Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#14

Chaeyeon mengeratkan mantel saat angin malam mengenai kulit. Kepul tipis berembus dari mulut. Tiang lampu jalan menjadi tumpuan saat dirasa pening membuat pandangan berputar-putar. Perut Chaeyeon serasa seperti diaduk. Meski begitu, dendangan kecil di mulut belum juga berhenti. Senyum bodohnya masih berpendar.

"Auh, dinginnya."

Chaeyeon menggosok kedua telapak tangan, lalu menyembunyikannya di balik saku mantel. Malam makin larut. Udara kian dingin. Di saat begini dia baru berpikir, mengapa tidak menerima saja tawaran Baekchan. Ah, tapi dia terlalu sebal dengan lelaki itu. Jadi berjalan kaki sejujurnya bukan pilihan buruk. Hanya saja dia lupa, heels pada sepatu membuat kakinya pegal. Menghentikan taksi juga percuma. Tidak ada yang berhenti. Ya ampun, sial sekali.

Chaeyeon kembali berhenti, bertumpu pada pohon ceri berdaun jarang. Matanya memicing di bawah penerangan yang agak remang. Ada seseorang yang berdiri di depan sana, menghalangi trotoar yang memang sudah sempit. Di bagian paling pinggir ada sebuah garis batas yang menandakan ada perbaikan jalan. Jadi ruang yang tersisa untuk pejalan kaki juga mengecil. Chaeyeon mendekat dengan gerakan gontai.

"Ahjussi, bisa tolong minggir? Aku ingin lewat," ujarnya. Meski dengan suara khas orang mabuk, dia tetap berusaha mengulas senyum. Namun orang yang berpenampilan serba hitam itu tidak membalas, dan hanya memandangnya penuh sorot benci.

"Mwoya, ada apa dengan tatapan itu?" Chaeyeon bergumam. Rambutnya yang sudah lumayan berantakan digaruk singkat.

"Ahjussi, kau tidak mendengarku? Berhenti menghalangi jalan. Aku ingin pulang dan tidur." Kali ini nada bicara Chaeyeon berbeda dari sebelumnya. Karena pandangan makin berkunang-kunang, dia memutuskan membuang sedikit keramah-tamahannya.

Chaeyeon baru bergerak defensif ketika lelaki itu maju perlahan dan menatap dengan tatapan yang bisa membikin bulu kuduknya meremang. Refleks dia menoleh ke sekeliling. Kendaraan mulai jarang yang lewat. Meski ramai pun, sejatinya tidak ada orang yang benar-benar peduli dan meluangkan waktu untuk menepi ke trotoar demi mendengar teriakan seseorang.

"Ah, benar-benar. Bikin repot saja."

Chaeyeon mendesis. Dia bergerak melepas sepatu, lalu memasukkan benda itu ke dalam tas yang langsung penuh setelah dijejalkan dengan paksaan sedemikian rupa. Rambut yang tergerai segera diikat. Ia menyiapkan ancang-ancang. Bibirnya mulai menghitung mundur. Saat angka satu selesai diucapkan, dia berlari, menerjang jalan yang sempat dihadang oleh pria yang berdiri di sana. Kesadarannya berangsur-angsur kembali.

"Aish, kenapa aku harus melakukan ini?" Chaeyeon berlari sekuat tenaga. Dingin menapaki telapak kaki yang membuat hawa dingin terbawa hingga ke sekujur tubuh. Orang tadi ikut berlari, mengejarnya dengan cepat.

Saat sampai di belokan, Chaeyeon berhenti sejenak. Napasnya diatur. Keringat mulai menjejak di pelipis meski suhu udara terlampau rendah. Saat si pria tadi mulai dekat, dia berlari lagi, mengambil jalan pintas secara acak. Kakinya melewati jalanan yang lebih sepi dan hanya ada satu-dua lampu yang menerangi. Entah kesialan macam apa lagi ini.

Chaeyeon mempercepat lajunya saat sebuah plang yang amat dia kenali terlihat di depan. Keluar dari jalan sempit ini, dia akan berjumpa lagi dengan jalan raya besar. Selama perjalanan yang banyak menguras tenaga itu, Chaeyeon cuma bisa mengumpat sambil berharap bahwa dia masih selamat dan kembali ke rumah secepatnya. Ah, bisa gila!

Tubuh Chaeyeon nyaris terjerembap saat ia menabrak sesuatu. Kepalanya mendongak. Kelegaan langsung berembus dari dadanya yang naik-turun.

"Jung Chaeyeon-ssi? Sedang apa kau di sini?"

Kim Mingyu, dengan kantong sampah di tangan, segera bertanya saat menemui presensi Chaeyeon yang berlari-lari dengan penampilan acak-acakan. Tanpa punya banyak waktu membalas, Chaeyeon segera menarik Mingyu merapat ke tembok yang berjejer kotak sampah besar. Sekarang mereka duduk berhadapan dengan Chaeyeon yang celingukan ke sekitar, memastikan bahwa orang yang tadi mengejar tidak bisa menemukannya.

"Bau alkohol." Mingyu mendekatkan diri, mengendus gadis yang peluhnya mengaliri pelipis. "Seberapa banyak kau minum?" tanyanya.

"Kim Mingyu-ssi, bantu aku." Chaeyeon masih berusaha menetralkan napas.

"Ada apa?" Mingyu tak mengerti. Dia ikut celingukan, seperti yang dilakukan Chaeyeon. Sepersekian sekon berikutnya, gadis itu kembali menarik tubuh Mingyu lebih rapat, berusaha bersembunyi di balik dada bidang pria Kim tersebut.

"Aish, sial." Chaeyeon mengumpat saat bayangan pria tadi mulai terlihat di sekitar. Sisa alkohol yang seharusnya masih membikin pening, kini langsung sirna. Berganti dengan perasaan yang berdentum-dentum.

"Apa yang terjadi?"

"Ada seseorang yang mengejarku," balas Chaeyeon cepat. Suaranya berupa bisikan. "Kupikir itu ahjussi yang ingin cari kesempatan denganku."

"Mwo?" Dahi Mingyu menampilkan kerutan. Kepalanya mencoba melongok, ingin melihat keadaan sekitar. "Jadi, apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang mengejar—"

Chaeyeon menarik kerah baju Mingyu, refleks menautkan bibirnya kepada laki-laki Kim tersebut saat pria tadi melintas dan memeriksa tempat sampah yang menjadi persembunyian mereka.

"Ah, sial." Terdengar umpatan meluncur dari pria yang mondar-mandir di sana. Sudah susah payah mengejar, bukannya berhasil menangkap sang target, eh, malah disuguhi dua orang yang sedang bermesraan, pikirnya.

Mingyu membeku. Tubuhnya kaku dan tak bergerak seinci pun. Sensasi aneh langsung menjalar di sekujur tubuh, lalu berhenti pada pipi dan ujung telinganya yang terasa panas.

Usai memastikan pria tadi benar-benar pergi, Mingyu segera mendorong Chaeyeon keras. Tautan mereka terlepas.

"Apa yang kau lakukan?" Mingyu terdengar hendak protes dan marah.

"Kim Mingyu-ssi ...."

Kepala Chaeyeon terantuk. Gadis itu terlelap sebelum sempat memberi tanggapan pada Kim Mingyu.

•ㅅ•

"Sudah bangun?"

Mingyu melongok dari balik pintu usai mengetuknya dua kali. Perlahan, kakinya yang jenjang berjalan menghampiri dengan langkah-langkah canggung. Tengkuknya diusap singkat. Dia berdeham kecil guna menetralisir gugup. Entah kenapa, hanya dengan melihat Chaeyeon, debaran hangat langsung merambat, menggumpal, dan membuat mukanya seperti terbakar. Ingatan tentang semalam langsung berkelebat. Mingyu buru-buru menarik lagi kewarasannya.

Tak langsung membalas, yang dilakukan Chaeyeon justru menyelisik sekeliling, mengamati perabotan asing yang menempel di setiap sudut kamar tersebut. Baru selanjutnya, dia melekatkan tatapan pada sosok Kim Mingyu yang berdiri menjulang. Kepalanya nyaris menyentuh langit-langit kamar.

"Apa yang terjadi? Kenapa Mingyu-ssi ada di sini?" Chaeyeon bertanya setelah memastikan bahwa yang dia lihat memanglah Kim Mingyu.

"Aku juga penasaran kenapa aku ada di sini." Mingyu melempar sebuah hoodie tebal berwarna cerah yang baru saja diambil dari lemari Wonwoo. Chaeyeon menangkapnya dengan tepat. Lalu sebelum gadis Jung itu bertanya, dia segera menambahkan, "Aku sudah membuat sup pereda pengar. Kau bisa turun kalau mau. Hoodie itu, kau juga bisa memakainya. Bajumu kotor."

Mingyu berdeham sedikit. Ini bukan berarti dia sedang merasa perhatian dengan Jung Chaeyeon. Hanya saja, mana bisa dia membiarkan gadis itu pulang dengan baju kotor—sebetulnya bisa saja, tapi dia tak mengerti mengapa harus repot-repot melakukan itu.

"Tunggu, ini di mana? Rumahmu?" Chaeyeon segera bangkit usai merapikan rambut dan penampilannya sedikit. Kepalanya menyisir ke segala sisi, mengamati ruangan minimalis bergaya maskulin tersebut.

"Bukan."

"Lalu?"

"Rumah temanku." Mingyu berbalik, meraih gagang pintu. "Jangan bertanya lagi. Aku harus bersiap-siap untuk berangkat bekerja. Kau bisa membersihkan diri, lalu turun," pungkasnya.

Butuh waktu sekitar sepuluh menit bagi Chaeyeon untuk turun dari undakan tangga yang pada bagian temboknya dihiasi potret-potret bernuansa hitam-putih. Hoodie dari Mingyu membalut tubuhnya yang kurus. Sudut-sudut bibir segera ditarik saat melihat laki-laki itu duduk di sebuah meja makan berkapasitas tiga orang. Beberapa mangkuk berisi banchan berjejer di sana. Chaeyeon langsung menarik kursi, dan duduk dengan wajah lebih cerah. Kim Mingyu hanya melirik sekilas, lalu melanjutkan sarapannya dalam diam.

"Temanmu di mana? Aku tidak melihatnya sejak tadi," tanya Chaeyeon. Matanya tertuju pada semangkuk sup tauge yang uap panasnya masih mengepul. Mengambil sendok, dia segera mencicipi usai ditiup pelan.

"Wah, kau membuat semua ini sendiri?" Mata Chaeyeon melebar. Dia menyendok kuah lebih banyak, lalu memasukkannya ke mulut dengan tergesa-gesa. "Kau lumayan juga," pujinya.

"Sedang berada di luar," balas Mingyu pendek. Tak berminat membalas pertanyaan selanjutnya. Gadis Jung itu mungkin saja akan merasa terlalu percaya diri bila tahu bahwa pagi-pagi sekali Mingyu sudah bangun demi melihat tutorial memasak—dan dia harus bersyukur sebab gadis itu tak membahasnya lagi. Untung saja, Wonwoo jarang menempati rumah ini. Pria Jeon itu lebih senang tidur bersama komputer-komputernya di sebuah rumah di kawasan Distrik Mapo.

"Setelah ini kau akan ke toko bunga?"

Mingyu mengangguk. "Bukankah kau juga harus bekerja?"

"Hari ini aku libur. Dan aku sedang tidak ada pekerjaan paruh waktu." Chaeyeon mengangkat bahu. Mulutnya sudah penuh dengan menu sarapan sederhana yang disiapkan Mingyu; telur gulung, sup tauge, kimchi, bayam rebus, nasi, dan daging tumis. "Ah, aku adalah seorang penyiar radio." Dia menambahkan.

"Aku tahu."

"Kau tahu?" Chaeyeon membeo.

"Aku kadang mendengar acara radiomu. 'Dasar bedebah'." Mingyu menegaskan kalimat terakhir dengan raut aneh setengah menggoda. Ada tawa tipis yang tertahan di mulut, yang masih berusaha mengunyah makanan.

Chaeyeon nyaris tersedak. Mingyu spontan menyodorkan segelas air. "Ya, kenapa kau menyebutkan itu? Memalukan sekali." Dia berceloteh. Ringisan kecil menghiasi mukanya yang mendadak merah. "Aku harap, aku tidak pernah mengingatnya seumur hidup."

Mingyu hanya diam sambil berusaha menyimpan senyumnya sendiri.

"Kau bekerja paruh waktu? Benarkah?" tanyanya kemudian.

"Ya, begitulah. Kau juga tahu, biaya hidup di Seoul itu mahal. Aku harus menghasilkan banyak uang agar ayahku tidak mengkhawatirkan hidupku," tutur Chaeyeon. Wajahnya lesu, tapi langsung berubah dengan cepat. "Omong-omong, bagaimana kau tahu kalau aku penyiar radio?"

"Kartu identitas karyawanmu. Saat di depan toko."

"Ah ... itu." Chaeyeon mengangguk-angguk, mengingat lagi kejadian yang menurutnya tak masuk akal.

"Aku sudah selesai. Kau mau di sini saja?"

Mingyu mendorong kursi, lalu bangkit sambil membawa mangkuk yang telah kosong ke arah wastafel, mencuci tangan, kemudian mengambil mantel cokelat panjang yang selama musim gugur ini biasa dikenakan.

"Tidak. Aku harus pulang. Ayah pasti mengkhawatirkanku." Chaeyeon juga sudah menyelesaikan sarapannya. Bibirnya diseka singkat menggunakan tisu yang tersedia di meja.

"Pasti menyenangkan." Mingyu bergumam samar.

"Apanya?"

"Tidak. Bukan apa-apa."

Mingyu mulai memakai sepatu sambil menunggu Chaeyeon mengambil barang-barangnya. Awalnya gadis itu menawarkan agar mencuci bekas sarapan mereka, tapi Mingyu melarang. Dia bisa membersihkannya sendiri nanti.

"Oh ya, Kim Mingyu­-ssi. Apa aku semalam tak sengaja melakukan sesuatu saat aku mabuk?" tanya Chaeyeon saat sudah berada di depan pintu dan bersusah payah memakai sepatu sambil berdiri. Dia merasa sesuatu telah terjadi, tapi tak terlalu yakin apa itu. Dan sampai sekarang pun, Chaeyeon masih berusaha mengingat bagaimana dia bisa bertemu dengan Kim Mingyu hingga berakhir menginap di rumah teman lelaki Kim tersebut.

"Seperti?"

Mingyu berjalan terlebih dulu. Kedua tangannya diselipkan pada saku mantel. Chaeyeon segera mengekor di belakang, berusaha menyamai langkah Mingyu yang lebar. Udara pagi ini benar-benar menyenangkan. Seandainya Mingyu punya waktu untuk pergi ke suatu tempat bersama ibunya, dia pasti akan melakukannya.

"Um ... aku juga tidak yakin. Aku hanya bertanya." Chaeyeon menelengkan kepala, tampak berpikir.

"Tidak."

"Benarkah? Syukurlah kalau begitu." Napas Chaeyeon berembus sedikit lebih lega. "Omong-omong, terima kasih atas makanannya. Aku sangat menikmatinya, Kim Mingyu-ssi." Dia tersenyum. Mingyu hanya mengangguk samar, berusaha melupakan adegan tadi malam yang masih membuatnya terkejut hingga detik ini.

"Aku harus pergi," katanya.

"Oh, benar. Kalau begitu, sampai jumpa lagi." Tangan Chaeyeon melambai ceria. Saat laki-laki Kim itu hendak bergerak lebih jauh, dia menahannya.

"Eh, tunggu sebentar."

Mingyu berbalik. Kernyitan samar tergambar di antara alis. "Ada apa?"

Chaeyeon berkedip dua kali, lalu tampak berpikir. Tangannya yang masih teracung di udara bergerak ragu-ragu, seperti ingin mengatakan sesuatu. Mingyu masih menunggu gadis Jung tersebut bicara.

"Ah, tidak. Tidak apa-apa. Kau boleh pergi." Chaeyeon mengibaskan tangan cepat. Tawa renyahnya jelas menyembunyikan sesuatu. Tapi Mingyu memilih tak peduli, sebab dia sudah memutuskan untuk tak mengingat apa pun soal semalam.

•ㅅ•

jadi, ceritanya aku lupa kalau ini masih berupa draft di wp :'

2021년 10월 6일

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro