Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#1.) What a Meet Cute

“Bu Lockhart jangan galak-galak, dong. Aku jadi makin suka, kan?”

Hazel Lockhart memijat pelipisnya. Pening. Dua tahun mengajar di St. Edea High School dan menangani kasus murid ajaib nyaris tiap pekan tidak membuat gadis bermata biru laut itu terbiasa. Ketika Hazel bilang kasus murid ajaib, tingkatnya bisa bermacam-macam. Kali ini, yang muncul adalah murid ajaib bernama Archer Lancaster, yang entah kenapa akhir-akhir ini gemar sekali memancing masalah dan bilang suka padanya.

Yang benar saja. Selain hubungan murid dan guru jelas-jelas terlarang, untuk ukuran 17 tahun saja, anak itu masih bocah!

“Kerjakan tugas detensimu, Archer.” Hazel memicingkan mata. “Sebelum pulang sekolah, kertas esaimu sudah harus ada di meja saya.”

Siswa dalam balutan seragam dengan codet melintang di hidung itu merengut. “Ah, Bu Lockhart, tugas-tugas begini kan menyita jam pelajaranku.”

“Kerjakan di waktu istirahat.” Sang guru berdecak. “Jangan bicara seakan-akan menulis esai seratus kata tentang kedisiplinan butuh waktu seharian!”

Entah apa yang lucu, karena yang diomeli malah senyum-senyum saat mata elang Hazel melotot.

“Untung Bu Lockhart manis. Kalau nggak marah-marah pasti lebih cantik, deh—”

Hazel langsung mengusir si bocah badung dari ruangan konseling. Demi Tuhan. Menangani siswa telat masuk sekolah saja bisa menguras tenaga begini banyak. Jam yang terpaku di angka dua belas membuat Hazel tersadar ia sudah meladeni murid ajaib level satunya (iya, itu masih level satu) sampai jam makan siang.

Pantas perutnya keroncongan.

Wanita dalam balutan kemeja putih itu baru saja kembali dari kantin dengan sebungkus nasi kepal untuk amunisi pengganjal perut. Harusnya ia makan sesuatu yang lebih berat, tapi setelah ini dirinya harus membuat laporan terkait pemetaan rencana karir anak-anak tingkat akhir. Hazel butuh sesuatu yang cepat dikunyah dan praktis.

Tepat saat memasuki ruang guru, suara kencang menyita perhatiannya. Hazel menoleh dan mendapati sosok pirang jangkung batuk-batuk parah. Itu René Yates, guru kimia magang yang sudah beberapa bulan bekerja di sini. Setahu Hazel, pria itu memang sering terlihat pucat dan jelas bukan manusia paling bugar di dunia, tapi kali ini volume suara batuknya bisa membuat siapa pun khawatir nyawa orang itu terlepas bersama dahak yang keluar.

Sekilas, Hazel melihat darah di punggung tangan René Yates. Tidak banyak, tapi jelas aneh!

"Anda kenapa?" Buru-buru, sang puan meletakkan tumpukan berkas di tangan dan menghampiri sumber suara.

Yang ditanya berkata tak ada apa-apa. "Hanya sedikit tersedak air minum," dia menambahkan sambil mengusapkan tisu punggung tangannya. René Yates pasti dalam mode penyangkalan. Hazel hendak mencecar ketika manusia satu itu pamit begitu saja, seakan tak ada apa-apa.

Sayang, gestur tubuh tak bisa bohong.

Jalan lelaki itu agak bungkuk. Orang itu betulan baik-baik saja, kan? Jujur, Hazel sedikit sangsi. Sejenak, sang gadis mengecek arloji. Tak ada kelas konseling yang perlu ia ampu untuk dua jam pelajaran ke depan. Aman kalau gadis itu hendak menyusul. Batin Hazel berkata bahwa René Yates tak bisa dibiarkan sendirian beberapa waktu ke depan.

"Anda benar baik-baik saja?" Wanita berambut ikal keemasan itu berusaha menyamakan langkah. Melihat cara berjalan René Yates yang semi-semi sempoyongan, tentu saja dia jauh dari kata baik-baik saja. Apalagi pertanyaannya sama sekali tak digubris, padahal suara Hazel tidak ada kecil-kecilnya.

Tak mendapat tanggapan, Hazel mengulangi pertanyaannya. "Anda terlihat tidak sehat, Pak Yates. Apakah Anda butuh bantuan?”

"Ya, ya. Saya baik-baik saja, Nona ….um, Nona ... Lockhart?"

Tingkah René Yates mengingatkan Hazel pada anak kecil yang tertangkap basah mencuri, akan tetapi enggan mengakui perbuatannya.

“Saya baik-baik saj—"

Keringat dingin dan ekspresi kesakitan yang entah bagaimana tersirat jelas di wajah lelaki dalam balutan sweter hijau itu jelas bertentangan dengan pernyataan "baik-baik saja" yang diungkapkan barusan. Hazel geleng-geleng kepala.

"Anda jelas tidak baik-baik saja." Sang gadis mengulurkan tangan, bersiap menerima berkas dari tangan Rene Yates. Mata biru lautnya memandang si guru magang dengan tatapan penuh penghakiman. "Pergilah ke ruang kesehatan, Pak Yates. Anda tahu tempatnya, kan?”

Dia mengangguk pelan, lantas berbalik. Ke arah kelas.

Kacau benar. Bagaimana caranya dia masuk dan mengajar dengan wajah nyaris kehilangan nyawa begitu? Gadis itu menahan pundak Rene Yates yang sudah berbalik entah hendak ke mana.

"Salah arah, Pak Yates." Hazel mengambil paksa barang-barang dari tangan si lelaki pirang. Gadis itu yakin, kalau tidak dipaksa begini, René Yates tak akan menyerah.

Kenapa rasanya jadi seperti mengurus murid yang mau kabur?

"Saya antar saja ke ruang kesehatan, setelah itu saya bantu kembalikan barang-barang ini ke meja Anda. Tidak mungkin Anda mengajar—”

Ada untungnya Hazel mengambil paksa berkas dari tangan Yates. Sebab, tahu-tahu saja pria itu memuntahkan isi perutnya. Bercampur darah pula! Sebetulnya, kondisi mengenaskan orang ini ada di level berapa?

"Sungguh ... Maafkan saya." René Yates mencicit. Tubuh tinggi kurusnya limbung, lantas jatuh berlutut. Benar-benar gawat. Di titik ini, Hazel yakin ia bisa mengangkat badan ringkih milik manusia yang sebetulnya lebih tinggi darinya itu tanpa bantuan siapa-siapa. Namun, kalau ia benar-benar merealisasikan rencana menyeret René Yates sepanjang jalan, lantainya harus dibersihkan lebih dulu.

Sepertinya, lebih baik Hazel memanggil petugasnya ke sini saja.

"Saya panggilkan dokter dan petugas kebersihan, ya." Hazel berdecak seraya membenahi kemeja putihnya yang sedikit terpercik isi perut Rene Yates. Gadis itu juga menginstruksikan sang guru magang untuk diam di tempat sementara waktu, tapi … Demi Tuhan. Perkataan Hazel sama sekali tak digubris. Lelaki itu malah berusaha berdiri—jelas gagal—dan menggumamkan tekad untuk membereskan kekacauan ini.

Memang baiknya Hazel turun tangan lebih dalam. Gadis itu mencengkram lengan lelaki ringkih itu sekuat tenaga—walau sebenarnya tanpa mengerahkan daya sebesar itu pun Hazel sudah bisa menahan Rene Yates, mengingat kondisi mengenaskan si pria.

"Yang ini, biar saya minta tolong petugas kebersihan untuk membereskan," Hazel mengeluarkan ultimatum. "Anda ikut saya ke ruang kesehatan!"

Ankle boots yang menjadi pilihan Hazel hari ini, untungnya, tidak membuat gadis itu kesulitan bergerak. Paling-paling langkahnya jadi sedikit lebih berisik, tapi mengingat jam pelajaran sudah dimulai dan tidak ada yang terganggu, tidak masalah.

Hazel menatap dirinya sendiri yang tengah bersiap menyeret Rene Yates. Biasanya, sang gadis melakukan hal semacam ini pada murid-murid sekolah yang hendak kabur. Akan tetapi, sepertinya guru yang satu ini juga mau kabur dari kenyataan bahwa dirinya sedang tidak sehat. Jadi Hazel berhak melakukan ini, kan?

"Uh, tunggu!" Yates berseru. "Maaf, err ... Nona Lockhart? Bu Lockhart? Bagaimana dengan lantai yang kotor—saya kotori, itu? Nanti ada murid yang terpeleset!”

Serius? Daripada kondisi nyaris sekarat, orang ini lebih memikirkan lantai kotor? Mata biru Hazel mendelik. Alih-alih menjawab, gadis itu memanggil petugas kebersihan yang kebetulan melewati lorong tempat mereka berada.

"Minta tolong dibersihkan, ya. Ada yang sakit tadi." Hazel bicara pada pemuda berseragam hijau yang membawa pel. Setelah memastikan permintaan tolongnya dituruti, barulah wanita berperawakan menjulang itu menoleh kembali pada Yates.

"Beres. Sekarang kau sendirilah yang perlu dikhawatirkan." Hazel berujar dengan nada ketus, masih menyeret Yates berjalan bersamanya. Suara hak sepatunya mengisi sunyi di lorong.

"T-tapi, saya yang membuat masalah. Jadi ... seharusnya saya yang membereskan kekacauan tadi, kan?"

Kalau dijawab, Hazel khawatir pria satu itu bakal mengeluarkan bantahan, lantas kehabisan tenaga. Si gadis memilih untuk tidak menjawab sampai mereka berdua tiba di depan ruang kesehatan. Ia baru buka suara saat tangannya membuka pintu.

"Saya tidak yakin Anda bisa beres-beres dengan kondisi seperti itu." Hazel mendorong Yates masuk dan menghadap petugas di ruang kesehatan. "Lebih baik Anda cemas dengan kesehatan Anda sendiri sebelum mengkhawatirkan yang lain.”

Apakah Hazel terdengar sinis? Rasanya tidak, dan perempuan itu tak pernah bermaksud. Itu intonasi yang sama dengan cara bicaranya kepada murid yang tak mau menurut. Hanya saja, beberapa guru kadang mengeluhkan tentang betapa juteknya Hazel dalam menanggapi. Semoga René Yates tidak berpikir yang sama.

"Uhh, terimakasih banyak." René Yates merogoh sakunya, lantas menyerahkan sekotak tisu basah. Lelaki itu bicara—lebih tepatnya bergumam—dengan volume nyaris nol, tapi situasi yang sepi membuat Hazel masih bisa menangkap kata-katanya. "Nanti, katakan saja pada saya biaya laundry-nya. Maaf sudah merepotkan Anda.”

Duh, Hazel gemas. Rasanya ingin sekali gadis itu memasang borgol di kedua lengan Rene Yates, kalau hal itu bisa membuat si lelaki berhenti memikirkan urusan orang lain dan lebih peduli pada kondisinya sendiri.

“Anda istirahat saja, tak usah berpikir macam-macam.” Hazel geleng-geleng. “Ada tugas yang perlu disampaikan di kelas yang Anda ampu, Pak Yates? Biar saya sampaikan.”

"Eh? Saya hanya perlu mengambil obat lambung saja di sini, tak perlu repot-repot. Setelah ini juga akan segera menuju ke kelas."

Benar-benar bikin geregetan. Hazel tersenyum dengan ekspresi mengintimidasi.

"Dan membiarkan Anda mengajar dengan kondisi lemas habis muntah berdarah?" Si gadis berkacak pinggang. "Yang benar saja.”

"Anda muntah darah?!" Staf medis yang tengah menangani Yates langsung berseru.

"Eh, tidak. Hanya cairan lambung dan air …”

Bohong. Jelas-jelas Hazel melihat cairan merah juga.

“… Yah, memang ada sedikit bercak darah. Tak banyak, kok." Yates akhirnya menambahkan. Nadanya terdengar enggan mengakui. Hazel masa bodo juga, sih. Pria itu memang harus mengakui kondisinya. Sang puan bersedekap, mengambil posisi di dekat pintu. Jaga-jaga kalau si guru magang mau kabur—karena sepertinya kejadian itu punya potensi besar.

Kenapa rasanya jadi seperti menangani murid sendiri?

"Tetap saja, muntah dengan bercak darah itu tidak normal. Benar, Miss?" Hazel menoleh ke arah staf medis, meminta persetujuan. "Lagipula, sejak di ruang guru tadi Anda sudah batuk sampai terbungkuk-bungkuk.”

"Itu--...." Yates masih berusaha berkilah. "Saya hanya tersedak air minum. Sungguh!"

Seperti akan ada yang percaya saja di ruangan ini. Staf medis meresepkan obat dan menyuruh Yates mengkonsumsi sesuatu sebelum minum obat dan pergi ke dokter.

"Saya akan pergi ke kelas-kelas Anda dan mengabarkan bahwa Anda izin hari ini." Hazel manggut-manggut. Setidaknya, kali ini tampaknya René Yates akan menurut. "Di kantin ada bubur oat dan puding. Apa perlu dibawakan ke sini juga?”

Pria berambut pirang pucat itu hanya bisa tertunduk pasrah.

"Baiklah. Saya akan ke dokter setelah makan sesuatu yang lunak dan mudah dicerna--saya akan pergi ke kantin sendiri, tak perlu dibawakan kemari."

"Dan map materi Anda hari ini ...?" Staf medis menimpali.

Masih terlihat tidak rela, tapi akhirnya map Yates berpindah tangan. "Maaf, lagi-lagi saya merepotkan Anda, Nona- ... Bu Lockhart.”

Hazel menerima map dari pria bermata sayu yang satu itu dan mengintip kelas yang seharusnya diajar oleh René Yates hari ini. Alisnya terangkat mendengar permintaan maaf si guru magang.

"Tidak merepotkan selama Anda mengikuti instruksi staf medisnya dengan benar, Pak Yates." Hazel menatap tajam. "Kecuali Anda berniat kabur seperti murid yang baru saya tangani sebelumnya.”

Lelaki itu tertawa kering. "Bu Lockhart pandai bercanda. Mana mungkin saya kabur, setelah berjanji untuk menuruti saran Bu Perawat Sekolah ini?"

Hazel masih menatap Yates lurus-lurus. Dirinya butuh diyakinkan.

"Ya- yah ... Pokoknya, hari ini saja saya akan menuruti saran Anda berdua.”

"Bagus." Hazel manggut-manggut. Ia bertanya mengenai kelas yang harus ia hampiri untuk penyampaian tugas sebelum hengkang dari ruang kesehatan. Sebelum pergi, sekali lagi wanita itu menatap Yates lekat-lekat. Ada sesuatu yang membuatnya ... ingin peduli.

"Anda terlihat pucat. Makan yang benar, Pak Yates.”

🪄
1780 words.

Dina cuap-cuap:

Aku sayang banget sama dua anak ini, sungguh. Masalahnya, skill mempertahankan tenagaku dalam menulis sedang meleyot berkepanjangan setelah menuntaskan maraton+revisi Azlin-Nara. Sampai detik ini, padahal udah nyaris setahun 😭

Jadi, please don't expect routine update like Harold-Mary. Oma Catsummoner selaku besan mah sangat rajin, sayanya yang ngesot 😭

Hubungan mereka telah sampai what if mereka sudah jadian dalam sebuah skenario padahal, lol. Kelihatan sih dari works Hazel yang buat DWC 2025. Jadi ... Mari usahakan memainkan dua anak ini lebih dalam agar makin banyak momen yang menguatkan ke-canon-an dua sejoli ini 😔

Biarin lah udah ketauan tujuan jadiannya. Yakin, pasti kalian bakal lebih penasaran gimana ceritanya dua manusia yang sama-sama nggak pernah kepikiran buat menjalin hubungan asmara ini bisa jadi 🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro