Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#12

"Makanlah pelan-pelan. Tidak ada yang mengejarmu."

Chaeyeon menyodorkan selembar tisu dan sebotol air mineral kepada Yoon Min Ji yang terbatuk-batuk. Gadis itu menerimanya dengan cepat. Kunyahan kimbab belum tertelan sempurna. Mulut gadis itu masih lumayan penuh. Meski begitu, tangannya tak sungkan menyumpit sepotong daging, lalu melahapnya usai meneguk air. Chaeyeon cuma menggeleng-geleng takjub. Kafetaria lumayan sepi. Banyak karyawan sudah pulang. Dan Chaeyeon sempat menanyakan diri sendiri mengapa dia harus mengendap di sini sambil menunggu seorang Yoon Min Ji berusaha menjejalkan semua makanan dalam sekali lahap.

"Tidak bisa. Aku bahkan tidak bisa menikmati makananku." Min Ji menggerakkan sumpit di udara setelah memastikan makanannya tertelan. Pandangan Chaeyeon refleks turun ke meja, menatap bungkus-bungkus kertas yang nyaris kosong, lalu berusaha meyakinkan diri dengan bagian 'tidak bisa menikmati makananku'. Min Ji melahap semua makanan seperti orang kesetanan. Meski begitu, Chaeyeon tidak memberi komentar apa pun dan membiarkan teman perempuannya itu menghabiskan makanan dengan damai.

"Kau masih harus lembur lagi?" Chaeyeon bertanya saat Min Ji selesai meneguk air dan mengendurkan kancing celana yang berubah sesak setelah makan. Kertas-kertas manuskrip yang perlu direvisi bertumpuk di balik tas kerja gadis Yoon tersebut.

"Begitulah." Min Ji menjawab tak acuh. Seolah tak ingin diingatkan pada masalah hidup yang membuatnya melajang sampai hari ini—mengendap di kantor dan lupa caranya berkencan. "Kau tahu apa artinya?" Dia menambahkan.

"Artinya kau disuruh menjaga kewarasanmu," celetuk Chaeyeon, sama tak acuhnya. Lagipula, untuk beberapa alasan tertentu, nasib mereka agak sedikit mirip.

"Kewarasanku sudah lama hilang semenjak aku gagal menonton konser Taeyeon dan NCT."

Min Ji hampir menggila kalau ingat dua hal yang barusan dia sebutkan. Raut mukanya seperti menyimpan dendam kesumat. Bayangkan saja, tiket konser sudah di tangan dan sebentar lagi akan berangkat. Bayangan menghabiskan akhir pekan dengan teramat sangat menyenangkan harus amblas ketika dering telepon dari kantor berbunyi. Ada pekerjaan mendadak dan dia harus sampai di kantor dalam sepuluh menit atau kata pecat menjadi kesepakatan akhir.

Mau tak mau, Min Ji segera mengenyahkan pernak-pernik fangirling-nya dan memelesat menuju tempat terkutuk tersebut. Begitulah dia harus rela melepas kesempatan bertemu idola favoritnya dan mendedikasikan lima menit berikutnya untuk menyumpah dan mengumpat.

"Kau bisa menontonnya lain kali." Chaeyeon tak yakin jawabannya bisa diterima.

"Lain kali bisa berarti bertahun-tahun lagi."

Benar, bukan? Chaeyeon sudah bisa menebak.

"Oh, astaga, aku tidak bisa mengabaikan visual Lee Taeyong terlalu lama." Min Ji berkata heboh sambil menunjukkan photocard terkini Lee Taeyong di balik case ponsel setelah diusap-usap dan dikecup singkat. Chaeyeon jadi merinding melihatnya. Dia berharap, dua detik berharganya bisa dikembalikan dalam keadaan suci. "Omong-omong, kau bilang ingin cerita sesuatu. Apa itu?"

"Ah, itu .... Semalam ada seseorang yang menyelinap di rumahku."

Chaeyeon berdeham kecil. Mengingat kejadian semalam yang nyaris membuat jantungnya loncat. Yang pertama, tentu saja lampu padam—perlu diketahui, dia benci gelap. Kedua, apalagi kalau bukan gerakan kilat yang membuatnya nyaris berpikiran bahwa dia sedang diculik, lalu disekap, lalu dijual organ dalamnya, lalu ayahnya akan kebingungan mencari keberadaannya, lalu—dia terlalu banyak menonton film. Ya ampun, lupakan.

Tak butuh waktu lama untuk memancing kejut di wajah Yoon Min Ji. Seperti biasa, gadis itu selalu punya reaksi heboh yang membuat mata sipitnya dipaksa melebar. Dan Chaeyeon tak perlu bersusah payah membalas reaksi berlebihan semacam itu.

"Wah, serius?" tanyanya. Chaeyeon mengangguk. Matanya disipitkan, seperti menerawang kejadian semalam. "Apa orang itu menyakitimu? Apa waktu itu ayahmu sudah pulang?" Pertanyaan Min Ji beruntun.

"Tidak, dan jangan sampai hal itu terjadi." Chaeyeon menjelaskan sambil memilin ujung kertas pembungkus kimbab dan daging panggang. Mengingat kejadian itu selalu berhasil membuat degup di dada meningkat dua kali lipat. Teror yang dulu sempat diterima bukan hal main-main. Itu betul-betul membuat Chaeyeon trauma. Bersyukur, tidurnya bisa nyenyak sampai pagi. "Dan untungnya setelah itu Ayah pulang. Aku sudah ketakutan setengah mati."

"Lalu bagaimana selanjutnya?"

"Aku tidak yakin. Ada dua orang yang menyelinap. Yang satu, sempat menggeledah rumahku. Satunya lagi menahanku agar tetap diam. Aku hanya berpikir mereka adalah pencuri biasa. Tapi aku tidak mengerti dengan satu orang yang berusaha 'menyelamatkanku' di saat-saat seperti itu. Jadi, bisa kusimpulkan, mereka tidak saling bekerja sama," jelas Chaeyeon. Sentuhan itu ... mana mungkin ia lupa. Deru napas yang suaranya bisa sampai telinga, aroma pinus yang melekat di tubuh, mana mungkin Chaeyeon bisa mengabaikan itu.

"Menyelamatkanmu? Maksudmu, ada yang menyelamatkanmu seperti adegan di film-film itu? Bersembunyi di balik tembok atau semacamnya?" Lagi-lagi, Min Ji heboh sendiri. Entah apa yang ada di kepalanya. Mungkinkah gadis itu tengah membayangkan bahwa yang melakukan itu adalah Lee Taeyong? "Wah, kau baru saja membual padaku?"

"Ya, siapa yang membual. Aku berkata sungguh-sungguh." Chaeyeon berceloteh tak terima. Tangannya melempar potongan kertas yang dipilin sejak tadi. "Memang begitulah yang terjadi."

"Tapi itu terlalu fiksi untuk menjadi nyata dalam hidupku," timpal Min Ji. Ya, siapa juga yang mau peduli. Chaeyeon saja tidak peduli.

"Dan harusnya kau bersyukur masih bisa melihatku dan memakan traktiranku." Decak di mulut Chaeyeon kembali lolos. Sedang gadis di seberang meja cuma menyengir tanpa merasa bersalah.

"Ah, benar juga. Baiklah, aku menyayangimu. Dan traktiranmu, tentu saja." Min Ji cengengesan sambil membentuk tanda hati dengan telunjuk dan jempolnya.

"Dasar." Chaeyeon mendesis.

"Chaeyeon-ah."

Min Ji melirik Chaeyeon dengan raut yang tak bisa dimengerti. Kepala Chaeyeon spontan menoleh, merasa dipanggil. Detik berikutnya, dia menyesal dan menyalahkan saraf di otaknya yang terlalu refleks merespons sesuatu. Lagipula, kenapa juga dia harus disuguhi pemandangan yang membuat nafsu makan luntur seketika?

"Astaga, kenapa dia harus muncul sekarang, sih?" Chaeyeon tak tahan kalau tidak menggerutu sebal. Sejenak dia tahu apa maksud tatapan Min Ji tadi.

"Apa dia kurang kerjaan? Setiap saat aku selalu melihat dia berkeliaran dan menggoda pegawai wanita yang masih junior." Giliran Min Ji yang berbisik, tetapi dengan segaris senyum yang diulas di bibir. Netranya mengedar ke arah seorang pria dengan bahu dan tubuh tegap. Sejatinya, itu bisa saja masuk kriteria idaman Min Ji. Tapi, tidak, terima kasih. Dia masih ingin mendedikasikan hidupnya untuk Taeyong, walau ia yakin, Taeyong-pun belum tentu mau. Begitulah kenyataan menyakitkan seorang penggemar.

Chaeyeon meringis diam-diam. "Begitulah hidupku mengalami kesialan."

"Aku turut prihatin."

Song Baekchan mendekat dengan kedua tangan diselipkan di saku mantel. Senyuman itu, astaga, entah mengapa bila semakin lebar, semakin ingin sekali Chaeyeon musnahkan. Bagi Chaeyeon, apa pun tentang Baekchan itu menyebalkan. Lebih menyebalkan dari cara bicara Kim Mingyu.

"Chaeyeon-ah, kenapa kau tidak membalas pesanku? Kupikir kau sudah pulang." Baekchan berujar setelah kakinya berhenti tepat di samping kursi yang Min Ji dan Chaeyeon tempati.

"Ah, sunbae mengirim pesan? Maaf, ponselku mati." Chaeyeon pura-pura terkejut dan menyesal, lalu menunjukkan ponsel yang syukurnya memang mati karena baterai habis.

"Kalau begitu, ayo pulang bersama. Kebetulan cuacanya sedang bagus."

"Aku akan pulang bersama Min Ji. Benar, 'kan, Min Ji-ya?" Chaeyeon menyikut lengan Min Ji, berharap kalau gadis itu bisa diajak bekerja sama dan menyelamatkannya dari senior menyebalkan ini.

"Ah, aku harus menyelesaikan pekerjaanku. Terima kasih makanannya. Aku harus kembali. Selamat bersenang-senang."

Dan seharusnya Chaeyeon bisa memperkirakan kalau Min Ji akan memberi jawaban yang demikian. Kenapa pula dia bisa menaruh kepercayaan begitu cepat pada Yoon Min Ji yang kini sudah berlari menjauh sambil menjumputi manuskrip yang sempat terjatuh di lantai. Hanya tersisa sampah di meja bekas makan gadis Yoon tersebut.

"Apa? Hei, Yoon Min Ji!" seru Chaeyeon. Tangannya terkepal diam-diam. Yoon Min Ji, aku akan membunuhmu!

Melihat hal itu, tawa renyah agak tertahan milik Song Baekchan berhasil menyelinap di pendengaran. Chaeyeon mendelik. Tidak ada yang perlu ditertawakan.

"Nah, sekarang bisa pulang bersama, 'kan?" Baekchan kembali bersuara setelah mengenyahkan sisa tawanya. "Ayo." Tangannya bahkan meraih lengan Chaeyeon, yang langsung ditepis secara halus oleh gadis tersebut.

Chaeyeon hanya berharap dia bisa melarikan diri. Tapi dia tak akan berharap banyak kalau-kalau pada akhirnya dia akan menghabiskan waktu berharganya beberapa menit ke depan dengan cara yang membosankan. Jauh lebih membosankan daripada menunggu antrean panjang saat dia dipaksa Min Ji menemani datang ke konser atau ke music show di gedung salah satu stasiun televisi.

"Ah, aku ingin makan makanan yang pedas dan hangat. Bagaimana kalau ke warung tenda sambil minum soju?" tanya Baekchan saat mereka sudah keluar dari gedung YBS. Chaeyeon sungguh ingin enyah saja dari sana.

"Sunbae, sepertinya aku tidak bisa ikut. Aku sudah berjanji akan makan malam bersama ayahku." Chaeyeon berusaha mencari alasan. Pria itu ikut berhenti saat Chaeyeon berhenti secara tiba-tiba.

"Ah, ayolah, Chaeyeon-ah. Kenapa kau terburu-buru? Kau bisa makan malam dengan ayahmu lain kali."

"Sunbae bisa mentraktirku lain kali," balas Chaeyeon cepat.

"Siapa yang bilang akan mentraktirmu? Tidak, kau bayar sendiri."

Oh, astaga. Apa-apaan lagi ini. Chaeyeon sudah menyiapkan ancang-ancang seandainya tenaganya dibutuhkan untuk melayangkan jotosan di rahang pria itu. Tapi, tidak. Dia harus menjaga imej baik di depan seniornya, atau mulut itu akan membeberkan tindakannya ke seluruh penjuru kantor tanpa terkecuali. Dasar laki-laki berengsek.

"Kalau begitu, aku permisi dulu," final Chaeyeon. Dia sudah tidak peduli lagi. Song Baekchan kapan akan berhenti membuat darahnya mendidih?

"Hei, Jung Chaeyeon! Tunggu dulu." Baekchan berusaha menahan gadis itu. "Aku hanya bercanda. Aku akan mentraktirmu." Segelintir tawa meluncur, yang sayangnya sama sekali tidak terlihat lucu maupun menyenangkan di mata Chaeyeon.

"Tidak bisa." Lengan kekar Song Baekchan ditepis cepat.

Bukan. Itu bukan Chaeyeon yang melakukannya. Pun suaranya. Suara itu bukan milik Chaeyeon.

"Apa?" Baekchan terlihat tak terima diperlakukan seperti tadi. Apalagi oleh orang asing yang kini berdiri berdekatan dengan junior kesayangannya tersebut.

"Kim Mingyu-ssi." Chaeyeon nyaris tak percaya dengan apa yang dia lihat. Senyumnya lamat-lamat mulai mengembang. Meski samar, lelaki Kim itu bisa melihatnya dengan jelas. Sejelas presensinya sekarang.

"Dia sudah ada janji denganku." Mingyu segera menarik tangan Chaeyeon. Tak mungkin Chaeyeon tak senang. Dia saja nyaris melompat girang kalau tak ingat Song Baekchan masih berdiri di sana. Ah, akhirnya dia bisa lolos dari senior menyebalkan itu. "Ayo, Jung Chaeyeon-ssi."

Mingyu segera membawa gadis itu menjauh sebelum pria berbadan bongsor itu melayangkan lebih banyak kata-kata.

Saat mereka sudah jauh, barulah Chaeyeon berani melontarkan kata-kata. Mata gadis itu berbinar. Kurva yang berpendar di bibir belum juga luntur. Dia tak sungkan melingkarkan tangan seperti anak kecil di lengan Mingyu yang kukuh. Lagipula, Mingyu juga tak protes.

"Terima kasih," katanya.

Mingyu berdeham demi menjernihkan tenggorokan yang mendadak kering. Ujung-ujung telinganya seperti dialiri sesuatu yang hangat hingga menjejakkan rona kemerah-merahan di sana.

"Mwoga?" Kepala Mingyu bergerak ke samping, memandang Chaeyeon yang rambut tergerainya dialiri angin malam tipis-tipis. Musim gugur dan Chaeyeon adalah perpaduan yang kadang-kadang cukup mendebarkan.

"Geunyang." Chaeyeon mengulum senyum. "Aku merasa harus mengucapkan itu padamu."

Sejenak, Mingyu ingin tahu, rasa hangat macam apa yang berhasil merembas hingga bagian terdalam hatinya yang sulit dijangkau.

•ㅅ•

"Jeon, aku butuh informasi."

Ponsel Mingyu diapit di bahu. Kedua tangannya sibuk melepas sarung tangan dan masker yang semula menutupi kulit. Barang-barang itu segera berpindah ke tong sampah di persimpangan jalan saat kaki jenjang Mingyu bergerak, meninggalkan sebuah rumah yang baru saja dipijaki. Beruntung, putri satu-satunya Jung Hyun Jae bisa diatasi dengan baik. Wonwoo merespons cepat di seberang.

"Bisa tolong carikan aku latar belakang seseorang? Aku tidak ingin ada yang coba-coba mendahului targetku. Jung Hyun Jae, hanya aku yang boleh membunuhnya."

•ㅅ•

2021년 9월 29일

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro