Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#11

"Kenapa wajahmu seperti itu?"

Wonwoo menggeret kursi. Kedua tangannya memegang cangkir berisi kopi, lalu ditaruh di meja kayu kecil yang ada di sana—satu untuk Mingyu, satunya lagi untuk dirinya sendiri—tanpa melepas pandang pada lelaki Kim yang mukanya terlihat tak ramah. Layar-layar komputer berjejer, menampilkan banyak data atau apa pun itu yang tidak Mingyu pahami. Pantulan terangnya berjejak di kacamata yang dikenakan Wonwoo ketika laki-laki itu melirik ke salah satu komputer untuk mengecek sesuatu.

"Kau yang memberi tahu Kakakku kalau aku ke Seodaemun waktu itu?" Mingyu berkata sambil membolak-balikkan halaman sebuah majalah dewasa tanpa minat sebelum melempar rendah ke meja yang ada di depannya. Udara musim gugur menelusup dari jendela yang kacanya berembun, membuat suasana percakapan petang itu jadi bernada serius.

Meski penerangan di ruangan ini temaram, Wonwoo bisa tahu wajah pria Kim itu mengeras. Suara dengusan rendah berembus. Wonwoo sudah bisa menebak, seorang Kim Mingyu tidak akan datang kemari dengan segala kemudahan dan keramah-tamahan. Dan setidaknya, dia bisa memperkirakan percakapan macam apa yang bakal digiring di suasana semacam ini.

Wonwoo menggaruk ujung alis sambil memberi cengiran tak kentara. "Hm ... aku tidak bermaksud begitu, tapi kupikir akan bagus kalau kau berbicara dengannya setidaknya satu kali setelah sekian lama."

"Dan itu sama sekali tidak bagus." Mingyu membalas cepat. Kedua kakinya diluruskan, lalu beringsut membaringkan tubuh di sofa panjang yang nyaman dan hangat. Hoodie tebal kedodoran melapisi tubuh. Mata laki-laki itu memejam.

"Apa kalian bertengkar?"

Melihat bagaimana sisa lebam menghiasi wajah Kim Mingyu, dia seharusnya tidak menanyakan hal yang sama. Namun, dia tetap melakukannya meski sudah tahu jawaban seperti apa yang akan dia dengar.

"Kaupikir saja sendiri. Kuharap aku tidak melihat wajahnya lagi."

Tawa geli Wonwoo meledak. Jawabannya akurat, seperti yang diharapkan. Yang ditertawakan hanya berdecak keras, lalu menutup mata dengan lengan. Kadang dia tak mengerti apa yang menjadikan suatu hal begitu lucu sampai pria Jeon ini membuang-buang tenaga untuk menertawakan hal tidak penting.

"Mingyu-ya, aku tahu kenapa kau bersikap begitu. Tapi, bukankah hal itu tidak mengubah apa pun?" Wonwoo kembali bertanya ketika tawanya sudah reda. Posisi Mingyu masih sama seperti tadi. "Maksudku, sikapmu pada Min Hyuk," imbuhnya.

"Koreksi, sikapnya padaku dan Ibu." Tanpa mengenyahkan lengan yang menutupi mata, Mingyu menjawab malas. Lagipula, dia selalu malas membicarakan apa pun yang berhubungan dengan Kim Min Hyuk. "Dia yang mulai duluan, Jeon, barangkali kau lupa."

"Astaga, si Kunyuk ini." Wonwoo melempar bantal kecil tepat mengenai muka Mingyu. "Sampai kapan kau akan memanggilku Jeon, Jeon seperti itu?"

Mingyu mengenyahkan lengan. Matanya kembali terbuka. Bantal yang dilempar Wonwoo segera dilayangkan kembali kepada si pemilik. Beruntung, Wonwoo segera menghindar, sehingga bantal tadi jatuh begitu saja di lantai. "Kau pasti juga memberi tahu di mana tempat kerjaku, bukan?" Dari tatapannya, Mingyu seperti menyumpah diam-diam.

"Ah, ayolah, Mingyu-ya. Kenapa kau begini? Dia bilang itu hal penting. Aku tidak punya pilihan."

"Kau punya banyak pilihan. Dan, oh, aku tidak peduli alasanmu." Mingyu kembali menjatuhkan tubuh di sofa, lalu berharap dia bisa tertidur dengan cepat sebelum suara Jeon Wonwoo berubah menyebalkan di telinga.

"Baiklah, ayo lupakan soal Min Hyuk. Aku ingin tahu siapa gadis yang akhir-akhir ini bicara denganmu."

"Itu tidak penting, Jeon. Biarkan aku memejamkan mata dan tidur dengan tenang," timpal Mingyu malas. Dia tak berselera membahas apa pun meski itu tentang gadis Jung yang berisik dan hampir setiap saat muncul di depannya.

Usai Min Hyuk datang ke toko bunga, Mingyu seperti tak memiliki hasrat untuk berinteraksi dengan Jung Chaeyeon lagi. Rasanya seperti ditarik oleh kenyataan, lalu diingatkan bagaimana jati diri yang sesungguhnya. Sebab dipikir berulang kali pun, dia bukan orang yang aman untuk dijadikan teman bahkan bila itu hanya sekadar teman mengobrol. Dari awal seharusnya dia mengabaikan keberadaan gadis itu. Dia bukan laki-laki bersih dan baik seperti yang gadis itu pikirkan—memangnya apa yang dipikirkan Jung Chaeyeon. Astaga.

"Hei, kita jarang bertemu secara langsung. Kau tega seperti ini padaku?" Wonwoo berdecak keras-keras. Dia menggeser kursinya menghadap deretan monitor. Jemarinya terlihat mengetik, setelah itu layar di hadapannya berubah, menampilkan peta lokasi sebuah jalan di Seoul.

"Iya. Jadi, hentikan."

"Sepertinya aku tahu kenapa kau selalu jomlo."

"Jangan membicarakan dirimu sendiri."

Wonwoo melirik Mingyu sekilas. Bantal yang tadi berada di lantai dijumput lagi, lalu melemparnya lebih keras ke arah Mingyu. Laki-laki itu langsung membuka mata, menatap Wonwoo sebal.

"Kau masih mengincar Jung Hyun Jae?"

Monitor yang layarnya lebih kecil segera menampilkan potret seorang pria ketika telunjuk Wonwoo menekan salah satu tombol di kibor. Wonwoo menatap lekat foto pria bersetelan jas rapi dengan segaris senyum di bibir.

"Hm." Gumaman Mingyu terdengar.

"Masih berencana balas dendam padanya?"

"Hm."

"Kau sudah tahu dia yang memegang kasus si Kwon bedebah itu?"

Kali ini bukan hanya mata yang terbuka lebar, tetapi lelaki Kim itu refleks membawa tubuhnya bangkit. Netranya ikut mengedar ke arah potret pria yang terpajang di komputer Wonwoo tersebut. Melihat reaksi seperti itu, senyum miring Wonwoo berpendar samar.

"Apa?"

Kekehan Wonwoo segera terbit. Kursi yang dia duduki diputar menghadap Mingyu. Air mukanya menunjukkan raut tak menyangka. "Bagaimana mungkin kau begitu tidak peduli dengan kasus yang bahkan sewaktu-waktu bisa menyeret namamu, huh?" komentarnya.

"Dengar, Mingyu-ya. Ini tidak sesederhana yang kaupikirkan. Begitu kasus ini diusut kembali, beberapa nama akan muncul sebagai tersangka sampai semua benar-benar terbukti. Aku yakin, kau sudah melihat berita atau setidaknya membaca koran." Wonwoo masih berceloteh. Mingyu tidak punya ide untuk menanggapi. Dia cuma diam dan menyimak. Rasa kantuk yang tadinya sempat hinggap, kini telah sepenuhnya lenyap.

"Kalau kau berniat balas dendam, kenapa tidak kaulakukan saja dari dulu? Kenapa lama sekali?"

"Aku hanya menunggu momen yang tepat." Tatapan Mingyu menerawang ke arah gorden jendela yang sesekali bergerak tertiup angin. Di luar hujan. Itulah yang bisa dia simpulkan sehabis melihat ada butir-butir air mengendap di sana.

"Kudengar dia memiliki seorang putri. Hancurkan saja hidup putrinya, dan dia akan tahu rasanya jadi dirimu." Jemari Wonwoo menyentuh pegangan cangkir kopi. Seringai tipis merekah ketika netranya bersinggungan dengan Mingyu.

"Tidak ada sangkut pautnya. Masalah ini hanya antara aku dan Jung sialan itu." Mingyu jelas tidak sepakat. Itu ide buruk. Dia tidak akan mengganggu kehidupan orang yang tidak ada sangkut pautnya meski orang itu punya hubungan darah dengan targetnya.

"Hei, itu namanya membunuh secara perlahan." Wonwoo terkekeh, membayangkan kalau itu adalah korbannya, maka dia akan dengan senang hati melakukan hal tersebut. Sayang sekali, dia sudah membersihkan tangan dan tak ingin mengotorinya lagi.

"Kaupikir aku tipe orang yang seperti itu? Melibatkan orang lain yang tidak bersalah? Itu sama sekali bukan gayaku." Mingyu meraih cangkir yang tersuguh di meja, lalu menyesap isinya. Raut di wajah seketika berubah. Kopi itu terlalu pahit untuk lidahnya.

"Lagipula, sama saja. Kau juga akan menghancurkan hidup putrinya kalau kau membunuh ayahnya. Jadi, apa yang berbeda?" Bahu Wonwoo terangkat singkat. "Bukankah begitu?"

"Tidak."

"Dan aku bertaruh, kau akan mendatanginya malam ini."

"Tidak akan."

•ㅅ•

Chaeyeon menoleh ke arah pintu ketika terdengar suara ketukan beberapa kali. Yang dia tahu, ayahnya tidak akan melakukan itu ketika pulang. Pria itu akan langsung masuk karena mereka mengantongi masing-masing satu kunci rumah untuk berjaga-jaga bila salah satunya belum pulang—Chaeyeon kadang tinggal di apartemen bila sang ayah ke luar kota.

Semenjak insiden penyerangan ketika ayahnya membebaskan tersangka pembunuhan karena tidak ada bukti yang cukup, beberapa orang datang dan hampir membahayakan nyawa Chaeyeon. Itu sebabnya, Chaeyeon hampir tak pernah berani tinggal di rumah seorang diri ketika ayahnya tidak pulang.

"Nuguseyo?"

Chaeyeon terpaksa bangkit dan meninggalkan aktivitasnya menikmati sepanci ramyeon yang baru dihidangkan. Kakinya bergerak hati-hati mendekati pintu. Ponsel yang tergeletak di meja, kini tergenggam erat di tangan.

Sebelum langkahnya sempurna mendekati pintu, ruangan tiba-tiba gelap. Sigap, Chaeyeon menyalakan fitur senter yang tersedia di ponsel. Tingkat kewaspadaan dinaikkan sekian kali lipat. Meski deru jantungnya bertambah cepat, dia berusaha agar tetap tenang.

"Astaga, kenapa listriknya tiba-tiba padam?" Chaeyeon berusaha menormalkan suara. Dia mendekati pintu dengan teramat pelan. Tepat saat tangannya menyentuh gagang pintu, seseorang menarik tubuhnya ke suatu arah dengan cepat.

Chaeyeon tak bisa memperkirakan hal ini. Dia hendak berontak, tetapi terhalang oleh bekapan di mulut. Baru saat kakinya menendang orang itu, bekapannya lepas.

"Kau s-siapa?" Gemetaran Chaeyeon bertanya. Wajahnya masih menghadap ke depan, tak berani memandang orang yang menahan pergerakkannya tersebut.

Orang itu—ah, tidak. Maksudnya, pria itu. Pria itu tidak membalas. Justru semakin mengeratkan diri, menarik tubuh Chaeyeon agar merapat. Mereka tengah berada di bawah tangga yang menghubungkan kamar Chaeyeon dan ruang tamu. Dari gesturnya, Chaeyeon bisa menangkap bahwa orang itu ingin agar dia diam dan bersembunyi dengan tenang. Entah bersembunyi dari apa, Chaeyeon juga tidak mengerti.

Baru di detik berikutnya, seseorang muncul dari arah jendela dengan pakaian serba tertutup. Chaeyeon bisa melihat dengan jelas bayangannya. Orang itu terlihat mencari-cari sesuatu, membuka pintu kamar dengan tergesa, dan sempat melintas di depan mereka yang meringkuk di bawah tangga.

"Dia s-siapa?" Chaeyeon kembali bersuara ketika orang tadi berlalu, sebelum akhirnya memutuskan keluar setelah hampir lima menit mengorek isi rumahnya. Pria yang masih mendekap tubuh dinginnya segera menempelkan tangan di mulut, menyuruh agar dia diam.

"Yeon-ah, Ayah pulang. Kenapa gelap sekali? Kau belum menyalakan lampunya?"

Suara seorang pria yang akrab di telinga terdengar di depan pintu. Ayahnya sudah pulang. Helaan penuh rasa lega segera berembus. Pria yang menahan pergerakannya segera melepaskan diri, bangkit, kemudian menghilang sebelum Chaeyeon sempat melihat wajahnya. Bersamaan dengan itu, lampu segera menyela terang.

"O-oh, iya, Ayah. Tadi listriknya sempat padam."

Chaeyeon bangkit dari tempat persembunyiannya. Dengan sedikit kaku dan tertatih dia mendekati pintu, menyambut pria baya yang melempar senyuman lebar padanya.

"Oh, benarkah?" kata Hyun Jae. "Lihat ini, Ayah membeli hotteok kesukaanmu." Tangannya mengacung ke atas, memamerkan sekantong jajanan manis tersebut kepada Chaeyeon.

"Wah, ini terlihat begitu lezat. Terima kasih, Ayah."

"Makanlah yang banyak, Putriku."

•ㅅ•

2021년 9월 26일

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro