Chapter 5 - Pertarungan Sahabat
Sekali sabetan dari tombak milik Anky. Sekali cipratan dari sepakan ekor duyung Aquilla. Makin banyak luka yang mereka dapat, sedangkan Achio hanya berdiri menjaga keseimbangan dan menghindari percikan lahar panas. Gempa telah berhenti bergemuruh, itu membuka peluang agar Anky bebas bergerak ke manapun.
"Ayolah, Anky," kata Aquilla dengan parau. Dia terus menyelam dan muncul secara acak di titik buta Anky. Senjatanya berupa pecut besi panas terus mencambuk badan Anky yang hampir seluruh tubuhnya berdarah. Mau menghindar atau menangkis, panasnya pecutan Aquilla mampu hancurkan pertahanan Anky. "Tak bisakah kau turuti keinginan seorang gadis yang menderita ini, hah?"
"Apa dengan cara itu ... kau akan terbebas dari penderitaanmu?" Anky mendengus sinis, lekas lucuti benda-benda macam kerikil di rambutnya untuk digenggam erat. "Tanpa menyerahkan Achio padamu, kau juga terus menderita, Aquilla."
"KAU TAK TAHU APA-APA TENTANG KEHIDUPANKU!" Tepat Aquilla menyelam dan muncul di hadapan Achio untuk lepaskan pecutan, Anky lemparkan benda tadi padanya. Dalam sekejap, asap menyelimuti sekitar Achio. Tersisa bagian belakang yang tak tertutup asap, memperlihatkan cahaya seiring lahar mulai mendingin.
"Achio, lari secepat yang kau bisa!"
Gadis dengan iris mata safir itu menatap gelisah pada asap hitam. Kakinya enggan menapak jauhi Anky. Namun, ini perintahnya. Dia orang baik. Achio harus menurut. Mau tak mau, Achio berlari menjauh, melompati petak demi petak daratan. Makin jauh, Achio merasa asap yang Anky buat menghilang. Maka ia berbalik, seketika irisnya menciut.
Gadis centaurus itu berusaha menyerang Aquilla yang terjebak lahar dingin sambil menggenggam pecut panas milik sang lawan. Tangannya terus alirkan darah yang bertukar jadi uap.
"A-anky...." Achio sungguh mati kutu. Kakinya lemas, ujungnya ambruk. Menyaksikan Anky muntah darah benar-benar runtuhkan nyali Achio. Melihat Aquilla menusuk perut Anky menggunakan tangan berselaput penuh kuku tajam seakan mencabut kesadarannya.
Semua hitam. Achio tak dapat melihat Anky maupun monster duyung itu.
Di lain sisi, Anky meringis sambil tancapkan tombak berlumur darah hitam pada dada Aquilla. Satu serangan artinya luka di perut semakin dalam. Darah terus ia muntahkan.
"Kau terlalu menyedihkan," kata Aquilla mulai mendekat melepaskan ekor duyung dari lahar dingin yang mengalir deras. "Apa perlu kau sampai terluka parah demi melindungi orang yang belum tentu merupakan sosok sesuai ramalan?"
"Aku tak peduli," jawabnya segera menekan tombak guna tusukannya kian dalam seperti luka yang ia dapat. "Sejak melihatmu seperti ini, aku akan selalu percaya pada petuah peramal tentang Achio."
"Begitu, ya?" Wajah mereka cukup dekat. Mata Aquilla makin memerah. Secepat kilat, tangan satunya ia acungkan depan muka Anky. "Sayang sekali.... Padahal aku tak mau membunuhmu, tapi kau sendiri yang bilang harus mati jika mau rebut Achio."
Tangan Aquilla melesat begitu ringan menuju wajah Anky. Perempuan berbadan kuda itu sempat hambat pergerakan Aquilla dengan cara serupa. Namun, sampai mata tombak menembus perutnya, Aquilla masih bisa bergerak ingin menusuk muka lawan.
Anky lekas memejam kuat....
Bruk!
Anky merasa luka di perutnya tak terisi tangan Aquilla. Lantas ia buka mata. Tiba-tiba saja monster duyung itu terkapar menggelepar berusaha uraikan sulur bercahaya di leher. Tak sampai di situ, muka Aquilla ditendang dan diinjak tanpa ampun oleh puan berambut ikal panjang. Apa dia Achio----bukan.
Anky mematung tegang. Itu bukan Achio. Matanya memutih, bukan beriris sebiru safir.
"Achio...." Anky berniat bangkit, tapi sekujur tubuhnya serempak bubuhkan rasa sakit. Alhasil, ia ambruk lagi, tak bisa berbuat apa-apa selain menyaksikan Aquilla yang meronta-ronta.
"Dasar----penghalang!" Satu sepakan ekor mengenai kaki Achio dan timbulkan angin kuat hingga menjebol dinding gua. Memang kuat serangannya, tapi Achio tak tumbang. Kekuatan menarik sulur bercahaya itu tak berkurang. Justru urat-urat menyembul di sekitar muka Achio. Ia langsung menarik sulur sambil menginjak dada lawan sampai tembus. Darah muncrat di sekitar tubuh Aquilla. Jerit menggema meledakkan gua ini.
"Kurang ajar kau...." Suara Aquilla tersendat dan kaku macam tangannya yang berusaha gapai sesuatu. "JANGAN HALANGI AKU!"
Satu cakaran angin menoreh luka di badan Achio serta memutus sulur tersebut. Cakaran itu pula menjadi sihir lahar dingin kembali memanas untuk menyerang lawan. Sayangnya, Achio bisa berpindah tempat secepat cahaya. Ketika Aquilla ceburkan diri guna ubah lahar dingin jadi membara lagi, wajahnya yang menyembul keluar disambut ujung mata tombak cahaya. Achio telah mengangkat senjatanya setinggi dan sejauh mungkin, bersiap menusuk muka Aquilla dengan telak.
Achio benar-benar mengayunkan tombak begitu cepat tanpa berkedip bahkan berekspresi. Tidak, yang ia lihat justru waktu melambat. Keping demi keping warna silau muncul bak glitch, sebelum akhirnya ujung tombak nyaris menyentuh hidung Aquilla tertutup oleh sekumpulan pria.
Apa ini? Masa lalu siapa ini?
"Jangan pernah jauhi aku, nona manis." Tawa pria itu menggema hingga menyerupai dengung lebah. "Kau akan jadi milikku."
"LEPASKAN TANGAN KOTORMU ITU DARIKU!"
Achio pun terkesiap, refleks periksa keadaan diri sendiri. Ini tubuhnya. Ia kembali. Senyum manis terbit di bibirnya.
"Dasar pria tak tahu diri!" Ah, suara itu. Achio lekas tengok ke sumber suara. Seorang gadis berambut putih panjang dengan baju terusan lusuh selutut tengah memeluk wanita berpakaian serupa. Dekapannya amat erat bahkan Achio bisa lihat tangan gadis itu gemetaran.
"Kau hanya mau enaknya saja!" sewotnya sesekali mengusap rambut perempuan dalam dekapannya. "Kalian ingin Aquilla mati karena memuaskan nafsumu? Aku takkan pernah biarkan dia jadi milik kalian semua."
Jadi, perempuan dengan iris mata biru itu Aquilla? Bukankah dia monster duyung? Namun, Achio merasa Aquilla sekilas mirip Cera bedanya dia versi sedih.
"Jangan halangi aku! Dia sudah kuberi banyak uang, berarti sudah tugasnya Aquilla jadi budak pemuas hasratku," kata pria berambut ikal. Sekumpulan laki-laki itu mulai pendekkan jarak dengan dua perempuan yang berjalan mundur. Tubuh besar lawan tubuh kecil, sudah pasti lelaki pemenangnya. Achio secara naluri ingin membantu, tetapi wanita yang melindungi Aquilla langsung mendorongnya keluar dari kerumunan.
"LARI AQUILLA! LARI!" Usai dia berteriak, wanita itu diserbu puluhan lelaki bertepatan dengan ganti adegan. Ada sungai kecil mengapit daratan yang cukup luas. Air menetes deras dari langit-langit gua. Sekilas mirip tempat Anky dan Aquilla bertarung. Kemudian, Aquilla versi manusia tiba dalam kondisi prihatin. Sekujur tubuhnya luka-luka, bahkan memar pun ada. Tampaknya dia kehabisan energi, makanya dia takkan sadar telah tenggelam di aliran sungai. Beruntung arusnya tenang.
Waktu seolah berjalan cepat, kemudian kembali seperti semula kala Anky tengah petik beberapa bunga. Apakah hari itu sedang musim semi? Pasalnya, banyak sekali tumbuhan cantik mekar di tepi sungai. Bahkan Achio takkan tahu ada bunga rambat di dinding gua kalau tidak mendongak.
"Aquilla, kau masih di sana?" Dia bertanya tanpa menoleh. Tetap fokus pada kegiatan memetik bunga dan dedaunan yang bisa ditumbuk jadi obat. Namun, bukan itu yang Achio pikirkan. Aquilla terakhir kali masuk arus sungai karena kelelahan. Sudah passti mati tenggelam, kan?
"Aku temukan tanaman herbal di dasar, Anky!" Achio langsung melotot kaget dengan perubahan Aquilla. Gadis cantik bermata merah itu kini memiliki kulit putih pucat kehijauan. Kaki dia berubah jadi ekor ikan dengan sirip panjang. Membayangkan Aquilla berenang, betapa indahnya sirip itu, seperti sehelai kain sutra dalam air. Yah, tak ada bekas luka di sekujur tubuh Aquilla.
"Ambilah, mana tahu berkhasiat untuk orang-orang sakit." Segenggam rerumputan lepek. Achio takkan pernah tahu namanya, tapi ia lihat Anky menerimanya.
"Terima kasih," kata Anky penuh ceria dalam sesaat. Mukanya kini tampak masam. "Apa yang harus aku berikan untuk----"
"Tak perlu," potong Aquilla tertawa riang. "Melihat kau sering kemari saja sudah berupa imbalan bagiku. Kita sahabat selamanya, bukan?"
Kalimat terakhir itu mulai menghantui pendengaran Achio, seiring berpindahnya tempat. Hanya transformasi mereka yang berubah. Dari yang mempunyai kulit dan rambut indah, kemudian berbalut baju besi dan zirah rantai, lalu berakhir dengan Aquilla yang menggelepar di hadapan tiga siluet orang. Anky dan beberapa pasukan terbaring tak berdaya, bahkan gadis yang beberapa menit lalu mengorbankan diri sebagai pelindungnya hanya sanggup mangap-mangap cari sisa oksigen.
"Di mana Ronto?" Suara berat khas perempuan mulai acungkan senjata ke arah ekor Aquilla. "Aku tahu kalian berdua lah yang berusaha lindungi ratu jalang itu."
"Katakan saja, Aquilla," timpal suara melengking yang cekikikan membidik Anky. "Atau temanmu akan mati."
"Tidak!" pekik Aquilla beruraian air mata. "Jangan bunuh dia! Anky adalah sahabatku!"
"Berarti kau harus beritahu keadaan Ronto, kan?" Ketika pemilik suara melengking tertawa lagi, ekor Aquilla langsung ditusuk bertubi-tubi.
"Pilihlah," kata suara berat itu. "Kau mau kehilangan Ronto yang kau hormati, atau Anky yang merupakan sahabatmu?"
"I-itu...." Napas Aquilla memendek. Tak ada asupan air untuknya bernapas. "A-aku----"
"Waktu habis!" Pemanah tersebut menyela ucapan Aquilla. "Sudah waktunya kita habisi semuanya sekarang!"
"TOLONG JANGAN BUNUH RONTO BAHKAN ANKY!" Jeritan Aquilla makin mengerikan ketika musuh kembali menusuk ekornya yang alirkan banyak darah. "AKU AKAN LAKUKAN APAPUN, ASAL JANGAN BUNUH KAMI!"
Serangan lawan pun berhenti. Achio tak bisa lihat mereka, tapi sepertinya sedang amati Aquilla begitu lama. Duyung itu juga mulai lemas kekurangan air. Kulitnya mengering perlahan. Mulut Aquilla tak berhenti memohon walau tanpa suara.
"Sungguh kau mau lakukan apa saja?"
Aquilla mengangguk lemah, tak tak kelihatan bergerak.
"Termasuk mengubahmu jadi monster seperti kami?"
Dan Aquilla mengangguk lagi.
"Kalau begitu...." Setetes darah terjun menuju tubuh Aquilla. "Bunuh orang yang diramal akan menyelamatkan Ronto. Aku dengar, dia bisa membangkitkan Ronto yang pasti akan kami bunuh."
Achio berkedip tak mengerti, tapi pandangannya kembali perlihatkan Anky tengah memeluk Aquilla, berusaha melindunginya. Kesadaran Achio berangsur kembali meski matanya masih memutih. Ia rasakan tangannya masih mengangkat senjata tinggi-tinggi. Namun, ada yang menahannya. Achio sempat menggeram marah, tapi kedua tangan yang mengunci pergerakannya makin kuat.
"Jangan bunuh mereka, Ronto."
Dalam sekejap, tubuh gadis berambut ikal ini dikuasai sepenuhnya oleh Achio. Semerbak wangi bunga mawar menyita perhatian Anky dan Aquilla, begitupun Achio dengan air mata mengalir deras.
"Kau Achio, kan?" Sosok yang mengunci gerakan Achio dalam satu kedipan kini berdiri menangkup wajahnya. Wanita berpakaian hantu merah itu berkata, "Aku Rosa, orang yang akan melindungimu dari keinginan Ronto." []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro