Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#8

Kim Mingyu menahan napas saat alkohol mengguyur luka di lengan. Titik-titik keringat menghiasi pelipis. Dia tak menyangka lukanya akan lumayan lebar dan dalam. Beruntung pecahan peluru yang bersarang di sana berhasil diambil. Susah payah dia merobek kaus yang tengah dikenakan, lalu membebat lengannya dengan perlahan dan hati-hati.

Barang-barang segera dibereskan ketika langkah kaki terdengar. Seseorang masuk. Mingyu tak bisa berlama-lama di tempat seperti ini. Toilet umum bukan hal yang bisa digunakan bersembunyi dan mengobati luka oleh seseorang dengan pekerjaan berisiko seperti dirinya. Salah sedikit, identitas bisa terbongkar. Dan itu jelas bukan kabar baik.

Mingyu memakai pakaian yang digunakan saat menyamar menjadi mahasiswa. Kacamata sejak awal sudah dikenakan, sedangkan jaket yang tadi membalut tubuh telah berganti dengan hoodie cokelat polos guna menutupi luka di lengan. Mingyu tak menyisakan apa pun di tempat ini. Bahkan barang-barang kotor yang terkena darah pun dia jejalkan lagi ke dalam tas, kecuali masker dan sarung tangan yang sudah dibuang entah ke mana. Baru langkah yang terakhir ialah menyalakan keran—rasanya akan aneh bila melewatkan yang satu ini. Setelah beres, dia langsung pergi dari sana.

"Lama tidak bertemu, Kim Mingyu."

Langkah Mingyu spontan berhenti. Suara yang terdengar akrab menyapa tanpa diduga-duga. Cengkeraman pada tas yang disandarkan di bahu mengeras. Apa pun yang terjadi saat ini, dia akan menyalahkan Jeon Wonwoo bahkan bila laki-laki itu tidak tahu apa-apa.

Mingyu mencoba menulikan telinga. Usai napas berat berembus, kakinya berniat melangkah lagi tanpa memedulikan orang yang menyapanya tersebut. Lebih tepatnya, menganggap bahwa ia tak pernah mendengar sapaan itu.

"Kau tidak mau berbalik bahkan saat aku memanggil namamu?" kata orang itu lagi. Mau tak mau Mingyu akhirnya berbalik. Seulas senyum lebar yang dia benci segera tersuguh.

"Wah, akhirnya aku bisa melihatmu lagi. Kenapa tidak pernah mengangkat teleponku saat aku menghubungimu?"

Pria yang punya tinggi hampir sama dengan Mingyu mendekat. Sebelah tangannya menyentuh pundak pemuda Kim tersebut. Yang diajak bicara masih belum berminat menunjukkan respons selain wajah tegas yang sarat kebencian.

"Kau tuli atau bagaimana? Kenapa tidak menjawab?" Suara tawa penuh remeh menggelegar. Pundak dan pipi Kim Mingyu ditepuk-tepuk beberapa kali secara bergantian—yang rasanya lebih seperti ditampar pelan-pelan. Asap rokok menggilas pandangan Kim Mingyu—memang sengaja disemburkan untuk memancing amarah laki-laki tersebut.

"Apa maumu, Kim Min Hyuk?" tanya Mingyu. Dingin. Tegas. Sama sekali tidak ingin melontarkan basa-basi.

"Ya, kau sudah berani kurang ajar padaku?" Pria yang dipanggil Kim Min Hyuk itu tertawa rendah dengan gigi saling bergesekkan. Dengkusannya membuat rahang Mingyu makin mengeras.

"Memangnya aku harus bagaimana?" Kini giliran Mingyu yang meloloskan dengkusan samar.

"Wah, berengsek satu ini benar-benar mengejutkan." Min Hyuk menurunkan rokok dari bibir, menjatuhkan nikotin tersebut, lalu diinjak dengan amarah yang berusaha ditekan sedemikian rupa. Lidahnya bergerak melumasi bibir yang kering. Dahi Mingyu didorong menggunakan telunjuk beberapa kali. "Geurae, kau tidak harus melakukan apa pun, sialan."

Beruntung, area sekitar toilet umum ini sepi. Hampir tidak ada orang yang lewat berlalu-lalang. Jadi, meski mereka pada akhirnya akan saling adu jotos, rasanya tidak begitu masalah. Yang masalah adalah Mingyu tak terlalu berminat meladeni Min Hyuk. Dia tidak ingin terlibat dalam kekacauan apa pun. Tidak akan.

"Kalau sudah selesai bicara, biarkan aku pergi."

"Apa?" Tawa Min Hyuk tak bisa ditahan. Sebelah tangannya kembali menepuk pundak Mingyu. Entah apa yang perlu ditertawakan, Mingyu tidak ingin tahu ataupun peduli. "Wah, Kim Mingyu yang sekarang sungguh berbeda. Lebih berengsek dan tak berguna."

Kim Mingyu berusaha menatap orang di depannya ini sekali lagi. Lalu tanpa mengatakan apa pun, kakinya diayunkan untuk meninggalkan tempat tersebut.

"Hei, hei, kau mau ke mana? Kakakmu sedang bicara, dan kau pergi begitu saja?"

Mingyu meremat jemari kuat-kuat. Telinganya tak ingin mendengar pria itu bicara lagi. Melihat Min Hyuk terlalu lama sama saja menggores luka lebih dalam. Alasan dia menjadi seperti ini, itu semua tak lepas dari campur tangan Min Hyuk. Pria itu yang mengubahnya menjadi monster.

Sungguh, dia tidak ingin bertemu pria itu lagi. Yang harus dia lakukan hanyalah berjalan lurus ke depan, tanpa berpikiran untuk menoleh sedikit pun.

"Ya! Kim Mingyu! Berhenti, berengsek!"

•ㅅ•

Kim Mingyu sudah kembali ke Yeouido saat mambang petang menggenang, memantulkan cahaya di permukaan Sungai Han. Dia memutuskan untuk singgah ke toko sebentar saat Hoshi mengabari bahwa Jung Chaeyeon sempat mencarinya—tentu karena masalah ponsel yang dia janjikan akan dikembalikan hari ini. Dengan alasan itu pula, kini dia duduk sambil menyesap secangkir teh yang disiapkan sendiri. Sementara yang duduk di seberang sambil bertopang dagu adalah orang bersangkutan yang namanya telah disebut.

Belakangan ini, Haengbok Florist tutup lebih awal selama perbaikan berlangsung. Entah itu alasan yang sebenarnya atau tidak, yang jelas begitulah Mingyu mengambil kesimpulan secara sepihak. Ini lumayan menguntungkan, sebab ia bisa setidaknya merihatkan diri untuk meredakan lelah yang berkepanjangan. Menjalankan misi sepanjang malam, lalu bekerja lagi keesokannya bukanlah hal mudah. Dia juga masih manusia yang perlu istirahat.

"Hari ini kau tidak masuk kerja lagi. Habis dari mana?"

Dalam hati, Mingyu sempat melempar rasa heran karena mengundang gadis ini ke toko hanya untuk mengembalikan ponsel. Ya, walaupun itu memang yang seharusnya dilakukan. Tapi entah mengapa, saat berbincang dengan Jung Chaeyeon, tempat yang menurutnya bisa melengkapi hanyalah toko bunga ini.

Tidak, tidak. Maksudnya bukan begitu. Mingyu hanya merasa toko ini lebih aman mengingat apa yang telah terjadi saat mereka singgah di Yeouido Hangang Park beberapa waktu lalu. Entah siapa yang melakukannya, Mingyu belum menggali informasi lebih banyak.

"Ada urusan mendesak," balas Mingyu singkat.

"Benarkah? Urusan apa?" Gadis itu agak mencondongkan tubuh, terlihat ingin tahu. Mingyu yang merasa tak biasa ditatap begitu langsung beringsut mundur.

"Yang jelas tidak ada hubungannya denganmu, Jung Chaeyeon-ssi. Kenapa kau ingin tahu?"

"Ya, ponselku masih ada padamu. Jadi bagaimana mungkin aku tidak ingin tahu?" katanya. Rautnya sengaja dibuat agak jengkel demi melihat bagaimana reaksi manusia di depannya ini. "Kukira kau berniat menjualnya," imbuh Chaeyeon.

"Apa aku terlihat seperti orang yang ingin menjual ponselmu?"

"Bukan begitu maksudku." Chaeyeon menghela napas. Sudah, cukup. Dia tidak ingin melanjutkan berdebat dengan laki-laki Kim ini. "Omong-omong, mukamu terlihat pucat. Kau sakit?"

"Aku baik-baik saja."

Chaeyeon mengerutkan kening tak percaya. Apalagi melihat luka di—Oh! Benar! Luka itu. Luka yang sejak tadi sempat menarik atensi tanpa berani bertanya lebih. Takut kalau laki-laki ini tidak nyaman atau semacamnya.

"Tunggu sebentar." Chaeyeon buru-buru merogoh tas, mencari sesuatu di dalam sana.

"Apa yang kau lakukan?" Mingyu bertanya ketika Chaeyeon berdiri mendekat dengan tangan terjulur di dahi.

"Kau terluka. Biar aku bantu obati."

"Tidak perlu," tolak Mingyu cepat. Poni yang semula membelah dahi, kini dibuat menutupi seluruh dahi.

"Kim Mingyu-ssi, aku jarang sekali melakukan hal begini kepada orang lain. Jadi, diam dan terima saja. Mengerti?"

"Sudahlah, aku tidak apa-apa. Ini cuma luka kecil." Mingyu masih berusaha menolak. Sungguh, ia hanya tidak ingin gadis itu bertanya lebih mengapa dia bisa mendapat luka tersebut. Jadi ia buru-buru menepis tangan Chaeyeon yang hendak menyentuh pelipisnya karena tak mau mendengarkan. Muka gadis itu langsung ditekuk. Mulutnya mengerucut. Mingyu jadi serba salah kalau sudah begini. Akhirnya, meski agak terpaksa, dia membiarkan Chaeyeon melakukannya.

"Baiklah, silakan kau obati."

Seketika wajah Chaeyeon langsung semringah. Dia mendekat, mencari posisi yang tepat sebelum menyingkirkan poni Mingyu yang sudah terlalu panjang. Salep luka dioleskan perlahan menggunakan ujung jari. Mingyu cuma bisa diam kaku. Terlalu canggung untuk sekadar mengucapkan sepatah dua patah kata dengan jarak sedekat ini.

"Nah, sudah beres." Chaeyeon menempelkan plester luka bermotif beruang sebagai sentuhan terakhir. Senyum tipisnya dikulum. Takut bila tertawa, Mingyu malah akan tahu dan melepasnya.

"Terima kasih."

"Kalau kau berterima kasih, traktir aku minum."

"Tidak bisa hari ini."

"Ah, kenapa?" Chaeyeon refleks menepuk lengan Mingyu keras. Laki-laki itu langsung memekik.

"Akh! Kenapa kau memukulku?!" Suara Mingyu meninggi tanpa sadar. Luka yang masih basah seketika berdenyut-denyut. Chaeyeon bergerak sedikit mundur, terlalu terkejut mendengar suara keras Mingyu.

"Astaga, maaf. A-aku tidak bermaksud begitu." Chaeyeon hanya tahu kalau lengan lelaki itu sempat diperban sesaat sebelum kakinya menyelinap masuk ke toko. Dan barusan dia tak sengaja menepuknya begitu keras.

"Lupakan. Lebih baik kau pulang."

Hening sesaat. Chaeyeon tidak tahu harus mengucapkan apa, sedangkan Mingyu baru saja menyadari bahwa dia secara tak sengaja sudah membentak gadis tersebut. Rasa bersalah langsung mencuat. Mulutnya nyaris terbuka bila dering ponsel tidak berbunyi tiba-tiba.

"Ah, iya, Ayah. Aku akan segera pulang." Chaeyeon sempat melirik ke arah Mingyu selagi berbicara di telepon. "Aku baik-baik saja. Ponselku sudah kembali, kok."

"Hm, baiklah. Aku juga mencintai Ayah."

"Aku akan mengantarmu pulang," tawar Mingyu tepat ketika panggilan ditutup. Dia pikir, ini bisa dijadikan sebagai permintaan maaf secara tak langsung. Sungguh, bila dia bisa lebih mengontrol caranya berbicara, dia tidak akan berteriak seperti tadi. Itu hanya refleks.

"Tidak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri." Chaeyeon menyimpan ponsel kembali. Tas yang tersampir di kursi telah disandangkan di bahu. Senyum kecilnya berusaha diukir.

Mingyu ikut bangkit. "Biarkan aku menemanimu sampai di halte."

Napas panjang Chaeyeon dihela pelan. Senyum yang tadinya terpaksa, kini mengembang lebih tulus. Benar, dia hanya tak sengaja melakukannya. Chaeyeon meyakinkan dalam hati. Setelah menimbang beberapa saat, kepalanya menggangguk kecil.

"Baiklah."

Tidak ada percakapan berarti yang terlontar dari mulut keduanya. Mingyu tak habis pikir, suasana akan menjadi secanggung ini. Sepanjang jalan dia hanya sibuk memalingkan muka, melirik kendaraan berlalu-lalang sambil sesekali mengeratkan hoodie. Pun Chaeyeon yang melakukan hal serupa.

"Maaf, aku tidak bermaksud membentakmu tadi," sesal Mingyu. Mereka sudah sampai di halte bus terdekat.

"Tidak apa-apa," balas Chaeyeon. Dia sengaja berdiri menghadap tepat di depan Mingyu, menikmati ekspresi laki-laki itu yang jauh dari kata menyebalkan seperti yang biasa dia lihat. Senyumnya kembali mengembang. "Aku akan pulang sendiri. Terima kasih sudah mengantarku ke halte."

Mingyu mengangguk. Sudut-sudut bibirnya berusaha ditarik demi membalas senyuman Chaeyeon. Tetapi karena itu terlalu canggung untuk dilakukan, Mingyu akhirnya hanya bisa mengembuskan napas berat.

"Kim Mingyu-ssi! Jangan lupa mentraktirku minum!" seru Chaeyeon saat hendak naik ke undak bus. Kali ini senyum kecil Mingyu lolos tanpa paksaan. Atau malah tanpa dia sendiri sadari. Tangannya melambai rendah kepada gadis itu hingga bus menghilang, ditelan hiruk-pikuk perkotaan.

"Ck, kenapa aku melambaikan tangan segala."

Mingyu segera menurunkan tangan, lalu berbalik setelah mendapat pesan dari Wonwoo.

•ㅅ•

2021년 9월 15일

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro