#6
"Aku pulang."
Mingyu melepas sepatu setelah menutup pintu. Lampu menyala otomatis. Kantong plastik masih tergenggam. Hanya sisa dua kaleng bir. Begitu dia berlalu, lampu kembali padam. Udara dingin yang terbawa dari luar langsung menghangat. Rasanya lumayan, meski tak seutuhnya hangat.
Mingyu meletakkan kantong tadi di sembarang tempat. Ia bergegas menyalakan lampu ruang tamu yang masih padam. Rumah ini masih sesunyi biasanya. Tak banyak percakapan yang terlontar. Memori perihal tempat ini juga tersendat-sendat. Sejak ayahnya meninggal, ia lupa kapan terakhir kali memiliki ingatan menyenangkan. Semua seolah sirna. Semua berubah. Tak lagi seperti dulu. Tak ada makan bersama di meja yang sama. Tak pula ada sambutan yang menghangatkan pendengaran. Hampa. Kosong.
"Ibu, aku pulang. Ibu sudah makan?"
Mingyu berjalan menuju dapur, meraih gelas berukuran kecil, menyalakan keran, lalu meneguk air hingga habis dua gelas. Dia membuka kulkas, memeriksa wastafel, dan terakhir meja makan. Sup tadi pagi masih utuh. Mingyu melirik ke arah kamar. Belum ada sahutan dari ibunya. Jam di dinding baru menunjukkan pukul sembilan. Mungkinkah ibunya sudah terlelap?
Kaki-kaki panjangnya dibawa menuju kamar sang ibu. Ketukan lembut mengisi hening ruangan. Kenop pintu akhirnya diputar ketika panggilannya tetap tak berbalas.
Mingyu meluruhkan napas. Rupanya belum tidur. Ibunya sibuk mencatat sesuatu di sebuah buku lusuh yang kertasnya telah menguning. Saat dia mengambil tempat untuk duduk, barulah wanita itu berpaling dari aktivitas yang sepertinya menyita banyak fokus, sehingga tak mendengar Mingyu pulang.
"Ibu belum makan?" tanya Mingyu lembut. Wanita itu menggeleng pelan, lalu fokus menekuri hal lain. Buku lusuh tadi segera ditutup, disingkirkan ke dekat laci yang posisinya tak lagi utuh dan rapi. Barang-barang yang berada di dalam berpindah keluar, berserakan ke segala tempat. Mingyu hanya perlu menyunggingkan senyum dan menyimpan sendiri perasaannya yang terluka.
"Aku akan menghangatkan supnya. Setelah ini Ibu makan, ya?" katanya lagi. Kali ini disertai sentuhan hangat di punggung tangan. Senyuman di bibir Mingyu belum berkurang. Seperti apa pun keadaannya, dia tetap menyayangi wanita tersebut. Dan beruntungnya, kali ini sentuhan itu berbalas dengan seulas senyum yang datangnya dari rasa bahagia. Wanita itu memandang Mingyu cukup berseri.
"Apa ayahmu sudah pulang?"
Di saat beginilah senyum Mingyu yang masih utuh harus digerus sedikit demi sedikit. Patah mendadak menjadi paling dominan. Mingyu merasa tersengat. Hidungnya berubah pengar tanpa alasan. Ini menyedihkan.
"Ayah tidak akan pulang." Mingyu membalas pelan. Ini bukan pembicaraan yang dia suka.
"Dia akan pulang akhir pekan ini, Mingyu-ya."
"Tolong jangan seperti ini, Bu."
Mingyu selalu takut bila perkataannya yang demikian bisa membuat sang ibu histeris. Tapi dia harus melakukan ini setidaknya sekali agar kenyataan bisa tersuguh dengan semestinya. Dan dia sudah siap seandainya itu terjadi. Dia sudah siap merasakan luka lama di keluarga ini mencuat kembali demi mengingatkan sang ibu bahwa pria yang ditunggu untuk pulang tidak akan pernah datang.
Wanita itu sempat terdiam beberapa saat, meresapi perkataan Mingyu yang juga diam dengan tampang muram. Senyum laki-laki itu sudah sepenuhnya hilang. Digenggam tangan sang anak, lalu memberi usapan singkat di sana. Bila boleh jujur, ekspresi seperti itu justru yang paling membuat Mingyu takut.
"Kau ini bicara apa? Cepat, ganti pakaianmu. Kita tunggu ayahmu di meja makan," katanya.
Tatapan prihatin tak bisa disembunyikan lagi. Lapisan bening mulai menumpuk di mata Mingyu. Sudah tahun ke enam ibunya menjadi seperti ini. Sejak sang ayah meninggal bunuh diri, wanita yang dulunya penuh kehangatan dan periang berubah drastis. Wanita itu selalu meringkuk di kamar. Kadang mengerjakan sesuatu yang kurang penting, kadang menekuri buku lusuh tadi, kadang menangis sendirian saat Mingyu tak ada di rumah. Tak jarang pula, ibunya itu mengamuk tanpa sebab, melempar barang-barang sampai Mingyu sering kali merasa kewalahan.
"Eomma ...."
"Benar, kau harus menghangatkan supnya. Ayahmu tidak boleh kelaparan sewaktu pulang. Ibu akan menyiapkan banchan. Kau, segera ganti baju. Kita akan makan malam bersama."
Wanita itu bangkit. Baju lengan panjangnya digulung ke atas. Rambut yang semula tergerai berantakan kini dikucir rapi. Saat langkahnya sudah diambang pintu, Mingyu menginterupsi.
"Ibu, Ayah tidak akan pulang." Ada getar-getar kecil yang merambat di suara Mingyu. Kedua tangannya dikepalkan kuat. Dadanya sudah perih. "Jadi berhenti bersikap seperti ini. Kumohon."
Tidak ada pergerakan lagi. Ibunya berhenti. Entah merenung atau bagaimana, Mingyu juga tidak tahu. Dia tak berani menoleh ke belakang hanya untuk melihat wajah ibunya sedih.
"Mingyu-ya .... Kenapa kau terus berkata begitu?"
Wanita itu berbalik, merendahkan tubuh, dan duduk di dekat Mingyu. Laki-laki itu tidak membalas tatapannya. Kepalanya diturunkan, menatap lantai kayu yang penuh goresan benda berujung runcing.
"Aku lelah, Bu. Selamat malam," putus Mingyu. Tanpa menatap sang ibu, dia melangkah keluar. Pintu ditutup agak kencang.
Mingyu tak benar-benar marah. Itu pun sebetulnya tak bisa dikatakan sebagai amarah. Dia hanya ingin menghentikan nyeri di dada yang selalu bertambah intensitas saat kenangan menyakitkan itu dipaksa keluar. Dia tidak bisa mendengar ibunya bicara mengenai sang ayah terlalu lama dan menganggap pria itu masih hidup hingga detik ini.
Mingyu menjatuhkan tubuh di kursi panjang yang berada di kamarnya. Televisi dinyalakan dengan volume pelan. Berita malam menjadi suguhan pertama ketika benda yang menempel di dinding itu menyala.
Pandangan Mingyu beralih ke arah lain. Tangannya terjulur. Laci paling bawah ditarik. Dia mengambil sebuah buku berukuran sedang. Dibuka halaman demi halaman. Selembar foto yang terselip di sana diambil. Raut mukanya langsung berubah keras.
"Jung Hyun Jae." Mingyu mengucapkan nama orang yang berada di foto tersebut pelan. Tatapannya berkilat-kilat. "Aku seharusnya bisa menanganimu lebih cepat. Semua jadi rumit gara-gara bajingan seperti dirimu."
Jung Hyun Jae adalah seorang jaksa yang menuntut ayahnya dalam kasus pemerkosaan anak di bawah umur yang terjadi beberapa tahun silam. Namun, tuntutan itu terjadi hanya untuk menyembunyikan pelaku asli yang berlindung di balik kursi kekuasaan. Bahkan Mingyu yakin, orang itu masih berleha-leha menikmati hidup hingga detik ini. Jutaan won berhasil menyumpal kebenaran. Ayahnya yang sedang bekerja di bengkel tiba-tiba diseret pihak kepolisian dan tak pernah kembali ke rumah sejak hari itu.
Saat itu terjadi dirinya masih terlalu muda. Dia tidak punya kekuatan untuk menyuarakan ketidakadilan. Dia juga tak tahu harus berbuat apa. Jadi, selama itu terjadi, dia hanya bisa marah dan menangis. Suaranya tidak didengar. Kasus itu tertutup rapat dengan ayahnya yang menjadi pelaku sampai di hari di mana pria itu memilih mengakhiri hidup.
Ayahnya memilih jalan itu saat menjalani hukuman yang baru berlangsung tujuh tahun. Di tahun berikutnya, sang ibu mulai menunjukkan tanda-tanda depresi. Kakak satu-satunya memilih pergi dari rumah. Mingyu tak punya pilihan lain selain bertahan dan merawat ibunya seorang diri dengan utang yang ditinggalkan ayahnya. Hidup serasa tak benar sejak awal. Itu sebabnya, dia seperti keranjingan untuk menghabisi penguasa-penguasa terkutuk yang selalu memainkan uang untuk segala keperluan.
Suara berisik di perut membuat Mingyu berangkat menuju dapur. Ia mengambil sebungkus shin ramyeon di lemari, lalu memasaknya dalam diam. Sup yang sudah dingin dibiarkan di kulkas. Dia tak terlalu berselera makan, tetapi perutnya menunjukkan hal sebaliknya. Mengambil kimchi dan sekaleng soda dingin, Mingyu kembali ke kamar setelah ramyeon-nya siap. Asap mengepul dari panci, membuat aromanya tersebar di mana-mana.
Mingyu mengambil tempat duduk senyaman mungkin. Wajahnya hanya kedapatan cahaya dari televisi yang menyala terang. Lampu di kamar sengaja dibiarkan redup. Penghangat ruangan tak terlalu berfungsi dengan baik. Kadangkala bila udara sedang dingin, dia memilih menumpuk selimut dan bergelung di baliknya sampai matahari menyembul.
Polisi melakukan penyelidikan ulang terkait tewasnya anggota parlemen Kwon. Tersangka merupakan seorang laki-laki berkebangsaan Korea dengan perkiraan tinggi 180-187 sentimeter, berusia pertengahan hingga akhir 20-an, memiliki badan tegap dan bugar, serta pergerakan yang gesit.
Sebuah potongan gambar pelaku yang tertangkap di kamera CCTV telah disebarluaskan melalui situs jejaring sosial dan beberapa portal media online. Sejak dirilisnya berita ini, polisi menetapkan beberapa tersangka yang diduga kuat telah melakukan pembunuhan terhadap ....
Mingyu mengaduk ramyeon tanpa mengalihkan pandangan pada televisi yang menampilkan berita terkini. Mulutnya penuh, sibuk mengunyah usai menyeruput kuah ramyeon yang menggiurkan. Dia mengenal orang yang ada di gambar itu. Tentu saja. Mengapa dia tidak mengenali dirinya sendiri?
Mingyu kembali menyeruput mi instan dalam satu suapan besar. Kimchi yang diletakkan di sebelah panci hanya tersentuh satu-dua kali. Minuman sodanya masih sisa setengah. Ponsel terasa bergetar di saku hoodie. Dia mengambil benda itu dan langsung mengangkat panggilan. Sumpit yang terapit di tangan terpaksa diletakkan terlebih dulu.
"Kau sudah di rumah?"
Suara familier Wonwoo menyapa pendengaran.
"Hm, ada apa?" balas Mingyu malas. Berita terkini telah berganti dengan acara lain. Dia memutuskan menyudahi acara makan malamnya setelah mematikan televisi yang setiap saat selalu membosankan.
"Ada misi baru. Tapi aku sebenarnya kurang yakin kau akan mau."
"Katakan saja."
Sebelum Wonwoo menjawab, napasnya sempat berembus perlahan.
"Ini seorang wanita. Aktris kawakan."
Mingyu merapikan sisa makannya, lalu membawa semua ke dapur. Ponselnya diapit di bahu.
"Aku tidak membunuh wanita. Kau tahu itu." Sambil tetap bicara, dia memastikan bahwa suaranya tidak terdengar terlalu keras.
"Itu sebabnya aku bertanya terlebih dulu."
"Lupakan. Aku tidak mau."
Mingyu membasuh tangan usai mencuci panci dan menaruhnya di rak. Kakinya melompat cepat menuju kamar. Pembicaraan seperti ini selalu membuatnya merasa waspada meski itu dilakukan di rumah.
"Tapi bayarannya sangat besar. Kau bisa melunasi semua utang ayahmu dan juga membeli apar—"
"Kubilang, aku tidak mau," tegas Mingyu. Ponselnya telah berpindah di genggaman tangan. "Kalau kau ingin melakukannya, lakukan saja dengan tanganmu. Aku tutup teleponnya." Sebelum panggilan itu benar-benar diakhiri, seruan Wonwoo di seberang segera terdengar.
"Hei, hei, hei!
Mingyu refleks menjauhkan telepon dari telinga. Pria Jeon ini sangat berisik.
"Baiklah, baiklah. Aku mengerti," katanya. "Aku ingin berbicara sedikit serius."
Mingyu tak membalas. Dia hanya menyimak dan menunggu Wonwoo bicara.
"Kau belum menutup teleponku, 'kan?"
"Lanjutkan."
"Kau sudah melihat berita di televisi?"
"Entahlah."
"Mendengar reaksimu, kau pasti sudah melihatnya."
"Apa yang ingin kau bicarakan?"
Wonwoo memberi jeda. Hening menyusup. Gemeresak ranting di luar terbawa masuk saking lengangnya. Jujur saja, Mingyu sudah tahu akan seperti apa obrolan mereka selanjutnya.
"Sepertinya kau harus makin berhati-hati. Pihak kepolisian benar-benar menyelidiki kembali kasus Kwon Jung Ahn. Mereka sudah menetapkan beberapa tersangka sementara yang sebelumnya pernah terlibat dengan kasus pembunuhan serupa. Aku bisa menyiapkan tempat bagus dan aman untukmu dan ibumu. Kau tidak bisa tinggal di apartemen itu terlalu lama, K. Cepat atau lambat, aku khawatir identitasmu akan terbongkar."
Benar, bukan? Pria Jeon itu sudah pasti akan membahas berita tadi. Bagaimanapun juga, itulah yang sejatinya dia khawatirkan diam-diam sejak menelan ramyeon beberapa menit lalu. Bukan khawatir tentang dirinya, melainkan ibunya. Bagaimana dia akan menjaga wanita itu kalau tertangkap? Tentu—setidaknya untuk saat ini—dia tak akan membiarkan itu terjadi terlalu cepat. Tidak, sebelum dia bisa melenyapkan Jung Hyun Jae.
"Kau tidak perlu khawatir. Aku sudah bilang, aku bisa mengurus diriku sendiri." Mingyu memutuskan untuk tetap bersikap tenang. "Dan juga, jangan memanggilku dengan nama itu saat aku sedang tidak menjalankan misi."
"Dan, ya, setelah ini kau akan melakukannya. Jadi, K, kuingatkan sekali lagi, kau harus lebih berhati-hati."
"Kau bercanda?"
"Aku tidak pernah bercanda perihal uang."
"Dasar, mata duitan."
"Kau perlu realistis agar bisa bertahan hidup, Kawan."
Gelak tawa di seberang membuat suasana obrolan terasa jauh lebih ringan. Sudut bibir Mingyu terangkat sedikit.
"Aku baik-baik saja bahkan ketika aku sedang kelaparan," katanya. Wonwoo lebih percaya kalau yang barusan itu hanya omong kosong.
"Hei, aku perlu biaya menikah. Kau pikir aku akan melajang sampai ubanku tumbuh? Kecuali kau tidak ingin menikah," cerocos Wonwoo.
"Aku berniat melakukannya."
"Apa?"
"Tidak menikah."
"Geurae. Lakukan saja. Aku tidak perlu peduli, bukan?"
Kali ini Mingyu benar-benar menyunggingkan senyum, meski sedikit. Keberadaan Wonwoo sudah lebih dari cukup untuk mengisi kekosongan posisi yang ditinggalkan oleh kakaknya. Entah kapan mereka bisa bercakap-cakap seperti ini. Rasanya terlalu mustahil.
"Kau bisa bersiap-siap. Akan kukirim lokasinya lewat pesan."
•ㅅ•
"Kau akan pergi lagi? Tidak bisakah tinggal saja semalam? Kau jarang sekali tidur di rumah."
Pergelangan tangan Mingyu ditahan. Seorang wanita tak jauh dari usia ibunya berdiri sambil melempar tatapan memohon. Meski tak lagi muda, kerut di wajah nyaris tak kentara. Mingyu hanya mampu melempar senyum kecil sebagai tanda penyesalan. Dia tidak bisa tinggal. Dan untuk alasan itulah dia rela menggedor pintu di sebelah malam-malam begini untuk meminta tolong.
"Maaf, Bi. Aku tiba-tiba harus menggantikan temanku lembur," bohongnya. Wanita itu tidak bisa memaksa. Pun bila bisa, dia tak akan menahan keponakannya itu untuk diam di rumah sementara ada pekerjaan penting menanti.
"Begitukah? Baiklah, aku tidak bisa melarangmu," ujar wanita itu lembut. Sebelah tangannya terjulur demi mengusap rambut Mingyu yang belum dipotong. Dia sangat menyayangi laki-laki itu dan berusaha menjaganya sebisa mungkin saat ibunya sendiri—yang notabene adalah adiknya—keadaannya sudah sangat berantakan.
"Terima kasih, Bi. Tolong jaga Ibu." Mingyu mengenakan topi hitam polos sedangkan di bahu sudah menggantung sebuah tas yang kelihatannya berat.
"Hati-hati. Pastikan mengenakan pakaian hangat. Udara mulai dingin akhir-akhir ini. Jangan sampai terkena flu. Mengerti?"
"Ne."
Mingyu mengangguk. Musim gugur akan segera tiba. Udaranya kering dan bisa berubah sangat drastis—panas saat siang, dan sangat dingin ketika beranjak petang.
•ㅅ•
2021년 9월 9일
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro