Chapter 4 - Pertarungan, Pertemuan, Perjalanan
Jeritan seseorang terdengar sampai pada tempat Achio berdiri. Dia menyerukan namanya. Jantung seketika berdegup kencang. Achio celingukan gelisah. Ia harus cari tempat aman, tapi di mana? Berlindung di balik pepohonan sama sekali tak membantu. Pemilik jeritan itu akan menemukan Achio.
"Diam dan jangan bergerak."
Iris mata Achio langsung menciut. Suara siapa tadi? Di mana dia? Apakah dia penyelamat Achio? Ia kembali melirik cepat, tak menemukan sosoknya barang sedikitpun. Namun, puluhan kupu-kupu biru tiba mengerubunginya. Takkan ada celah yang bakal menampakkan keberadaan Achio. Ia hanya duduk lemas ketika matanya menangkap suatu hal menakutkan.
"Achio...." Suara nyaring yang familier di benak Achio bercampur suara paling berat. Dia terkekeh pelan sambil menyeret sebuah tombak penuh duri dan darah. Sosok dengan pakaian biarawati, itu bukan Ste. Wajahnya kini menghitam, banyak kulit yang mengelupas hingga dara mengalir deras. Mata dia putih menyeluruh, tapi tetap banjir cairan merah gelap.
"Di mana KAU?" Tepat dia berkata demikian, tatapannya menusuk pada Achio yang mencicit ketakutan. Sosok mengerikan itu mulai mendekat, sedangkan Achio seakan enggan bergerak. Kupu-kupu in seolah melarangnya untuk berlari.
"Ini aku, Achio. Aku Ste," katanya menyeringai lebar. Betapa tajamnya gigi Ste, apa lagi kalau Achio jadi santapannya. "Aku tahu kau bersembunyi."
"P-pergi...." Suara Achio parau saking takutnya. Tubuh ini bergetar hebat. Ia tak mau jadi makanan Ste. "S-seseorang...."
"Takkan ada yang memedulikanmu selain aku, Achio!" Selang kemudian, sekelebat angin berhasil menusuk pipi Ste tepat ketika menerkam Achio. Ada yang melemparkan tombak kecil bertalikan rantai, terbukti bagaimana senjata tersebut menancap di pohon dan seseorang datang secepat kilat hendak menusuk muka Ste dengan belati hitam. Sayang, Ste lebih dulu menyerang lawan menggunakan sihir duri yang menusuk rahang bawahnya. Alhasil, Ste lah yang berdiri gagah sambil pulihkan luka di kedua pipinya.
Dengan cepat, Cera melesat lakukan serangan menggunakan sabit raksasa yang panas akan magma. Ia menghindari semua sihir milik Ste berupa sulur penuh duri. Sulur itu merayap mengejarnya, juga menargetkan Achio yang kehilangan persembunyian. Achio hendak bangkit, tapi senjata Ste sebentar lagi mengenai matanya, andai Cera tak segera memotongnya. Dia berdiri di hadapan Achio sambil menghalau serangan beruntun.
"Cepat pergi dari sini!" pekiknya dengan napas pendek. "Cari persembunyian dan jangan keluar bila aku belum selesai kalahkan Ste!"
Tanpa pikir panjang, Achio lekas berdiri dan lari dari jangkauan pertarungan mereka. Tak peduli telapak kakinya terluka, yang penting Achio harus sembunyi. Cera sedang menyelamatkannya dengan mengorbankan diri melawan Ste. Hujan lekas turun genangi tanah gembur. Pijakan Achio meninggalkan jejak yang menarik perhatian seseorang.
"Ada manusia?" Perempuan berambut hitam penuh kepangan itu memandang punggung Achio yang semakin jauh. Lalu, senyum manis terbit di bibir semerah kamelia. "Baik aku ikuti dia."
Di sisi lain, Cera terus menghindari serangan liar Ste. Hujan deras menyebabkan sulur duri yang berserakan di tanah jadi terendam. Itu menghambat pergerakan Cera, setidaknya ia masih sanggup lindungi diri dan menyerang balik bila Ste ada dalam jangkauannya.
"Kupikir kau tetap pada pendirianmu, Cera," kata Ste terkikik licik. "Berusaha membunuh orang yang diduga berkaitan dengan ramalan buatan Ronto."
"Aku tetap akan membunuh Achio." Cera membalas seiring keluarnya tanduk di kening. "Setelah menghabisi siapapun yang mengincarnya."
****
Lari ke kanan. Lari ke kiri. Hindari ranting pohon maupun bebatuan runcing. Jangan pedulikan luka yang ia dapat. Lupakan rasa sakitnya. Achio benar-benar hilang arah tujuan. Ia seperti berputar-putar di hutan. Semakin lama Achio berlari, napasnya semakin pendek. Pandangannya makin kacau berkunang-kunang.
"Hei." Sekadar dengar suara tadi rasanya berdenging. Achio makin banjir keringat. Meski tak suka, matanya mengerling liar.
"Ikuti aku." Ikuti suaranya. Achio hanya bisa memercayai instruksi misterius. Suara tersebut berasal dari kanan. Ia hendak mengikuti arahannya, tapi secara mengejutkan Ste muncul berusaha cengkeram muka Achio. Beruntung Achio spontan mundur. Ada cahaya biru keluar dari tubuh Achio, meresap pada tangan mengerikan Ste.
Perempuan berambut ikal sepinggang itu terduduk lemas. Kaki ini tak bisa digerakkan, bahkan tubuhnya mati rasa. Setidaknya ia masih bisa bernapas ketika Ste menjerit kesakitan. Kesakitan? Apa asalnya dari cahaya biru tadi? Namun waktu terus berjalan dan kesadaran Achio perlahan menghilang. Satu adegan yang ia tangkap ialah Ste yang tertusuk tombak milik makhluk aneh sebellum menyerangnya kembali.
****
Semula Achio tak mendengar apapun. Tetapi perlahan ia dengar kayu bergemeretak. Orang-orang berbincang di kejauhan serta gemerincing logam. Mata bulatnya terbuka. Iris biru Achio memancar cahaya seiring tubuhnya merasa hangat. Ia berbaring. Ia melirik sumber cahaya oranye. Api melahap kayu rupanya, dengna latar belakang seorang puan tengah kemas-kemas senjata.
"Selesai udah." Dia mendesah lega kemudian berdiri dengan badan kuda. Tentu Achio mencicit takut hingga refleks meringis kala bangun. Itu menarik perhatian makhluk aneh tersebut.
"Jangan bergerak dulu." Gadis itu merunduk menuntun Achio kembali berbaring. "Tubuhmu banyak luka."
Achio hanya melongo. Makhluk apa dia? Manusia? Bukan. Badannya setengah kuda albino. Ketika dia mengusap kepala Achio, mulutnya ucapkan bahasa aneh. Syukurlah rona merah muncul di pipi dan bibirnya, pertanda dia bukan mayat hidup.
"Apa manusia itu sudah sadar?" Muncul lagi makhluk serupa dengan perempuan berambut putih di sampingnya. Seorang pria berkulit cokelat dan rambut hitam panjang dikepang. Tanpa dijawab, pria tersebut sunggingkan senyum lembut begitu melihat Achio.
"Kau merawatnya dengan baik, Anky," sambungnya ikut bertekuk lutut di samping Anky----sepertinya itu nama gadis ini. "Apa kau yakin akan membawa dia pergi?"
"Tentu saja," jawab Anky melirik tajam pada lawan bicara. "Ini ramalan yang beliau maksud. Wanita itu sudah menunjukkan keberadaannya."
"Tetap saja ini terasa mendadak sekali." Pria itu menyangka dengan nada lembut. "Dia baru saja siuman. Tidakkah sehari saja dia rehat dulu?"
"Pergi ke mana?" Suara kecil Achio menyabet perhatian Anky dan rekannya. Bahu Achio naik dan bergetar samar. "Aku ... dibawa ke mana?"
"Tenang aa...." Ucapan Anky menggantung dengan kerutan di dahi, tampak berpikir sebentar. "Siapa namamu? Tidak mungkin kan aku terus memanggilmu 'manusia'."
"Achio."
"Itu nama yang cantik," kata pria berulit cokelat itu, kemudian lekas berdiri tegak. "Aku akan bawa makanan dulu."
Tersisa mereka berdua. Achio menunggu Anky lanjutkan bicara. Lain hal Anky yang termenung, begitupun api yang terus remukkan kayu. Manik emasnya benar-benar tiada kehidupan untuk beberapa detik.
"Untuk sementara...." Akhirnya Anky buka suara lagi, seiring munculnya percikan cahaya di iris matanya. "Kami akan membawamu pada seseorang. Dia baik. Dia bakal selalu melidungimu dari orang-orang yang memburumu."
"Memburuku?" Achio mengerjap polos. "Kenapa mereka memburuku?"
"Aku juga tak tahu." Ketika kayu mulai patah dilalap api, muncul kupu-kupu tengah terbang di antara Anky dan Achio. Mereka sama-sama memandang kecantikan sayapnya yang bercahaya seperti disiram sinar bulan.
"Mau tak mau, Achio." Lepas itu, Anky tersenyum getir sebelum berpaling dari pandangan Achio. "Kau harus berada dalam jangkauan dia."
****
Usai biarkan Achio jalani hari dengan damai, tiba saatnya sekumpulan centaurus menemani Achio menuju pemukiman milik klan Xu. Anky selalu berada di sampingnya, Achio yang mau. Mereka harus menempuh puluhan kilometer untuk sampai ke sana, termasuk melewati gunung api aktif. Sepanjang perjalanan, Achio banyak termenung sampai Anky berusaha kendalikan kuda yang ia tunggangi.
Perhatian Achio tertuju pada Anky dan rekannya ayang ia lihat ketika terbaring sakit. Mereka terus berbicara bahasa aneh sambil sesekali melirik Achio. Karena hal itu, mendadak perasaannya tak nyaman. Apakah Anky akan membawanya sebagai tumbal? Tidak-tidak. Achio berusaha membendung air mata. Anky pernah bilang kalau orang yang akan ia temui adalah orang baik.
"Tenang, Achio." Tangan Anky menggapai pundak Achio, lalu mengusapnya dengan lembut. "Kata peramal, di daerah sini sebentar lagi mengalami letusan. Tapi masih cukup lama----"
Ucapan Anky terhenti begitu dengar ledakan besar yang meretakkan sebagian jalan. Guncangan hebat seakan memperparah keadaan, belum lagi hujan batu vulkanik yang mengarah pada sekumpulan centaurus.
"Ini terlalu cepat dari prediksi peramal!" pekik Anky berusaha genggam lengan Achio supaya tetap berada di sisinya. "Bagaimana ini, Ayah?"
Lelaki berambut hitam panjang itu kewalahan memberi arahan pada rekan-rekannya. "Bawa Achio ke sana secepatnya!"
"T-tapi bagaimana dengan----"
"Sekarang, Anky!" selanya dengan suara sekeras mungkin. "Kami masih bisa bertahan melewati daerah ini!"
Mau tak mau, Anky segera minta Achio menungganginya dengan susah payah. "Peluk aku dengan erat, Achio."
Guncangan belum berhenti, tapi Anky tetap melewati segala rintangan. Melompat dari satu petak ke petak lain. Berlari hindari retakan. Mereka memasuki sebuah gua yang belum runtuh akibat gempa vulkanik. Achio benar-benar tak dapat melihat jelas.
"Sebentar lagi," katanya nyaris kehilangan suara. Anky tak sempat ambil napas ketika retakan di dalam gua alirkan lahar panas. Mereka menjerit sejadinya. Beruntung, Anky masih bisa berpijak di petakan kuat. Ia hanya mampu menumpu keempat kakinya, bertekuk lutut untuk bertahan menunggu gempa reda.
"Akhirnya kutemukan dia...." Suara menyedihkan menimbulkan percikan panas ke arah Anky dan Achio. Tangan Anky terbakar akibat melindungi Achio. Suara tersebut menangis sampai muncul sosok putri duyung hitam dengan wajah mengerikan, bahkan separuh tengkorak. Matanya merah menyala penuh haus darah.
"A-aquilla?" Anky mendelik tak percaya. Kekuatannya seolah lenyap. Ia terduduk lemas tanpa pedulikan betapa sakitnya percikan lahar panas mengenainya. Air mata mengalir deras di pipi. "Ti-tidak mungkin...."
"Berikan gadis itu padaku!" Kali ini, Aquilla menjerit marah. Amarahnya datangkan letupan hebat yang percikannya bisa saja mengenai Achio. Tentu, gadis itu terkena cipratan panas. Pekikan Achio menyadarkan Anky dari rasa dilema. Sorot matanya mulai tajam ketika Aquilla ulangi ucapannya. "Berikan padaku sekarang!"
"Aku tidak akan memberikan Achio padamu, Aquilla," kata Anky mulai bangkit melepas jepit rambut kepangnya. Mengucap mantra, aksesoris tersebut disinari cahaya kuning dan berubah jadi sebuah tombak hanya dalam kepalan tangan. "Kecuali jika kau mau melawanku, atau menceritakan masalahmu."
****
Gempa terus mengguncang daerah gunung meletus. Para centaurus telah berusaha cari jalan, tapi petak yang dipijaki makin sempit. Satu per satu jiwa mulai tenggelam dan timbulkan uap panas. Gadis-gadis menangis meratapi nasib. Lelaki bertubuh cokelat itu terus merapal doa untuk mendapatkan keselamatan.
Lalu detik itu, satu kepakan sayap menurunkan hawa magma. Sebuah anak panah biru membuat lahar panas membeku. Sisa centaurus yang bertahan sontak kaget, bahkan mengalami syok hebat ketika melihat sosok wanita dengan hanfu semerah api.
"I-itu ... Rosa?"
Sedangkan tatapan wanita itu tertuju pada puncak gunung berlumuran cairan merah keoranyean. []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro