Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 7 - Aquilla, the Tyran's Traitor

"Kau? Mau mengalahkanku?" Seketika Tyran tertawa congkak, menggema seisi arena pertarungan. Aquilla justru tak berekspresi.

"Padahal dulu kau memohon padaku untuk membiarkanmu hidup. Sekarang kau muncul kembali demi membunuhku?" Sekali lagi Tyran terbahak. "Jangan mimpi, Aquilla."

"Tidak, aku tak bermimpi." Ia menarik pedang elastis tersebut dan entah bagaimana caranya berpindah tempat usai mengayunkannya ke depan, Aquilla telah ada di hadapan Tyran dengan pedang melingkari lehernya, siap menarik senjatanya dengan cepat.

"Kau memang tidak bermimpi, ya."

Pedangnya nyaris memenggal leher Tyran andai tangan monsternya tak mendorong kepala Aquilla hingga terjerembab meretakkan lantai. Namun, tangan Tyran harus tergores berkat kecepatan Aquilla dalam menyerang. Buktinya, perempuan berambut putih itu langsung munculkan sebilah belati hitam di ujung gagang pedang guna menusuk tangan Tyran. Begitu kepala Aquilla bebas, lekas ia bangkit menjauh.

"Seranganmu boleh juga," kata Tyran dengan parau.

"Berterima kasihlah pada Rosa yang melatihku setiap hari." Mereka mulai berjalan dengan arah berlawanan di jarak seratus meter. Tyran mengasah tangan iblisnya dengan cahaya merah dan Aquilla memainkan pedangnya seperti pita.

"Rosa? Si darah suci itu?" Ia langsung mendengus sinis. "Bisa-bisanya dia mengajari seorang pengkhianat----"

"Mantan pengkhianat," potongnya mengoreksi. Satu pecutan menciptakan desing memekakkan telinga.

"Apapun itu, aku ingin tahu seberapa tahan kau melawanku." Tyran berhenti melangkah, Aquilla pun demikian. Tangannya menggenggam senjata erat-erat. Saat itu pula Tyran mengangkat satu tangannya tinggi, seperti merememukkan sesuatu.

Aquilla cepat sadar, langsung menghindar dari duri tangan raksasa yang mengerikan. Melihat lawannya berlari mendekat sambil ayunkan senjata, Tyran segera layangkan pukulan ke wajah Aquilla. Ia bisa menangkis bogeman Tyran dengan pedangnya bahkan mendorong ke bawah guna bisa melompat dan menyerang Tyran pakai tangan kosong. Namun belum juga menyentuh kulitnya, Tyran dengan cepat mencengkeram lengan Aquilla kemudian menghantamnya ke lantai seringan buang boneka.

Sekuat itukah Tyran sampai Ronto rela menghilang ketimbang melawannya? Aquilla membatin di sela bangkit. Tetapi, bunyi retakan tulang dalam tubuh membuatnya ambruk.

"Kenapa tak bangun?" Tyran pun menginjak kepala Aquilla dengan kuat. "Aku belum mengerahkan kekuatanku."

"Apa?" Aquilla mendelik tak percaya. Dia bilang ... belum menggunakan kekuatannya? Jangan bercanda! Membayangkan Tyran bertarung dengan seluruh kekuatannya membuat Aquilla berontak ingin bangun.

"Dengar, aku masih menyayangi nyawamu," katanya sejenak menendang muka Aquilla sebelum injak kepala sang musuh lagi. "Kuberi kau waktu untuk membujuk Cera dan Ste. Tapi aku prediksi, mereka akan menyerangmu ketimbang melawanku."

Tak ada cara lain. Dalam rintihannya, Aquilla menatap Cera yang bangun mengandalkan tombak. Ste justru terbaring tak berdaya dengan darah hampir membaluri seluruh badan. Biarawati monster itu masih bernapas, tapi sorot matanya kosong.

"Ce-cera...." Suara Aquilla nyaris menghilang. Entah kenapa ia merasa tak ada energi. "Kumohon, tolong aku...."

Cera telah berdiri meski tersengal-sengal. Terlalu banyak gerak dalam kondisi terluka membuat badannya berlumuran darah yang mengalir seperti lahar.

"Ini demi melindunginya." Air mata pun meleleh di wajah Aquilla. "Aku tahu kau ingin melindunginya. Hanya karena ancaman Tyran, kau justru berkata mau membunuhnya."

"Achio maksudmu?"

Kelak Tyran membeo keras dengan seringai yang mengerikan. Gigi Tyran sepenuhnya bertaring. "Jadi namanya Achio? Ah, akan kuingat nama kunci segel jiwa Ronto. Terima kasih sudah memberitahuku, Cera."

Perempuan dengan muka penuh jalur retakan warna oranye itu sudah siap dalam posisi menyerang. Sedangkan Tyran lekas tendang muka Aquilla hingga terguling dan pipinya menyentuh sepatu Cera.

"Barusan kau memohon, Aquilla. Tapi, kupikir Cera bisa memilih mana yang menurutnya bisa membuat dunia aman," kata Tyran mundur menjauhi dua insan tersebut. "Apakah dengan cara membunuhku ... atau dengan membunuhmu----"

"JANGAN BANYAK BICARA!" Aquilla langsung acungkan pedang hingga ujung pisaunya menyentuh hidung Tyran. Tak disangka, Cera mencoba menusuk wajah Aquilla. Nasib baik ia berguling hindari serangannya, lekas bangun dengan tangan bercucuran darah. Senjata makan tuan.

"Itu jawabannya." Ia tak peduli ucapan Tyran walau sangat mengganggu. Rasa percaya Aquilla lenyap oleh syok akan keputusan Cera. Dia telah dalam posisi ingin menghujam tubuh lawan secara brutal. "Menyakitkan, bukan?"

Refleks ia menoleh ke belakang. Monster itu tiada di mana-mana. Namun, di saat bersamaan Aquilla lengah, tahu-tahu tombak milik Cera ada depan mata. Aquilla bisa mati dengan wajah bolong bila tak mengelak cepat. Hanya pipinya yang tergores.

"Rosa pasti akan mengamuk kalau tahu kau berpihak pada Tyran." Sekali entakan kaki, mereka langsung melesat secara berlawanan dan seolah menghilang. Arena pertarungan hanya berisi percikan api dan darah saking cepatnya. Aquilla berhasil mendarat sambil bersiap menyerang Cera yang menghunuskan tombak. Targetnya ialah menyingkirkan senjata dari pemiliknya. Tombak Cera berhasil terlempar jauh, bahkan tangan musuh alami luka sayat parah. Ini menguntungkan Aquilla, dia kehilangan keseimbangan usai terima serangan. Aquilla kembali ayunkan pedang cambuk secara mendatar, berniat membelah tubuh Cera.

Sayang, Aquilla baru sadar bahwa Cera di hadapannya tetap seorang monster, bukan manusia kepercayaan Ronto. Cera langsung cengkeram bilah pedang Aquilla, kemudian menariknya dengan luat saat mencoba mendarat. Tak sampai situ, tombak yang jauh dari jangkauan tiba-tiba dalam genggamannya, siap menusuk wajah Aquilla sampai tembus. Ujung mata pisaunya nyaris sentuh batang hidung Aquilla bila sesuatu yang merah di sekitar tangannya tak menancap pelipisnya cukup dalam. Aquilla langsung menarik senjata sebelum akhirnya jadi pedang panjang dengan permukaan sebening air. Bukan lagi pedang cambuk.

"Teknik darah...."

Secara garis besar, teknik tersebut dipakai oleh Rosa yang memiliki darah suci. Cairan merah yang mengalir dari luka bisa ia ciptakan apapun termasuk senjata tajam, seperti yang Aquilla lakukan sekarang. Selain Rosa, teknik darah hanya dapat digunakan oleh orang yang tahan dengan darah suci Rosa. Cera tak kuat efek mematikan dari darah suci, di mana darah biasa akan menyatu dan hampir mustahil dilepas. Sebab itulah Cera menggeram sambil mencakar tangan Aquilla sampai dagingnya terlihat.

"Ini pilihanmu, Cera. Aku harus membunuhmu." Ia ingin menusuk dadanya, tapi justru kena bahu. Cera harus korbankan tulang ubun demi loloskan diri dari Aquilla. Alhasil, separuh otak terekspos dan darah bercahaya mengalir deras sampai timbulkan uap panas bila mengenai lantai.

"Sekarang aku mengerti kenapa banyak yang bilang kau orang paling berbahaya," ucap Cera segera ciptakan lidah api pada bilah tombak dengan cara mengelusnya. "Tapi, kau terlalu gegabah dalam menyerang."

"Aku lebih senang bilang kalau kau sengaja mengulur waktu agar Tyran bisa kabur," sahutnya. Mereka kembali berjalan menjauh secara berlawanan arah.

Cera pasti takkan mau bersatu untuk bebaskan Ronto, tapi Ste mungkin bisa. Lantas ia lirik biarawati yang terkapar mengenaskan itu. Dia seolah tak bernapas, tapi degup jantung masih terasa. Dia masih bernyawa. Sejauh yang Aquilla ingat, Ste gampang terpengaruh sehingga hubungannya dengan Ronto sangat dekat. Ia harus pengaruhi Ste, tapi bagaimana caranya?

Bebaskan aku.

Suara Cera! Fokusnya mengamati Ste pun buyar. Begitu tengok, tombak api ada di ujung mata. Ia segera tangkis menggunakan pedang. Tentu kekuatan Cera yang sekarang lebih kuat darinya, sebab itulah Aquilla terpental meski bisa menangkis serangan Cera. Belum juga ia bangkit, Cera kembali lancarkan serangan berupa mata pisau yang berhasil menusuk dadanya. Bilahnya punya rantai, lantas Aquilla tertarik ketika coba melepasnya. Tangan monster Cera berlumuran api, siap lelehkan mukanya.

Tak ada cara lain, ia manfaatkan teknik darah dengan berusaha menggenggam erat bilah tajam di dada. Cairan merah terus mengalir dan sebagian menetes. Darah itu harus merambat. Peluklah tangan Cera yang menarik rantai pisau. Masuklah lewat pori-pori kulit. Hancurkan setiap pembuluh darah dalam tubuh Cera. Seketika Cera menjerit kesakitan. Pisau yang menusuk dada Aquilla langsung tercabut seiring lawan yang melangkah mundur sambil menggeliat bak cacing kepanasan. Ambruklah mereka dengan alasan berbeda.

Energinya tinggal sedikit. Jangankan berdiri, memegang pedangnya saja Aquilla tak sanggup lagi. Lain hal Cera. Tubuhnya perlahan kaku hingga tak bergerak dalam posisi duduk bersimpuh dan mencengkeram kepalanya. Aquilla tahu efek lumpuhkan tubuh lawan hanya bersifat sementara. Ia harus paksakan diri menghampiri Ste. Dengan bantuan pedang, Aquilla jalan tertatih-tatih.

"Bertahanlah, Ste." Meski terengah-engah, ia bersimpuh di hadapan Ste yang tak bergerak sama sekali. Hanya matanya yang memancarkan warna kuning dan detak jantung yang terdengar melambat. Takut darahnya menyakiti Ste, Aquilla rela robek sebagian pakaian yang rusak guna bersihkan lukanya sendiri. Sisanya ia memohon maaf untuk manfaatkan tudung hitam Ste untuk menutup luka dia.

"Maaf, aku terlambat membantumu." Setitik air mata jatuh mengenai wajah Ste. Sambil bersihkan darah di tubuhnya, Aquilla tersenyum getir. "Rosa selalu merasa yakin kau akan berpihak pada Ronto. Mungkin kau tak bisa mempercayai ramalan Ronto karena keputusan beliau, menghindari konflik sendirian sementara kita menderita. Tapi ... kali ini Ronto butuh bantuanmu, butuh bantuan kita. Achio selamat, Ronto pun hidup, kita juga takkan menderita lagi seperti sekarang."

Tanpa Aquilla sadari, mata Ste membulat. Pupilnya menciut hingga sekitar bola matanya berhiaskan urat kecil. Begitu melihat raut muka Ste yang nyaris tak dikenali, alih-alih mengikuti arah pandangnya justru berkata seperti ini: "Tak perlu takut. Cera takkan menyakiti kita sampai aku siap bertarung lagi dengannya."

Namun, urat yang semula muncul di matanya merambat dari kening hingga rahang. Bahkan kulit Ste seakan makin retak. Cahaya oranye perlahan menyinari Ste. Seketika Aquilla menegang, spontan lirik sambil acungkan pedang ke belakang.

Cera ... menyerangnya dengan jarak sangat dekat. Kedua tangan berselimutkan lahar panas ada di antara kepala Aquilla, siap hancurkan dalam sekejap. Apakah ini ajalnya? Tatapan putus asa terlukis di mata Aquilla yang berkaca-kaca. Ia belum siap. Ia takkan bisa menyerang lawan secepat Cera.

Bagaimana ini?

Ting!

Tidak! Aquilla refleks berkedip. Ia takut mati. Namun, raungan Cera masih terdengar jelas. Ia masih rasakan hawa hangat. Perlahan, Aquilla membuka mata. Bukan Cera yang berhasil meremukkan kepalanya, tapi Cera dengan ombak batu obsidian runcing yang menembus badannya hingga menempel di dinding. Cera terus menggeliat sambil mencoba lelehkan batu tersebut.

"Jangan pernah sakiti dia." Masih dilanda syok, Aquilla melirik seorang biarawati dengan pakaian compang-camping dan penuh darah. Dia perlahan berdiri, sedang tangannya terentang ke atas bagai hendak bentangkan sayap. Batu tertajam tersebut muncul di antara Cera.

"Aquilla ... terlalu berbahaya untuk kau lawan," ucapnya dengan nada rendah. "Semoga Tuhan memberkati."

Dan secepat kilat Ste tautkan kedua tangannya di hadapan Cera. []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro