Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 2 - Cera dan Tujuan Menyelamatkan Achio

"Kau ingin aku menjaga bunga ini, Yang Mulia?" Ah, lagi-lagi Achio merasakan kehangatan dan wangi gaib ini. Tetapi suara yang bicara barusan berbeda dengan wanita di mimpinya hari itu.

"Iya, bunga itu berarti untukku. Apa kau bersedia?"

Hening mempengaruhi suhu udara yang Achio rasakan. Kehangatan itu lenyap, tergantikan dengan dingin yang seakan mau hancurkan tulang hingga partikel terakhir.

"Entahlah, Yang Mulia."

****

Akibat sensasi dingin di tubuhnya, Achio membuka mata perlahan. Apakah ... ia terbang? Tetapi, Achio berasa diguncang-guncang. Lagipula, dingin yang ia rasakan sejak bermimpi masih membekas, lekas melirik sumbernya. Ada baju besi yang menempel pada lengan Achio. Lalu wangi ini, sama dengan mimpi.

"Ada lagi korban yang selamat?" Guncangannya berhenti. Ada suara wanita yang familier di ingatan Achio.

"Semuanya telah tewas, Yang Mulia!"

"Termasuk penyusup menyebalkan itu?" Nada bicara dia mulai berat.

"Betul."

Sejujurnya, Achio penasaran dengan sosok yang baru saja ia ingat suaranya: persis dengan suara baru di mimpi. Pelan-pelan mata bulat Achio mengikuti kepalanya yang mendongak. Wah, betapa gagahnya perempuan ini. Dia berambut pendek pun berkilau diterpa matahari, tampak cocok dengan wajah berkulit putih. Dia tengok kanan-kiri dengan tatapan amarah dari mata semerah api neraka.

"Tetap jaga kawasan ini," katanya sambil benarkan posisi membopong Achio----ia masih menatapnya. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Yang jelas, mereka tetap pada tujuannya: mencari sosok dengan kutukan tujuh kegelapan."

"Baik!"

Tak lama setelah itu, decak samar terbit dari bibir semerah darah. "Mereka masih mengharapkan kerajaan itu," dan entah kenapa tatapan perempuan tadi hilang bagai ditiup angin. Senyum terbit semanis caranya memandang Achio. "Kau sudah bangun?"

Tangan kurus Achio terulur ke wajah sang penyelamat. Penyelamat? Entah. Cahaya pada mata biru Achio tak punya banyak arti. Kosong. Lagipula, tangannya kotor akan pasir dan abu.

"Kamu bersamaku sekarang," katanya memeluk tubuh Achio dalam bopongannya. Selama beberapa saat, hidungnya menempel di kening Achio. Ia refleks memejam. Kemudian, jeritan seseorang merebut perhatian Achio. Kapal layar mendarat di hadapan mereka. Mereka-para prajurit-menuntun wanita ini naik untuk beristirahat di sebuah ruangan kecil. Hanya ada satu ranjang yang busanya telah kempis. Achio duduk di sana, sedangkan dia menikmati pemandangan di kursi kayu.

Apa yang dia mau? Kenapa wanita itu mau menyelamatkan perempuan kotor dan tak tahu apa-apa ini? Lalu, apa yang terjadi selama ia tak sadar? Apa mereka turut terlibat di pulau tempat Achio lahir? Soal demi soal terus datang di otak Achio, seakan ada orang lain yang berbicara sesuka hati di sana. Tidak, Achio merasa ... PASTI ada sosok lain yang bakal kendalikan pikiran dan tubuhnya.

"Yang Mulia." Seorang pria datang membungkuk hormat di ambang pintu. "Kita sudah sampai."

Ah iya, Achio belum pernah berucap sepatah kata pun padanya. Padahal dia sudah bicara. Achio hanya mampu tatap dia dengan mata bulatnya.

"Kau sudah periksa sekitar kapal, kan?" tanyanya tanpa menoleh.

"Sudah, Yang Mulia."

"Tak ada sesuatu yang mencurigakan?"

"Tidak, Yang Mulia."

Lantas, perempuan itu beranjak dari kursi guna menghadap Achio. Dia mengulurkan tangan kepadanya dengan lembut. Alangkah banyak perhiasan di punggung tangan hingga pergelangannya, kebanyakan model rantai berwarna perak, seperti warna rambuutnya. Namun, suara gemerincing aksesoris tersebut membuat Achio meringkuk takut.

"Jangan takut." Tangannya masih terulur, tapi bukan berarti sisanya hanya diam. Satu tangan perempuan itu menangkup wajah bulat Achio, lalu dia bertekuk lutut. Perempuan itu tersenyum tipis di bibir semerah ceri. "Aku akan berusaha membuatmu senyaman dan sebebas mungkin."

Matanya ... merah.

"Percayalah padaku, Sayang."

Iris mata semerah darah segar. Ada sensasi hangat mengalir dalam tubuh Achio. Mungkin ... dia baik. Mungkin perempuan di hadapannya baik. Begitu ia balas ulurannya, sinar matahari menyiraminya.

"Terima kasih sudah percaya."

****

Langit sore makin pekat saja warnanya. Semestinya Achio suka dengan kehangatan dan keindahan senja. Ini hal yang ia impikan. Tapi entah mengapa, gadis bermata safir ini merasa asing di kamar penuh kain sutra. Ia justru duduk meringkuk di antara meja kecil dan lemari, mencoba hindari sinarnya.

"Sayang?" Pintu terbuka tanpa suara berderit, digantikan ketukan sepatu yang menggema. "Kau di mana?"

Pelukan di lutut Achio lebih erat ketika langkahnya semakin jelas. Matanya kian sayu serta berkaca-kaca. Jangan kemari.... Jangan kemari, katanya dalam hati.

"Ah." Ketukan yang ia takuti berubah menjadi sepasang kaki jenjang berbalut sepatu hak tinggi berwarna perak penuh kemilau cahaya emas. Namun, Achio malah tambah terancam. "Di sini rupanya."

"J-jangan kemari...." Achio mencicit sambil mencoba beringsut mundur ketika dia membungkuk. Apalah daya punggungnya telah menempel di dinding.

"Aw, maaf bila aku membuatmu takut," katanya perlahan mendekati Achio. Dia memeluknya meski cicitan Achio makin melengking. "Meski aku terasa asing di benakmu, tapi izinkan aku untuk menyayangimu seperti saat aku bertemu dia."

Dia tak tahu betapa sulitnya Achio untuk memahami maksudnya. Setidaknya, suara lembut itu berhasil membungkam kepanikan Achio. Dekapannya beraroma melati. Hangat dan harum. Ia tak lagi tegang sekarang. Lalu, dia bilang akan menyayanginya seperti ... apa?

"Siapa namamu?" tanyanya mulai leraikan pelukan. Sesekali dia menyelipkan sejumput rambut ikal Achio ke telinga guna menunggu jawaban. Lain hal Achio yang berpaling darinya.

"Kau tak mau menjawab?"

Dan Achio tetap bergeming.

"Baiklah," katanya mendesah pasrah dan segera berdiri. "Mungkin kamu butuh wak-"

Tepat ia berbalik, Achio menggenggam pergelangan tangannya. Kali ini, Achio mau menatapnya meski sayu. Pipinya berapa merah seperti bunga dahlia. Semburat itu seakan menular pada perempuan dengan gaun putih penuh gemerincing perhiasan perak.

"Kamu mau bicara sesuatu?" Dia akan menunggunya. Tak apa. Mula-mula, mulut kecil Achio terbuka singkat. Kemudian, ia sebut namanya. Achio berucap macam anjing kecil yang baru menggonggong sekeras mungkin. Perempuan itu jadi tertawa sampai pipinya tambah merah.

"Namamu Achio?" Dia kembali menangkap wajah Achio. "Kau bisa memanggilku Cera."

"Cera?" Achio mengulangi namanya sambil menelengkan kepala.

Dan Cera mengangguk diiringi gumaman antusias. "Cera. Itu namaku."

"Cera!" Senyum lebar yang terbit di bibir Achio berhasil buat Cera ingin memeluknya lagi.

****

Pagi yang indah hari ini. Langit cerah tanpa awan, tapi angin terasa sejuk. Begitu yang Achio rasakan ketika berjalan-jalan di taman istana. Cukup luas. Minim bunga. Lebih banyak pohon rimbun dengan macam-macam jenis. Gaun putih selututnya berkibar indah, bahkan rambut panjang ikalnya ikut melambai. Selama memandang kaki tanpa alas yang menapak rumput, mata safir Achio melihat Cera bersama sekumpulan lelaki baju zirah. Senyum Achio langsung merekah, lantas berlari ingin memeluk Cera secepatnya.

"Cera!" Achio mendekap tubuh jangkung Cera begitu erat. Ah, ada aroma buah stroberi di badannya. Tentu Cera terkejut.

"Ah, kau sengaja berikan aku kejutan, Achio?" Seraya mengelus kepala Achio, Cera bertanya demikian. Disaat Achio menyebut namanya terus, laki-laki baju zirah berbisik padanya. "Sebentar dulu."

Achio dengar. Tampaknya Cera sedang buru-buru. Ia menelengkan kepala kemudian bertanya, "Cera mau pergi?"

"Iya, Sayang," jawabnya tersenyum lembut. Tangan Cera mulai mengusap wajah Achio. "Aku mau sekali bermain denganmu, tapi bisakah hari ini kamu main sendiri?"

"Sendiri?"

Cera mengangguk enggan. "Sendiri. Main sendiri. Tidak apa-apa?"

"Sendiri." Tanpa berlama-lama, Achio berlari pergi dari pandangan Cera. Raut wajah wanita berambut perak itu berubah serius. Iris mata yang merah cerah bagai batu rubi menjadi segelap darah. Mereka kembali berjalan menuju sebuah ruangan bercahaya remang-remang.

"Apa yang akan kau lakukan pada gadis tadi, Yang Mulia?" Seorang pemuda berambut hitam pendek bertanya dengan ragu. "Dia ... terlihat tidak berdosa."

"Entahlah." Dan kuku runcing yang kemerahan telah mencuat. "Mungkin membunuhnya sebelum mereka datang."

****

"Mengapa kamu harus membunuhnya, Cera?"

Suara lembut yang sama lagi di mimpi Achio. Angin berdesir pun terasa mencekam ketika dia bilang demikian. Cahayanya terlalu silau, bahkan susah melihat bunga herbiopheia barang setangkai. Ia hanya bisa lihat gaun dua perempuan berwarna nyaris sama. Satu putih, sisanya perak.

"Kenapa?" tanyanya butuh kepastian. "Kenapa kau harus membunuh orang yang kuramal akan menyelamatkan hidupmu?"

"Dia tak bisa menyelamatkanku, Ronto!" Dalam sekejap, Cera berteriak. Setitik air mata jatuh tepat ketika melanjutkan ucapannya. "Dia butuh kebebasan, bukan hidup untuk menyerahkan nyawa demi aku!"

"T-tapi, Cera----"

"DIA! BUTUH! KEBEBASAN!" Air mata menetes makin deras. "DAN AKU HARUS MEMBUNUHNYA SUPAYA DIA BISA BEBAS DARI KUTUKAN TAK BERGUNAMU ITU, RONTO!"

Saat itu pula, Achio terbangun dari bunga tidur dalam kondisi mandi keringat. Rambutnya hampir basah semua. Ia berusaha atur napasnya yang memburu. Mimpi macam apa tadi? Cera ... mau membunuhnya? Wanita yang baru saja bisa ia terima kehadirannya malah ingin mengincar nyawa Achio?

Tidak. Ini tak boleh terjadi. Begitu kata instingnya. Achio lekas bangun dan beranjak dari ranjang. Sensasi dingin dari keramik sempat buat Achio menjengit kaget. Namun, berusaha tetap diam adalah pilihan terbaik untuk kabur. Sekadar keluar dan tutup pintu pun harus perlahan. Jangan sampai Cera mendengarnya. Achio harus kabur dari istana. Ia musti lolos dalam cengkeraman monster berkedok wanita baik hati itu.

"Mau ke mana, Achio?"

Achio spontan berbalik dan menempelkan diri pada daun pintu penuh ukiran rumit. Cera berdiri tak jauh di sampingnya, mengenakan kemeja dengan celana panjnag ketat, seperti hendak latihan bertarung.

"Apa kau mimpi buruk?" Dia bertanya lagi, tapi kali ini mulai mendekat. "Aku bisa bawakan susu bila kau mau, Achio."

Tangan Achio terulur, tapi hati dan pikiran memaksanya untuk tak dekati Cera. Ia harus menjauh. Ia tarik kembali tangannya. Kini sorot ketakutan hadir di mata biru Achio.

"Achio, kau kenapa?" Ketika Cera memandang cemas dan semakin perpendek jarak, seekor kupu-kupu biru hinggap di pundaknya. Serangga itu seketika memancarkan cahaya yang menarik Achio untuk mendekap Cera tanpa sadar. Sinar biru dari kupu-kupu makin terang hingga menyelimuti kedua tubuhnya. Ada kehangatan yang menyirami raganya dari dalam, terlebih bila Cera makin memeluknya erat.

"Tetaplah di sini, Achio." Elusan lembut di kepala Achio menyertai ucapan Cera. "Hiduplah dengan bebas di sekitarku."

"Cera...." Dekapan Cera semakin membuatnya nyaman, lantas ia peluk lebih erat lagi. Achio tak mau lepas darinya. Ia enggan kehilangan aroma dan caranya memanjakan diri ini. Namun, mata bulatnya berubah sayu dan berkaca-kaca. "Jangan lakukan itu."

Cera terkesiap sesaat sebelum bisa mencerna maksud Achio. Senyum manis terbit di bibir merahnya. Usai mendesah panjang, ia berkata: "Baiklah."

****

"Lihatlah, Achio! Ini cantik sekali!"

Pagi yang terlalu sayang untuk mereka lewatkan, ya. Angin masih berembus sedingin es, tapi sudah ramai orang yang berlalu lalang dengan kegiatan masing-masing. Kata Cera, sekarang musim semi. Banyak bunga bermekaran amat segar sampai anak-anak perempuan punya hobi membuat mahkota bunga. Mereka akan memberikan hasil karyanya pada orang tersayang atau sosok terhormat macam Cera. Betuah sekali anak-anak itu bisa bertemu dengan Cera.

Wanita rambut pendek berwarna perak itu meletakkan mahkota bunga daisy di kepala Achio. Anak-anak perempuan menjerit kegirangan. Apakah Achio terlihat aneh atau mereka mengagumi karyanya, ia hanya bisa menelengkan kepala dengan polos.

"Wah, ini cocok denganmu, Sayang," kata Cera sejenak selipkan sejumput rambut Achio ke telinganya. "Kau cantik sekali. Bukan begitu, anak-anak?"

"Anda terlihat cantik, Nona!" Salah seorang gadis paling kecil memekik antusias.

"Aku cantik?" tanya Achio menunjuk mukanya sendiri, kemudian dibalas gumaman setuju secara serempak. Mereka berhasil mengukir senyum manis di wajah Achio. Senyum yang pertama kali ia lakukan dan tunjukkan di hadapan orang lain. "Aku cantik!"

Ah, Achio sadar. Cera yang tertawa bersama para gadis itu tak mengenakan mahkota serupa. Ada satu hasil karya di genggaman perempuan berkisar 12 tahun. Dia menggunakan mawar merah. Tanpa pikir panjang, Achio merebut mahkota tersebut untuk menghiasi kepala Cera. Tentu wanita itu terkejut walau ekspresinya tak terlalu tampak.

"Cera ... cantik," kata Achio tersenyum manis. Ia membuat pipi Cera memerah. Achio berhasil memberikan warna kehidupan pada kulit wajah Cera yang seputih susu.

"Be-benarkah begitu?" Tepat Cera bertanya demikian, orang ramai-ramai membalas dengan penuh kagum dan pujian. Cera banjir pujian. Namun, Achio seakan tak mendengar apapun kala serangga cantik warna biru muncul kembali. Setiap kepakan sayapnya seakan minta Achio mengikutinya.

Selangkah dua langkah perempuan berambut ikal panjang itu mengikuti arah kupu-kupu terbang, ia makin jauh dari jangkauan Cera. Menyeberangi permadani dengan angin kuat yang menyejukkan. Masuk ke hutan rimbun. Cahaya yang masuk lewat celah daun pepohonan semakin memperindah bumi. Tiba melewati batas bayangan dan sinar matahari, kupu-kupu biru lekas membaur dengan kawanan.

Di sana, ada gereja tua di daerah tak berpenghuni. []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro