasuk PTN yang disegani. Keren banget bisa masuk ke sana. Trus, kenapa bisa kamu nyasar sampai sebrang pulau? "
Djanu menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Bingung harus menjawab apa. Nyatanya dia sendiri pun juga tidak tahu alasan dia di sini dan kenapa.
"Namanya kabur ya kabur aja. Ke mana aja yang penting jauh dari rumah. Kebetulan ada kenalannya di sini. "
Dibuat sedramatis mungkin agar tidak mencurigakan. Dan Djanu berharap Prajna menerima alasan itu dan tidak banyak bertanya lagi.
Prajna menganggukkan kepalanya pelan. Kemudian melihat jam tangan kecil yang melingkar di pergelangan tangannya. Setengah jam lebih sudah berlalu tanpa keduanya sadari. Prajna akui Djanu yang bicara tanpa menarik otot lehernya jauh lebih manis ketimbang Djanu yang dia temui beberapa hari ini.
"Yuk, takut kesorean. "
Djanu mengangguk pelan dan beringsut mendekati sepatu hasil pinjaman tanpa bertanya dari Gani tadi pagi. Dia memasang dan mengikat tali sepatunya erat, bersiap untuk melakukan perjalanan jauh kembali. Diraihnya hoody hitam tebal yang juga hasil meminjam dan memasangkannya begitu saja. Membuat beberapa bagian rambutnya mencuat ke mana-mana dan berantakan.
Prajna terkekeh dan berjalan ke arahnya. Perempuan muda yang akan berusia 21 tahun itu tiba-tiba mengacak rambut berantakan Djanu, bermaksud merapikannya. Perlakuan sederhana yang mungkin biasa orang lakukan pada anggota keluarga yang lebih muda. Masalahnya, Djanu dan Prajna bukan anggota keluarga, dan tindakan sederhana yang Prajna lakukan tanpa berpikir itu telak membuat isi kepala Djanu tiba-tiba kosong. Dia terdiam dengan detak jantung yang semakin cepat.
*******
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro