#23
Mingyu melipat celemek setelah merapikan meja tempat dia merangkai bunga. Meski begitu, netranya masih belum lepas dari Jung Chaeyeon yang sudah duduk sambil menekuri ponsel sejak lima belas menit yang lalu. Gadis itu menagih traktiran minum yang dijanjikan Kim Mingyu—kenyataannya, Mingyu tak pernah benar-benar menyetujui itu selain 'Hm, aku mengerti'. Tapi, hei, itu namanya juga menyetujui.
Jadi untuk alasan itulah Mingyu terpaksa menunda pertemuannya dengan Jeon Wonwoo, lagi. Untuk kali ke sekian, Mingyu bisa melihat bahu Chaeyeon mengendur. Wajahnya tampak layu dari biasanya.
"Sampai kapan kau akan menghela napas seperti itu?" Saking tak tahan, Mingyu memutuskan untuk menegur. Gadis itu segera mengangkat pandangan dari ponsel yang sedari tadi layarnya terus-menerus digulir.
"Ah, aku tidak tahu." Jung Chaeyeon meletakkan ponselnya di meja begitu saja. Sebelah alis Mingyu terangkat sedikit.
"Ada apa?"
"Mingyu-ssi, aku harus bagaimana?" Chaeyeon bertanya dengan muka sedih yang jarang sekali dilihat oleh Kim Mingyu. Lagipula, gadis Jung itu lebih pantas berisik seperti biasanya. Kalau seperti ini, Mingyu khawatir bila sesuatu yang membuat degupnya bertambah intensitas menjadi makin tak terkendali. Padahal Jung Chaeyeon tak melakukan apa pun. Gadis itu hanya menatapnya dengan muka memelas. Lalu, apakah ini artinya dia benar-benar sudah gila?
"Apanya yang bagaimana?" Mingyu berusaha tak acuh. Daripada membalas tatapan Chaeyeon, dia lebih memilih mengalihkan pandangannya pada beberapa bunga yang terlihat layu. Dia segera mengambil bunga tersebut, memisahkannya dari bunga yang masih segar.
"Kau tahu Yoon Sanha? Kau pasti sudah melihat atau mendengar beritanya juga, bukan?"
Mingyu tampak berpikir. Lebih tepatnya berusaha mengingat nama Yoon Sanha yang entah mengapa terdengar tak asing.
"Dia penyanyi solo yang menghilang beberapa hari terakhir. Kalau kau mengikuti acara siaranku, kau pasti tahu dia." Chaeyeon menjelaskan ketika Mingyu tak merespons. Napasnya dihela lebih panjang. "Dia menghilang di hari aku bertemu dengannya. Sejak saat itu, tidak ada yang tahu di mana keberadaannya. Sebagai orang yang pernah bekerja dengannya, aku merasa menyesal."
"Lalu apa yang akan kaulakukan?" Mingyu keluar dari meja yang menjadi pembatas antara dirinya dengan Chaeyeon, lalu mengambil tempat di sebelah gadis tersebut sambil memakai mantel yang menjuntai hingga sebatas lutut. Lampu di dalam toko dimatikan. Dia sudah siap. Hanya perlu mengunci pintu.
Chaeyeon ikut berdiri ketika Mingyu mulai berjalan keluar. Ponsel tadi disimpan dalam tas selempang kecil yang tersampir di bahu. "Apa lagi yang bisa kulakukan selain berdoa," ujarnya. "Ayo." Chaeyeon menarik tangan Mingyu, menggenggamnya tanpa sadar begitu toko sudah dikunci. Hangat langsung menjalari telapak. Muka laki-laki itu mendadak tegang.
"Kita bisa jalan sendiri-sendiri." Mingyu berdeham. Tangan yang digenggam Chaeyeon dilepaskan pelan-pelan. Ujung telinganya mulai menunjukkan rona kemerah-merahan. Siapa pun tidak ada yang boleh menyadari hal itu.
"A-ah, oh, benar. Maaf, tadi aku refleks." Chaeyeon meringis sambil menjauhkan tangannya sendiri, dan berganti menggenggam tali tas. Senyap segera mendominasi, membiarkan bising kendaraan menjadi pengiring suasana canggung malam itu.
"Omong-omong."
"Omong-omong."
Mingyu dan Chaeyeon spontan menoleh, memandang satu sama lain. Raut yang dipasang di muka masing-masing tak bisa dijelaskan. Setidakjelas tingkah Chaeyeon sewaktu Mingyu memilih mengantarnya pulang beberapa saat lalu, sedangkan ada Jung Yerin yang masih melongo di tempat duduk karena mendengar penuturan pria Kim tersebut. Saat itu, tak banyak yang bisa diucapkan. Baik Chaeyeon maupun Mingyu, keduanya lebih memilih berjalan dalam diam sampai di halte bus terdekat.
"Kau bisa mengatakannya lebih dulu." Mingyu berkata sebelum Chaeyeon memutuskan untuk membuka mulut. Gadis itu hanya mengangguk kaku.
"Aku mungkin saja salah lihat, tapi aku begitu penasaran sampai hari ini." Chaeyeon memulai. Dia menilik muka Kim Mingyu hanya untuk memastikan kalau arah pembicaraan semacam ini tidak masalah untuk ditanyakan.
Mingyu masih mendengarkan. Bola matanya bergulir pelan, mengamati gemerlap lampu-lampu malam yang membuat seorang anak di depan sana—yang digendong di pundak sang ayah—tertawa lepas. Kedua tangannya menggenggam erat sebuah tali balon. Tanpa sadar, bibir Mingyu ikut ditarik. Lalu dengan tanpa alasan, senyum itu segera melebur setelah hanya bertahan tak kurang dari sepuluh detik, berganti dengan embusan napas yang membuat Chaeyeon menoleh sekali lagi.
"Aku melihat orang yang mirip denganmu beberapa waktu lalu," ungkap Chaeyeon. Kali ini ganti Mingyu yang menoleh. "Tapi aku harap itu bukan dirimu. Karena aku yakin kau bukanlah orang yang akan melakukan sesuatu semacam itu." Chaeyeon membalas tatapan Mingyu, mencari tahu arti dari riak muka yang ditampilkan lelaki tersebut. Entah mengapa hal itu justru membuat darah Chaeyeon berdesir.
"Melakukan sesuatu semacam apa?" Mingyu melepas pandangan mereka terlebih dulu. Tak ingin terlalu dalam meresapi cemerlang yang terpancar di mata Chaeyeon.
"Eum ...." Chaeyeon tampak berpikir. Dia mendadak tak yakin kalau ini bisa diucapkan. Masalahnya, ia tak ingin lelaki Kim itu salah paham. Atau justru dirinya yang salah paham?
"Jadi, saat aku pulang bekerja, aku melihat seseorang yang penampilannya mirip sekali seperti dirimu. Lalu ...." Chaeyeon menggigit bibir. Mulutnya menjadi kering. Jadi dia berusaha menelan ludah supaya suaranya tak terdengar aneh di telinga Mingyu. "Aku melihat seseorang terbunuh. Ada pistol. Dan juga ... darah. Aku melihat darah meskipun di sana gelap."
Kepala Mingyu serasa dilempar sesuatu hingga membuat sepatunya memelan, lalu berhenti tepat saat mereka berada di bawah lampu jalan yang cahayanya redup. Lampu itu hanya mampu menerangi kepala dengan sinar samar yang menyebar di wajah keduanya. Mingyu beringsut, menghadap Jung Chaeyeon yang ikut berhenti tanpa bertanya. Kedua tangannya menyentuh syal tipis yang melilit leher, melepasnya, kemudian mengalungkan benda buatan ibunya tersebut di leher Chaeyeon, tentu saja tanpa bicara.
"Suaramu bergetar. Seharusnya bilang kalau dingin." Setelah hening membuat suasana di antara mereka makin aneh, Mingyu baru berani mengucapkan kalimat itu sambil menikmati muka terkejut yang ditampilkan Jung Chaeyeon.
Mingyu menunduk. Tangannya masuk di saku mantel. "Kau bebas melihatku sesuai yang kaupikirkan tentangku. Tapi aku berharap bisa menunjukkan kesan yang bagus terlepas orang itu aku atau tidak." Senyum samarnya diulas, kemudian berjalan terlebih dulu tanpa menunggu jawaban gadis di sampingnya tersebut.
Mingyu tak ingin mengakui kehidupan macam apa yang selama ini dijalani, tak pula ingin menegaskan bahwa orang itu benar-benar dirinya. Dia belum ingin membiarkan Jung Chaeyeon hilang dari pandangannya saat dia merasa sudah bisa menikmati waktu mengobrol dengan gadis Jung tersebut. Saat penerimaan dan rasa nyaman mulai menjadikan dirinya lebih manusiawi. Dia tak ingin kehilangan hal seperti itu dalam sekejap. Secara tidak langsung, dia tak ingin Chaeyeon menjauh ketika tahu orang seperti apa dirinya.
"Mingyu-ssi," panggil Chaeyeon. Jarak mereka sekarang tak kurang dari sepuluh langkah. Mingyu berbalik, menanti kalimat berikutnya yang akan diucapkan Chaeyeon.
"Mingyu-ssi, tolong jaga kepercayaanku dengan baik. Aku baru saja menyerahkannya padamu secara cuma-cuma."
Mingyu bisa melihat gadis Jung itu merekahkan senyuman yang membuat dadanya menghangat. Dia masih belum bisa memahami apa yang sejatinya belakangan ini membuatnya seperti terombang-ambing. Campur aduk. Dia belum bisa menemukan apa artinya semua itu. Yang dia tahu hanya satu, berada di dekat Jung Chaeyeon seperti masuk ke dalam sebuah labirin, terjebak di sana, dan sulit untuk keluar. Bukan karena tak bisa, melainkan memang dia berniat untuk tinggal, menetap di sana.
Chaeyeon segera menghampiri Mingyu yang masih diam berdiri dengan posisi sama. Sebelah tangannya menggamit lengan lelaki itu, menariknya menuju sebuah warung tenda yang lumayan ramai.
"Kaja!" seru Chaeyeon ceria. Mingyu cuma bisa menurut, mengamati tangan mereka yang bertaut, membiarkan sensasi mendebarkan ini bertahan untuk sementara. Tak mungkin dia bisa menahan senyumnya lebih lama.
"Ah, menyegarkan."
Chaeyeon menurunkan gelas usai menghabiskan soju dalam sekali teguk. Seperti biasa, Mingyu cuma menonton sambil satu-dua kali menikmati sundae dan gopchang yang masih hangat. Mereka duduk saling berhadapan di warung tenda yang sibuk dan ramai. Meja-meja penuh. Bau alkohol dan jajanan kaki lima yang dijual di sana bercampur menjadi satu. Ahjumma yang melayani para pelanggan sejak tadi mondar-mandir, menghampiri meja secara bergantian dengan nampan di tangan.
"Mingyu-ssi, aku sering bertanya-tanya kenapa kau kadang begitu dingin, tetapi kadang-kadang juga hangat dan perhatian." Chaeyeon menyahut sumpit yang dipakai Mingyu, menyuapkan gopchang yang dibumbui pedas tanpa mempedulikan bagaimana kini laki-laki itu memandangnya. Padahal masih ada sepasang sumpit di meja yang belum digunakan.
"Kau bisa menggunakan sumpitmu sendiri." Mingyu beralih menyahut sumpit lain, tetapi segera ditahan Chaeyeon. Gadis itu menyodorkan sepotong sundae ke mulut Mingyu, menyuruh lelaki Kim itu membuka mulut. Tentu saja Mingyu tidak semudah itu menuruti permintaan yang satu itu. Apalagi di tempat ramai semacam ini.
"Kau harus membuka mulutmu. Ayo, aaaa." Chaeyeon masih berusaha. Mingyu memilih memundurkan tubuh, meraih botol soju, menuangnya di gelas, lalu meneguknya cepat. Dengkusan Chaeyeon keluar, kemudian menyuapkan sundae tadi di mulutnya sendiri.
"Aigoo, kau hanya perlu membuka mulut dan mengunyahnya dengan nyaman. Kenapa susah sekali," cibirnya. Mingyu tak menghiraukan. Meski begitu, Chaeyeon tetap tak bisa menahan senyum yang menyembul di bibir. "Kau tidak perlu menjawab pertanyaanku yang tadi. Aku sudah tahu jawabannya."
"Memangnya apa?" Kedua tangan Mingyu bertumpu di dagu, menanti Chaeyeon sambil menyimpan rasa penasarannya sendiri.
"Jawabannya hanya satu, dan itu sangat mudah. Yaitu menyebalkan," ungkap Chaeyeon.
Mingyu seharusnya tak mengharapkan hal muluk-muluk. Lagipula, dia sadar kalau sifatnya cukup menyebalkan untuk beberapa alasan. Jadi, apa yang baru saja dia lakukan? Berharap bahwa Chaeyeon memberi jawaban yang bagus? Gadis Jung itu tak mungkin melakukannya. Dan tak mungkin menunjukkannya secara terang-terangan, tentu saja. Ingatkan dia kalau mereka masih terlalu asing untuk bisa melakukan hal-hal yang lebih intim. Ah, maksudnya saling menyelami karakter masing-masing.
"Kau seperti membicarakan dirimu sendiri." Mingyu membalas santai.
Kini mata Chaeyeon langsung memelotot lebar. "Apa?" Mingyu cuma mengangkat bahu, tak peduli.
"Wah, aku makin takjub bagaimana kau menjadi makin menyebalkan. 'Tunggu. Biar kuantar', 'Kalau begitu ayo lakukan. Jadi kekasihmu'. Kau lihat ini, aku merinding sendiri memikirkan kata-kata itu bisa keluar dari mulutmu." Chaeyeon menambahkan sambil menirukan kata-kata dan nada bicara Kim Mingyu di beberapa kesempatan yang jujur saja sempat membuat tubuhnya memanas. Telunjuknya menunjuk lengannya sendiri secara berlebihan.
"Habiskan makananmu. Kita harus kembali sebelum larut." Mingyu berdeham keras-keras. Mengabaikan ucapan Jung Chaeyeon yang membuat rasa malunya menyebar hingga ke sel paling kecil di dalam tubuhnya. Sial.
•ㅅ•
2021년 11월 15일
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro