#19
Pandangan Mingyu masih terpaku pada butiran air yang mengalir di permukaan pintu kaca Haengbok Florist. Meski toko sedang sepi, kepalanya tetap terasa berisik. Hari ini tak banyak pengunjung yang datang. Dan itulah yang menjadi alasan mengapa Mingyu memilih mengurapi wajahnya dengan raut yang sulit dijelaskan.
Telunjuk Mingyu bergerak, mengikuti aliran tipis air hujan yang mengembun. Sejenak dadanya mengendur sehabis meloloskan segenap napas berat dan panjang. Sudah satu jam jalanan digenangi air dari langit yang tumpah tanpa ampun. Bunga dalam bak-bak alumunium dan anyaman kayu yang dipajang di luar bergoyang-goyang. Angin hampir menerbangkan kelopak-kelopak yang rapuh. Meski begitu, percikan air hujan cukup mengembalikan kesegaran yang telah terserap saat siang. Mereka cantik. Bunga-bunga itu tetap cantik meski terseok-seok saat diterpa angin sore yang bercampur hujan.
"Bukankah sudah kusarankan agar kau pindah ke tempat yang lebih aman? Kalau kau tidak ingin merasa dikasihani karena menerima bantuanku, pikirkanlah ibumu. Kau tidak mungkin membiarkannya terluka lagi seperti itu, 'kan?"
Ucapan Wonwoo kembali melintas. Itulah sejatinya yang menjadikan kepala Mingyu seperti dililit tali yang berbelit-belit. Seharusnya dia bisa menyetujuinya dengan mudah. Lagipula, itu semua demi sang ibu, bukan? Tetapi entah mengapa, dia malah membuatnya terlalu rumit dan panjang.
Lebih penting lagi, ada yang mengetahui identitasnya sebagai K. Jelas itu bukan hal bagus. Itu adalah satu di antara kemungkinan buruk yang tidak ingin dia dengar dalam waktu dekat. Dan sialnya, dia telah mendengarnya sendiri dengan sejelas-jelasnya.
Menurut informasi dari Wonwoo, orang yang menyerang itu termasuk salah satu penagih utang yang sempat membuat ibunya terluka. Tentu saja. Itu cukup masuk akal untuk didengar. Orang-orang itu bisa mencari segala jenis informasi tentang dirinya bahkan dari hal terkecil sekalipun. Tapi bukan itu yang terpenting. Sejauh ini hanya dia dan Wonwoo yang tahu identitas itu.
Nama K sudah pernah digaungkan pada sebuah berita yang disiarkan secara nasional usai menewaskan seorang ketua gengster yang meresahkan masyarakat. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang tahu siapa sejatinya orang di balik nama K. Lalu bagaimana dirinya bisa meminta penjelasan untuk itu kepada Jeon Wonwoo, sementara tidak ada klien yang pernah bertemu langsung dengannya. Sungguh, memikirkan hal itu membuat kepalanya mendadak penuh.
Mingyu menunduk, menilik pada saku celemek yang bergetar. Dia segera mengambil ponsel, membuka isi pesan yang pada bagian pengirim tertera nama Jeon Wonwoo.
Aku sudah menemukan tempat yang bagus. Kalau kau sudah cukup yakin, katakan saja. Aku akan membantumu mengurus segala keperluan.
Untuk masalah yang kemarin, jangan memikirkannya terlalu banyak. Kau fokus saja pada misimu yang terbengkalai. Aku akan mengurusnya. Mengerti?
Oh, dan juga. Aku baru saja mengunjungi ibumu lewat bibimu. Lakukanlah pekerjaanmu dengan baik. Kau tahu kalau kau berutang banyak padaku, bukan? Hahaha.
Baiklah, selamat bekerja.
Dengkusan disertai kekehan kecil meluncur begitu saja dari mulut Mingyu. Pria Jeon itu bahkan cukup berisik meski yang dikirim hanya berupa pesan teks. Kadang Mingyu berpikir kalau Wonwoo tidak ada bedanya dengan Ahjumma penjual sundae yang ada di Yeouido Hangang Park.
"Dia selalu saja mengomel seperti wanita tua." Mingyu mencibir setelah memberi balasan seadanya pada pesan panjang yang dikirim Wonwoo.
Atensi Mingyu kembali ditarik ketika pintu kaca di depannya diketuk dua kali. Seseorang telah berdiri di sana dengan payung berwarna terang yang menaungi. Setelan kantor dengan ujung celana sedikit basah serta rambut agak lepek tak menjadikan senyum yang disuguhkan untuknya luntur. Ini jelas masih musim gugur. Dan bisa-bisanya orang itu tak menggigil dengan pakaian seperti itu.
Dahi Mingyu mengkerut sedikit, menunggu orang yang berdiri di luar mengerucutkan payung sebelum disandarkan pada salah satu bak bunga paling besar yang terlihat kukuh. Senyumnya masih merekah.
"Sedang apa?" tanya Mingyu ketika orang itu berhasil menyelinap masuk. Jas kerja yang semula tersampir di tangan kini ditaruh pada sebuah meja kecil yang terbuat dari kayu. Tangannya bergerak mengucir rambut yang jauh dari kata rapi.
"Kira-kira kalau di luar sedang hujan, lalu ada seseorang yang datang, menurutmu sedang apa?" Jung Chaeyeon berujar sambil berdecak kecil.
"Sedang memutuskan mampir untuk membeli bunga," celetuk Mingyu. Kakinya yang panjang diayunkan ke depan dengan sebelah tangan sibuk melingkis lengan kemeja hingga batas siku.
"Auh, kau ini benar-benar. Sungguh tidak peka jadi seorang laki-laki." Chaeyeon mengayunkan tangan, membuat gestur hendak memukul. Namun dia tetap mengikuti Mingyu, lalu mengambil sebuah kursi di sana.
"Bisakah aku memesan teh kamomil hangat? Aku sedikit kedinginan."
Mingyu berhenti dari aktivitasnya yang tak terlihat sebab membelakangi gadis Jung tersebut. Dia berbalik, memandangi wajah Chaeyeon yang lembap terkena tempias hujan, lalu dengan tanpa sengaja tatapannya justru turun, berhenti pada bibir merah muda yang terlihat kepucatan. Menyadari apa yang baru saja dilakukan, Mingyu segera menggelengkan kepala keras-keras.
"Apa? Kau tidak mau melakukannya?" Chaeyeon bertanya dengan muka sedikit ditekuk. Bibirnya mengerucut.
"Melakukan ... maksudmu melakukan apa?"
"Mwo?"
Mingyu jadi bingung sendiri dengan jalan pikirnya hari ini. Apa? Memangnya melakukan apa? Mengapa dia tiba-tiba punya pemikiran kotor begitu. Kim Mingyu, sadarlah!
"Ah, oh ... baiklah. Jadi, kau ingin teh kamomil?" tanya Mingyu sambil berdeham rendah untuk menormalkan suaranya. Untung saja gadis Jung itu tidak ingin membahasnya lebih jauh.
"Benar. Tenang saja, aku akan membayarmu. Kau tidak harus mentraktirku." Chaeyeon mengibaskan tangan. Untuk pertama kalinya semenjak masuk kemari, gadis Jung itu melemparkan tawa. Tawa yang sebetulnya cukup menyenangkan untuk didengar oleh seorang Kim Mingyu yang diam-diam menarik sudut bibir agar tersenyum.
"Baiklah. Tunggu sebentar."
Mingyu berpindah untuk mengambil cangkir, teh, dan bahan lainnya yang diperlukan. Sebenarnya dia bisa saja menyerahkan masalah ini kepada seorang pegawai muda yang kini sibuk melayani pelanggan di kafe kecil—yang rata-rata datang karena sekaligus mencari tempat berteduh. Akan tetapi, Mingyu merasa perlu melakukannya sendiri di tempat ini. Bila seseorang menanyakan apa alasannya, berani bertaruh dia tidak sesiap itu untuk memberi sebuah balasan.
"Silakan."
Mingyu menyerahkan secangkir teh kamomil yang bila disentuh, hangat akan segera merambat. Selayaknya yang dilakukan oleh Jung Chaeyeon. Gadis itu menyentuh permukaan cangkir, menikmati sensasi hangat yang membuat bibirnya ikut tersenyum.
"Ini hangat sekali." Chaeyeon berhasil menyesap satu sesapan. Ditiup pelan, kemudian menyesap lagi lebih banyak ketika kerongkongan hingga perut seperti dialiri sesuatu yang membuat nyaman.
"Kau harus membayar dengan biaya tambahan karena aku yang membuatnya." Mingyu berkelakar walau wajahnya tidak menunjukkan demikian. Yang tampak justru muka cenderung datar seperti yang biasa Chaeyeon lihat.
"Kau harus setampan Hyun Bin dulu kalau kau ingin aku melakukannya. Ya, kecuali kau adalah kekasihku atau semacamnya." Chaeyeon menjulurkan lidah, lalu menikmati tehnya selagi hangat.
"Kalau begitu ayo lakukan."
"Apa?"
"Jadi kekasihmu."
•ㅅ•
draft : 2021년 10월 30일
published : 2021년 11월 13일
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro