Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ch 13: Alasan Penolakan

Tahu rasanya berada di tempat yang salah di waktu yang salah? Djanu merasakannya sekarang. Badannya yang menggigil karena semua yang dia kenakan basah kuyup pun seolah terlupakan saat kepalanya sibuk menoleh ke arah Prajna dan keluarganya bergantian.

Djanu ingin segera beranjak dari sana. Tapi bahkan orang-orang ini sepertinya tidak sadar ada manusia lain di dekat mereka. Meraka tetap sibuk dengan argumen masing-masing. Jadi, alih-alih bergerak dari sana dan malah menarik perhatian, Djanu memilih untuk tetap diam di tempatnya.

"Orang tua ngelarang itu pasti ada alasannya, " ucap Rahayu sambil keluar dari pintu. Bergerak lebih dekat ke arah Arum yang tampak sangat marah.

"Kalau gitu bisa kasih tau Prajna alasannya? Ini bahkan udah tahun keempat aku lulus SMA. Mau sampai kapan harus ditunda?" jawab Prajna tak mau kalah. Gadis yang juga basah kuyup itu sepertinya menolak untuk kalah hari ini. Mungkin air hujan ikut memberikan banyak keberanian di dalam kepalanya.

"Kalau tidak diizinkan ya berarti jangan dilakukan. Mau melawan orang tua kamu? Udah merasa paling pinter? "

Mata Djanu membulat lebar mendengar kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Arum. Sesuatu yang benar-benar tidak pernah dia bayangkan bisa diucapkan seorang ibu. Menurutnya tidak ada yang salah dengan keinginan Prajna untuk melanjutkan pendidikan. Tapi dia rasa ada alasan lain kenapa keluarga Prajna terkesan sangat menolak hal baik ini. Dan dia diam untuk mencari tahu apa itu.

"Setidaknya kasih Prajna alasan, Buk. Dulu waktu baru lulus SMA Ibu bilang jangan lanjut biar Abang dulu yang sudah nunggu 3 tahun. Aku ngalah walau saat itu aku dapat beasiswa. Tahun kedua ketunda lagi karena Kakak wisuda. Tahun ketiga tetap tertunda karena Ibu bilang gagal panen. Kali ini aku pakai uangku sendiri dan Ibu tetep aja ngelarang. Sebenernya masalahnya di mana?"

Djanu dapat mendengar deru napas Prajna yang memburu. Gadis itu sepertinya mengumpulkan banyak keberanian untuk bisa mengungkapkan semua yang ada di kepalanya. Entah berapa lama Prajna menyimpan semuanya sendiri selama ini.

"Baik, mau alasan kan kamu?"

"Buk... " Arum memotong perkataan Rahayu dan menggeleng pelan ke arahnya. Tindakan yang membuat Prajna dan Djanu mengernyit bersamaan. Arum seolah tidak ingin Rahayu mengungkapkan apapun yang akan dia katakan nanti.

"Kenapa? Dia mau tau kan alasan kenapa kita ndak kasih ijin dari dulu? Ya sudah beri tau saja alasannya. "

"Tapi, Buk."

"Ya, sudah Ibuk aja yang kasih tau kalo begitu, "

Lagi-lagi ucapan Arum terpotong. Rahayu terlihat masih sama gusarnya sedang Arum tampak sangat tidak nyaman. Terlihat dari pandangannya yang mulai tidak fokus dan menghindari tatapan Prajna yang menunggu jawaban.

"Dari dulu kami memang ndak setuju kamu lanjut kuliah. Aku dan Ibumu. Buat apa memangnya sekolah tinggi-tinggi? SMA saja harusnya sudah cukup. "

"Kenapa buatku cukup sampai SMA? Mba, Abang sama Kakak bahkan lanjut kuliah semua. Kenapa aku dibedakan?"

Prajna sudah menyimpan perasaan ini sejak lama. Perasaan tidak nyaman yang timbul saat mulai menyadari ada perbedaan perlakuan untuk dirinya dengan ketiga kakaknya. Selama ini dia berusaha untuk tidak membiarkan perasaan tidak adilnya itu menguasainya. Dan tetap berpikir positif bahwa pasti keluarganya punya cara menyayanginya yang lain.

"Abang sama Kakak mu itu laki-laki. Mereka harus sekolah tinggi biar dapat pekerjaan yang lebih layak. Sedang kamu perempuan. Ndak ada alasan kenapa kamu harus sekolah tinggi jika nanti pada akhirnya hanya akan berada di rumah dan melayani suami. "

Djanu membuka mulutnya lebar saking terkejutnya. Diliriknya Prajna yang berdiri tidak jauh dari tempatnya berada. Wajah gadis itu menunjukkan keterkejutan yang sama. Bahkan, pandangannya terlihat kosong saat ini. Dia pasti amat, sangat terkejut.

"Tapi Mba juga perempuan! Dan Mba bisa kuliah sampai S1. Kenapa aku nggak boleh?"

"Justru itu kesalahan fatal Mbah dulu. Karena itu Mbah ndak mau mengulang kesalahan yang sama. Apa gunanya ijazah Mbakmu itu. Mahal-mahal dikuliahin empat tahun tapi pulang-pulang bilang ingin menikah bahkan sebelum ijazah sarjananya di terima. Bisa bayangkan bagaiamana perasaan Mbah Putri dan Ibukmu yang berjuang mati-matian karena ingin punya keturunan yang sampai sarjana? "

Terjawab sudah rasa penasaran Prajna selama ini. Jadi ini alasannya kenapa Mbah dan ibuknya seolah selalu melarang dirinya untuk melanjutkan pendidikan.

Prajna ingat kejadian ini walau samar-samar.Ingat saat Mba, kakak pertama yang berbeda 12 tahun darinya pulang ke rumah mereka di tahun ke-empat masa perkuliahannya. Mba pulang bersama seorang laki-laki yang tampak dewasa dan mapan yang ternyata adalah salah satu dosen di kampusnya.

Saat keduanya mengungkapkan maksud kedatangannya, Rahayu dan Cipto sangat terkejut dan sempat menolak keras. Bukan tentang keinginan mereka untuk menikah, tapi keluarga berharap pernikahan mereka dilaksakan setelah Mba wisuda saja.

Walau saat itu Prajna masih sekolah dasar, dia paham situasinya. Saat Cipto dan Rahayu berdebat di ruang tamu pun dia paham jika kedua orang itu awalnya tidak setuju. Namun, beberapa hari kemudian mereka tiba-tiba setuju dan pernikahan Mba tetap dilakukan.

Mba yang awalnya membuat janji akan menyelesaikan proses belajarnya setelah pernikahan mereka nyatanya tidak menepati janjinya. Dia beralasan sangat sibuk mengurus kehidupan baru sebagai orang yang baru saja berumah tangga. Membuat keluarganya yang awalnya masih sering mengingatkan menjadi sangat pasrah dan memutuskan menyerah.

Setelah tahu alasannya, Prajna mengerti bahwa keluarganya memang menyimpan trauma itu. Tapi, kepala Prajna menolak untuk menerima itu.

"Tapi aku bukan Mba! Aku nggak akan ngelakuin apa yang Mba lakuin jadi Mbah sama Ibuk nggak perlu khawatir, " ucap Prajna tegas tanpa mengalihkan tatapannya dari sang nenek.

Beberapa saat kemudian, dia menoleh ke arah ibunya dengan mata yang agak menyendu.

"Buk,Ibu tau kan seberapa ingin aku lanjutin pendidikanku? Bahkan aku sengaja ngambil banyak kerjaan sampingan selama ini karena nggak ingin nyusahin kalian. Ngeles anak-anak dengan 3 waktu berbeda di sela-sela waktuku ngelola perpustakaan desa.

" Prajna mohon, Bu, Mbah. Hanya karena Mba memilih untuk menikah muda nggak lantas semua perempuan ingin hal yang sama. Tolong jangan disamaratakan. Dan Prajna salah satunya yang menolak keras apa yang Mbah Putri katakan. Justru karena kami perempuan, kami harusnya mendapat pendidikan tinggi.

Karena kami adalah sekolah pertama buat anak-anak kami nanti, kami panutan mereka, sudah sepatutnya baik laki-laki atau perempuan itu mendapat pendidikan yang sama karena sama-sama punya tanggung jawab pada manusia-manusia yang kelak dititipkan padanya. Ya, Mbah? Prajna mohon. "

Hening menyelimuti pidato pendek yang Prajna bawakan. Kata-kata nya yang syarat akan kebenaran membuat orang-orang yang ada di sana terdiam. Entah mereka sedang mencerna apa yang baru saja Prajna katakan atau mereka tidak menangkap maksudnya sama sekali. Yang jelas, Prajna sedikit lega setelah tahu alasan di balik penolakan keluarganya dan dia yang berhasil mengungkapkan perasaannya.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro