Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#15

Kim Mingyu mengembuskan napas entah sudah ke berapa kali. Pikirannya berkelana jauh, membelah menjadi kepingan kecil yang dipaksa menyatu. Ke arah guguran daun ginko yang bertebaran di halaman toko bunga, dia memantapkan tatapan. Untuk sepersekian detik, dia menggeleng. Fokusnya hari ini mudah sekali terdistraksi. Ada yang mengganggu pikirannya sejak tadi. Dan Jung Chaeyeon bukanlah nama yang diharapkan.

"Kupikir aku sudah mulai kehilangan akal sehat." Bibirnya yang sedikit kering bergumam. "Aku tidak mungkin memikirkan gadis berisik itu, 'kan?"

Sekarang, Mingyu berusaha meyakinkan diri perihal apa-apa yang membuat tubuhnya bereaksi aneh. Lalu dengan tanpa aba-aba, kejadian semalam kembali melintas. Ingatan saat Jung Chaeyeon menciumnya—ya ampun, bahkan dia merasa aneh bila harus menyebut kata itu. Mingyu mengacak rambut setengah frustrasi, lalu kembali meratap. Tanpa sadar jemarinya ikut bergerak, menyentuh bibir yang rasanya masih terlalu membekas. Mendadak ada sesuatu yang menjalar di pipi. Rasa hangat itu hadir lagi, membuat darahnya berdesir.

"Sial. Kenapa aku terus mengingat-ingat hal itu lagi?" Mingyu segera menyadarkan diri. Tubuhnya bergidik. Meski sentuhan itu terlampau hangat, dia tidak ingin meresapinya terlalu dalam. Tidak mungkin, dan tidak boleh.

"Dia seharusnya tidak mencium pria sembarangan." Mingyu mencibir kecil saat ingat bahwa gadis Jung itu melakukannya di bawah pengaruh alkohol. Yang artinya, itu semua tidak dilakukan secara sadar. Jadi, buat apa dia memikirkannya terlalu dalam. Toh, Jung Chaeyeon tidak akan mengingat hal itu. Dan meskipun ingat, Mingyu tak akan membiarkan gadis itu bertanya-tanya, terlebih mengetahui bahwa dirinya sempat memikirkan hal itu berulang kali.

Mingyu segera mengalihkan pikirannya pada hal lain. Diraih semprotan air, lalu dihampiri bunga-bunga yang diletakkan dalam keranjang-keranjang besar. Dia menyemprotkan air itu pada kelopak bunga agar terlihat makin segar. Sesekali hidungnya didekatkan demi menghidu aroma sedap yang membuat perasaannya tenang dan nyaman.

Namun usaha mengalihkan pikiran itu tak berlangsung lama. Ingatan itu menepi lagi saat kepalanya kosong, tidak sedang memikirkan apa pun. Jadi dengan gerakan ragu-ragu, dia mencoba merogoh ponsel di saku celemek. Sarung tangan yang semula membalut tangan dilepas. Usai memilah kontak, jempolnya segera mendial nomor tersebut—setelah bimbang harus menekannya atau tidak. Nomor Jung Chaeyeon. Itulah yang terpampang pada layar ponsel.

"Oh, halo. Ada apa, Kim Mingyu-ssi?"

Panggilan dengan cepat tersambung. Suara gadis Jung segera terdengar. Mingyu tak menyangka akan mendapat respons secepat ini. Padahal dia berpikir kalau Chaeyeon sedang bermalas-malasan sambil menonton televisi di hari liburnya. Ya, atau setidaknya, gadis itu akan menyibukkan diri sehingga tidak bisa menerima telepon sesegera mungkin. Namun nyatanya ....

"Oh?"

Mingyu tak tahu harus bagaimana. Dia sendiri juga tak mengerti untuk apa menghubungi gadis tersebut. Sekarang dirinya tampak seperti orang bodoh, linglung, dan terserah saja ingin menyebutnya apa. Yang jelas, penyesalan mendadak hinggap. Seketika dia merutuk dalam hati.

"Tidak. Tidak ada apa-apa." Akhirnya kalimat itu yang meluncur dari mulutnya.

"Lalu kenapa kau meneleponku? Aku sedang mencuci banyak sekali pakaian. Apa ada hal penting yang ingin kausampaikan?" Chaeyeon di seberang berceloteh. Agak berseru, lebih tepatnya.

"Oh ... itu ...." Mingyu menggaruk kepala. Ludahnya ditelan. "Tidak ada." Napasnya dihela pelan. Merasa payah.

"Mwoya. Kau bisa mengatakannya kalau memang ada yang ingin kausampaikan."

"Tidak ada. Aku tutup teleponnya." Mingyu segera mematikan panggilan secara sepihak. Tak peduli bila nanti Chaeyeon akan bertanya dengan nada bicara yang bahkan sudah bisa dia bayangkan.

"Kurasa aku benar-benar sudah gila." Tangannya yang besar mengusap wajah frustrasi. Tepat saat itu, lonceng di pintu berbunyi. Mingyu segera membenarkan ekspresi, memasang senyum semenawan mungkin, dan menghilangkan bayang-bayang Chaeyeon yang muncul secara kurang ajar. Ponsel yang tadi digenggam sudah disimpan lagi di saku.

"Eoseo eoseyo," sambutnya.

Seorang perempuan muncul dari balik pintu kaca. Sebelum Mingyu sempat bertanya, orang itu terlebih dulu menceletuk sambil menunjukkan raut penuh kejut.

"Oh? Mingyu Sunbae?"

Sebelah alis Mingyu naik sedikit, meneliti perempuan yang berdiri di depannya dengan mata membulat sempurna. Tanpa mengurangi kesopanan dia bertanya, "Kau mengenalku?"

"Wah, daebak. Aku tidak percaya bertemu dengan Sunbae di sini." Perempuan tadi masih heboh sendiri. Sebelah tangan menutupi mulutnya yang sedikit terbuka. "Sunbae tidak mengingatku?" Dia menunjuk dirinya sendiri. Mingyu menggeleng tak yakin.

"Aku Yerin. Jung Yerin. Adik kelasmu waktu SMA." Gadis bernama Yerin itu terlihat berbinar.

"Ah, benarkah?" Mingyu bereaksi sekenanya. Dia tidak benar-benar ingat. Kepalanya dipaksa memilah-milah nama serupa yang mungkin saja pernah secara kebetulan mampir di hidupnya. "Aku tidak yakin soal ingatanku," ungkapnya.

"Sunbae yang dulu sering menolongku dari Jeon Somi. Di toilet, di taman belakang sekolah, di kolam." Yerin kini menyuguhkan senyum paling lebar. Jemarinya bergerak satu-satu ketika menyebutkan tempat-tempat tadi. "Masih tidak ingat?"

"Ah ..., aku mengerti." Kepala Mingyu dianggukkan sedikit canggung. Lehernya diusap, meski senyum di bibir belum luntur.

"Apa Sunbae bekerja di sini?" Kini netra Yerin mengedar ke sekitar. Meneliti toko bunga yang berhasil menarik binar-binar senang di matanya. Perempuan itu mendekatkan diri pada sekeranjang bunga di depan Mingyu, menghirup baunya penuh sukacita.

"Ya, begitulah."

Mingyu mengambil langkah menuju deretan bunga yang lain, lalu menyemprotkan air seperti yang dia lakukan beberapa waktu lalu. Yerin mengekor di belakang.

"Wah, benarkah? Kalau begitu aku akan sering berkunjung. Aku pindah ke Seoul beberapa hari lalu." Gadis itu terdengar begitu antusias. Matanya yang diberi perona berwarna lembut melebar.

"Kedengarannya bagus." Mingyu menanggapi sambil tetap mengulas senyum.

"Tentu saja. Apalagi bertemu denganmu."

"Kau ingin membeli bunga?" Mingyu segera mengalihkan pembicaraan. Dia lumayan kurang nyaman bila obrolan mereka menjurus ke hal-hal sejenis itu. Bukan apa-apa, Mingyu hanya berpikir itu tidak menarik.

"Ah, benar." Gadis itu berseru sambil menepuk dahi. "Aku ingin sebuket tulip putih."

"Untuk kekasihmu?" Mingyu beringsut ke jajaran bak-bak bunga tulip yang begitu segar dan indah.

"Bukan. Ini untuk ibuku. Hari ini dia berulang tahun."

Mingyu hanya mengangguk sambil ber-oh tanpa suara. Tangannya cekatan memilah tangkai paling segar, lalu dibawa ke sebuah meja yang berada di pojok, yang terdapat berbagai macam jenis bahan penunjang pembuatan buket.

"Sunbae, kau masih saja tampan seperti dulu." Yerin berujar ketika Mingyu sibuk dengan pekerjaannya. Kedua tangannya bertumpu di dagu demi melihat profil Mingyu yang menyegarkan mata. "Kau juga masih semanis dulu," ujarnya. Mingyu cuma diam.

"Sunbae," panggil Yerin. "Apa kebetulan Sunbae sudah menikah?" Pertanyaan tidak terduga itu membuat jemari Mingyu berhenti. Gerakannya tertahan di udara.

"Aku tidak melakukannya." Mingyu membalas cepat.

"Ah, belum ternyata." Yerin mengangguk-angguk.

"Bukan belum, tetapi tidak."

"Sunbae tidak akan menikah? Kenapa?" Rasa penasaran Yerin mencuat. Meski baru bertemu beberapa saat lalu setelah sekian lama, dia tak sungkan mencari tahu lebih banyak soal kakak kelas yang pernah menarik minatnya sewaktu duduk di sekolah menengah. Mungkin hingga sekarang?

"Kupikir itu terlalu merepotkan," jelas Mingyu. Rasa kurang nyaman yang sedari tadi disimpan, kini ditunjukkan secara terang-terangan lewat nadanya bicara. Yerin tak menunjukkan banyak reaksi selain berusaha menerima jawaban Mingyu yang kurang memuaskan.

"Sudah selesai." Mingyu menyadarkan Jung Yerin yang setengah melamun. "Kau ingin memberikan sebuah pesan?" tawarnya.

Pendar ceria kembali menghiasi wajah Yerin. Gadis itu mengangguk. "Hm, boleh. Ucapan ulang tahun pada umumnya, ditambah keinginanku untuk segera menikah."

"Kau akan menikah?" Kali ini kekehan Mingyu keluar. Fokusnya masih terpatri pada kertas kecil yang berusaha ditulisi kata-kata sesuai permintaan gadis tersebut.

"Ya, kini aku sedang memikirkannya."

"Oh, itu bagus." Mingyu beringsut memotong sebuah pita sebagai pelengkap terakhir.

"Mingyu Sunbae," panggil Yerin. Sedari tadi pandangannya tak pernah dilepas dari presensi Kim Mingyu.

"Ada apa?"

"Mau jadi kekasihku?"

•ㅅ•

2021년 10월 9일

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro