#2
"Terima kasih."
Mingyu membungkuk singkat, menyalami seorang pelanggan muda yang punggungnya baru menghilang dari pintu kaca Haengbok Florist. Sebuket besar baby's breath berkelopak putih dan merah muda di gendongan bergoyang pelan kala si pelanggan berjalan menyusuri trotoar sambil sibuk berbicara di telepon. Netra Mingyu baru berhenti mengedar kala earphone di telinga yang hampir selalu terpasang mengeluarkan gemeresak kecil.
"Sudah selesai?"
Mingyu beringsut membenarkan rambut, menutupi bagian daun telinga ketika pelanggan lain masuk. Radio yang hampir selalu terputar setiap jam-jam sore begini membuat suara di seberang terlindas, sayup-sayup, nyaris tak terdengar bila keadaan toko sedang berisik. Lagu 11:11 yang dipopulerkan Taeyeon menyapu pendengaran setelah sang penyiar radio membacakan surat seorang pendengar yang baru saja putus dengan kekasihnya. Kadangkala, radio itulah yang menemani dirinya saat toko sepi—ya, kecuali pria Jeon yang dengan tak tahu situasi dan kondisi memberi misi seenaknya, padahal pelanggan sedang ramai-ramainya.
"Selamat datang. Ingin mencari bunga apa?" tanyanya kepada seorang anak—kira-kira bila dilihat dari seragam adalah anak sekolah menengah—yang berjalan dengan langkah gamang. Pelipisnya dialiri keringat tipis-tipis. Ragu-ragu bibirnya terbuka, hendak membalas sapaan Mingyu yang selalu beramah-tamah dengan setiap pelanggan. Senyuman yang berpendar teduh membuat si bocah akhirnya berani mengeluarkan kata pertamanya.
"Itu ...." Laki-laki berseragam itu terus memainkan jemarinya sejak masuk kemari.
"Kau mengabaikanku, Kim?"
Suara di seberang terdengar lagi. Diam-diam Mingyu meloloskan napas. Si Jeon sialan ini memang benar-benar.
"Mau kubantu mencari bunga? Kau ingin memberikannya untuk siapa?" Tak menggubris, Mingyu kembali meladeni laki-laki muda dengan mata sayu dan pipi kemerah-merahan tersebut.
"Ya!"
Mingyu masih fokus, mengabaikan pria di seberang yang kini berceloteh sendiri, mengungkit kasus dugaan bunuh diri Kwon Jung Ahn yang tewas beberapa waktu lalu.
"Itu ... untuk temanku. Aku baru saja membuat dia terluka dan menangis. Aku ingin menjenguk sekaligus meminta maaf," kata si laki-laki pelan. Sisa penyesalan berkilat dari rautnya yang muram dan gelisah.
"Untuk temanmu? Atau ... kekasihmu?" goda Mingyu. Namun, tampaknya laki-laki itu tidak dalam suasana baik untuk merespons candaan Mingyu.
"Temanku."
Kepala Mingyu dianggukkan pelan. Kaki-kaki panjangnya segera berpindah, melesat ke arah bak-bak alumunium dan anyaman kayu yang dipenuhi gerombolan bunga dengan berbagai warna dan jenis. Tangkai-tangkai mawar kuning, lili putih, dan beberapa baby's breath berwarna senada menjadi pilihan manis yang diambil Mingyu.
"Kau tidak masalah dengan ini?" Mingyu menunjukkan pilihan bunga yang berada di genggamannya. Si bocah pelajar itu memberi anggukan kecil.
"Itu cantik."
"Baiklah."
Bermodal gunting yang hampir setiap saat berada di saku celemek, Mingyu mulai merangkai satu demi satu tangkai dengan telaten. Sesekali sibuk memotong kertas, kain flanel, dan pita berdiameter lumayan lebar. Tangannya terampil dan tangkas, membungkus bunga-bunga tersebut menjadi sebuah buket manis dan cantik. Sebagai sentuhan terakhir, dia mengambil sebuah kertas kecil dengan pena. Tangannya bersiap menulis sesuatu.
"Kau ingin memberi pesan singkat untuk temanmu?"
"Aku ingin dia cepat sembuh dan bisa kembali bersekolah dengan nyaman."
Senyuman kecil Mingyu berpendar samar. Tangannya bergerak, menulis dua baris kalimat singkat di kertas kecil tersebut sebelum menyematkannya pada buket bunga yang telah rampung dirangkai.
"Ini." Mingyu menyerahkan hasil karyanya. Tangannya menepuk singkat celemek yang dia kenakan dari kelopak bunga yang sempat menempel di sana. Saat beberapa lembar uang disodorkan, dia mendorong uang itu kembali.
"Kenapa?" tanya si pemuda.
"Aku memberikannya pada temanmu," jelas Mingyu. Dia menunjuk sebuah papan kayu yang ditulis dengan kapur putih dan digantung di dinding dengan sebuah tali berbentuk sulur-sulur akar kecokelatan. "Hari ini ada pelayanan spesial untuk pengunjung yang masih pelajar. Kau bisa mendapatkan buket gratis."
"Benarkah? Terima kasih banyak." Pemuda tadi tampak semringah. Sudut-sudut bibirnya ditarik lebar sambil membungkuk dalam sebelum keluar dari toko. Muka yang sempat muram tadi sudah enyah entah ke mana.
"Hei, Kim Mingyu. Aku jelas-jelas memperingatkanmu agar tak mengabaikanku, bukan? Ini penting. Kau tahu, kasus bedebah Kwon yang kau eksekusi itu kini dinyatakan sebagai pembunuhan setelah hasil autopsi keluar. Kau harus hati-hati, Berengsek."
Baru saja Mingyu kembali duduk di kursi pantry, suara di seberang kembali terdengar. Ocehannya benar-benar membuat pusing kepala. Mingyu menghela napas panjang sambil menyesap americano dingin yang dibeli beberapa waktu lalu. Esnya sudah mencair.
"Berhenti mengoceh. Aku sudah dengar berita itu. Aku bisa mengurus diriku sendiri," balasnya datar. Hidungnya kembang-kempis, menikmati udara sore dengan semilir angin yang dibawa dari dahan-dahan bunga ceri. Bila musim semi tiba, dahan itu akan berubah semarak. Kelopak bunganya akan menggenangi jalanan dengan warna merah muda yang memberi nuansa hangat dan romantis. Jendela kaca besar yang tersambung dengan kafe kecil—yang hari ini tutup sementara waktu—menampilkan lanskap Yeouido dengan bangunan tinggi di setiap sudut.
"Kapan kau pulang? Kita perlu bertemu."
"Aku cukup sibuk untuk bisa bertemu denganmu, Jeon." Mingyu masih tak menunjukkan minat. Matanya mengedar ke sembarang arah. Entah apa yang sedang dia pikirkan.
"Panggil aku Hyung."
"Aku lebih suka memanggilmu Berengsek."
"Hei, aku masih punya banyak sisa pengalaman menghabisi orang. Kau mau coba?"
"Baiklah. Apa maumu, Jeon Wonwoo?"
"Kubilang panggil aku Hyung."
"Baiklah, baiklah. Apa maumu, Hyung?" Setengah jengkel Mingyu menuruti pria Jeon yang tahun ini menjadi tahun pertamanya menjalani hidup seperti manusia normal. Manusia pada umumnya yang diimpikan oleh seorang Kim Mingyu, sejujurnya.
"Aku sudah terhubung dengan kamera CCTV di sekitar tempat kerjamu. Ke arah pukul 9, kau kedatangan tamu spesial." Wonwoo menjelaskan dengan nada bicara terlampau senang. Belum sempat Mingyu melempar pertanyaan, lonceng di toko berbunyi, tanda ada pengunjung yang datang.
Mingyu memutar tubuh, bangkit dari kursi berkaki ramping tersebut sambil mengamati seseorang yang jadi pembicaraan Wonwoo dari balik pintu pembatas toko bunga dan kafe.
"Wakil Direktur J&S Group." Mingyu berkata setengah berbisik.
"Targetmu berikutnya," lanjut Wonwoo. Kekehannya terdengar menyebalkan di telinga Mingyu yang mesti menyuguhkan senyuman terbaik sebagai perilaku dari pegawai yang baik dan ramah.
"Tutup mulutmu." Mingyu berdesis. Kakinya mau tak mau maju, menyambut pengunjung 'penting' yang di kiri-kanannya dijaga oleh dua orang dengan setelan jas rapi berbadan kekar. Saat sampai di undak tangga terakhir, Mingyu berhenti.
"Berikan ponselmu." Salah satu dari dua penjaga tadi keluar toko, berusaha merebut sebuah ponsel dari seorang gadis yang kepayahan melindungi barang berharganya tersebut.
"Kenapa Anda seperti ini? Aku hanya memotret bunga. Aku tidak tahu siapa yang seharusnya tak boleh kupotret, tetapi Anda tidak boleh begini."
Mingyu masih diam memperhatikan, sedangkan 'tamu penting' yang berada di toko tempat dia bekerja sudah sibuk melihat berbagai bentuk bunga yang digelar di setiap sudut toko.
"Apa saya harus melakukan sesuatu, Pak?" tanya penjaga yang masih di dalam toko. Tubuh kekarnya dicondongkan, berbicara pelan kepada atasannya. "Gadis itu bisa menarik banyak perhatian."
"Kau boleh menamparnya bila dia tidak mau menyerahkan ponselnya. Aku tidak peduli apakah dia wanita atau pria."
Si penjaga mengangguk paham. Tanpa perlu perintah lagi, kakinya menuju ke luar, menghampiri rekannya untuk mengatasi gadis yang tetap kukuh tidak mengambil gambar apa pun dari 'orang penting' tersebut.
"Omong kosong macam apa ini." Wonwoo yang bisa mendengar pembicaraan barusan refleks berkomentar.
Kim Mingyu yang sedari tadi cuma menilik situasi, kini berjalan mendekat. Derap langkahnya mengetuk lantai, mendekati Wakil Direktur J&S Group yang berdiri angkuh dengan pakaian mahal yang melapisi tubuh.
"Ada yang bisa saya bantu? Anda ingin mencari bunga apa?" Mingyu menyapa ramah. Sesekali dia melirik ke luar pintu kaca demi melihat gadis berwajah familier yang pernah melempar kaleng soda hingga mengenai kepalanya.
Benar. Mana mungkin dia salah ingat. Itu memang gadis yang sama, yang tempo hari berulang kali meminta maaf.
"Bantu aku mengatasi tikus kecil di luar. Dia sudah mengganggu kenyamananku di sini," ujar pria tambun dengan rambut yang telah diurapi uban tersebut. Mingyu sempat meloloskan dengusan kecil sebelum menyusul keluar usai membungkuk singkat.
Tanpa basa-basi, Mingyu menyambar ponsel gadis tadi, lalu tanpa permisi membuka bagian galeri. Kartu identitas karyawan masih mengalung di leher. Bibir Mingyu tersenyum miring sesaat setelah melirik nama yang tertera di sana.
Jadi namanya Jung Chaeyeon?
"Hei! Kembalikan ponselku!" teriak Chaeyeon.
Mingyu tampak tak peduli. Dia justru berbalik, menghadap kepada dua penjaga bertubuh kekar tadi, lalu memperlihatkan isi galeri.
"Dia tidak memotret apa pun. Jadi, biarkan dia pergi," jelas Mingyu. Untuk alasan tertentu, dia tidak tahu mengapa di ponsel gadis bernama Jung Chaeyeon itu ada dua foto 'tamu penting' yang datang ke toko bunga. Untung saja jarinya cekatan menghapus foto-foto tadi.
"Biarkan kami memeriksanya dulu." Salah satu penjaga mendekat. Mingyu segera memasukkan ponsel tadi ke saku celana.
"Kau tidak dengar apa yang baru saja kukatakan?"
Dua penjaga tadi saling berpandangan sebentar, saling bertukar informasi lewat tatapan mata. Pistol yang tersembunyi di balik jas mulai dirogoh. Sedetik kemudian, kegaduhan terjadi.
"Kim Mingyu, pergi dari sana!"
•ㅅ•
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro