Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 10 - Teror Tiada Ujung

Kalau seseorang harus jujur, mungkin Aquilla akan bilang ... siksaan ini mengerikan. Betapa tidak? Hanya dengan jilatan dan satu patukan di dahi, Cera jadi kejang dan meronta-ronta. Gerakannya macam orang ingin patahkan tulang sendiri. Jerit menggelegar hingga Rosa bisa pastikan Cera tak bergerak lagi.

"Tubuh Cera ... kaku seperti bangkai burung," kata Aquilla kala mendekati Rosa dan menyentuh Cera pakai pedang runcing. Rosa tentu tak menyahut. Ia justru perhatikan Ste yang tak dapat bangun dan terus tutupi luka fatal. Luka bakar di perut cukup menyita atensinya.

"Kau sungguh membunuh----"

"Aku tidak membunuhnya," sela Rosa menghampiri Ste dengan langkah santai. "Aku hanya buat dia pingsan dalam beberapa hari."

"Benarkah? Aku justru meragukanmu."

Rosa tetap mengabaikan apapun yang menurutnya tak penting. Ia bersimpuh di hadapan Ste sambil keluarkan setangkai bunga putih dari lengan hanfu.

"Ulurkan tanganmu." Lantas, Ste menurut. Rosa menaruh bunga tersebut di sana dan perlahan wujudnya mengurai jadi partikel kecil yang menyerap kulit Ste. Sontak ia mendelik tak percaya.

"Mengagumkan...." Mata Ste yang keemasan itu makin terang kilaunya kala lihat hasil dari bunga tersebut. Secara berangsur, luka di sekujur tubuh Ste menutup hingga tak tinggalkan bekas. Mulus seperti tak pernah terluka.

"Bunga itu terbilang biasa," kata Rosa beralih mengobati Aquilla. "Hanya bunga yang biasa kau temui, tapi aku gunakan darah suciku agar teksturnya mudah terurai bila menyentuh kulit yang terluka."

"Lalu, kenapa waktu kau keluarkan, bunganya masih utuh?" tanya Ste masih takjub dengan kondisi tubuhnya.

"Aku pakai bahan langka supaya bunganya tetap utuh sebelum digunakan. Bahan itu pula wajib kumantrai supaya bunganya aktif hanya ketika menggunakan darah suci."

Ste tak bicara lagi saat itu. Tatapannya berfokus pada Cera yang berbaring kaku dengan darah suci milik Rosa di separuh wajah. Wanita berwujud iblis itu tak bergerak sama sekali, setidaknya begitulah yang Rosa lihat.

"Syukurlah aku bisa datang menyelamatkan kalian tepat waktu," kata Rosa menyudahi proses pemulihan Aquilla. Otaknya selalu memikirkan kondisi Achio dan Anky di gunung tempat Archae tinggal. Bagaimana keadaannya? Apakah mereka baik-baik saja? Semakin ia pikirkan, hatinya kian berdebar. Rosa tak boleh diam di sini untuk sekadar pulihkan tenaga.

"Kita harus pergi dari sini sekara-" Baru juga bangun dan jalan selangkah mendekati ambang pintu, Rosa langsung ambruk. Ste dan Aquilla menangkapnya dengan cepat. Ia meringis. Apa yang salah dengan diri ini?

"J-jangan bilang kau pergi kemari ... sambil menerobos hujan salju milik Archae?" Aquilla menebak dengan nada syok, bahkan tebakannya tepat sasaran.

"Apa?" Hanya sekali lirik, Rosa mampu lihat sorot mata kesal dari Ste. "Kau susah payah mengobati kami, tapi kau tak obati dirimu sendiri? Aku tak terima atas keputusanmu, Rosa."

"Kalau memang ada obatnya, sedari dulu aku bakal obati lukaku sebelum pergi selamatkan kalian," kata Rosa tak kalah dingin.

"Bukannya darah sucimu bisa hilangkan segala jenis luka sesuka hatimu?"

"Iya, tapi tidak dengan luka dari serangan Archae." Untuk memastikan luka hujan salju tidak terlalu banyak, Rosa singkap ujung lengan hanfu merah. Sialan, ternyata banyak hingga menyerupai penderita demam campak. "Luka ini hanya dapat disembuhkan oleh bunga Herbiopheia."

"Dan Achio adalah kunci supaya bunga itu tumbuh," ucap Ste mencoba tuntun Rosa untuk berdiri dan pergi bersama, tapi ia menolak bahkan minta Aquilla lah yang memapah Ste. "Kamu punya luka dalam. Aku tak bawa obat yang lebih manjur untuk sembuhkan luka itu."

"Terserah kau, yang jelas sekarang kita tak bisa pergi menemui Achio. Apa ada cara lain yang secara tak langsung bisa melindunginya, Rosa?"

"Tentu ada." Rosa tersenyum tipis. Langkahnya terseok-seok menuju sebatang pohon mati untuk bersandar. "Pergilah ke sumber cahaya merah tadi menggunakan kuda dan ganggu ritualnya. Aku akan menyusul setelah pulihkan tenaga."

Mula-mula mereka ragu, tapi membayangkan hal terburuk menimpa Achio, Ste akhirnya mengangguk. Dua perempuan itu pergi tinggalkan Rosa dengan kuda milik Aquilla.

"Hah...." Rosa mengembuskan napas panjang. Matanya seperti menerawang menembus tujuh langit. "Bertahanlah sedikit lagi, Achio."

****

Entah sudah berapa lama Anky beradu fisik dengan Archae, tapi ia bisa rasakan nyeri di sekujur tubuh. Tak ada lagi aksesoris yang mampu ciptakan sebuah senjata untuk Anky. Dengan kondisi tiada cahaya matahari dan badai salju semakin tebal, Anky mulai andalkan mode bertahan dari serangan Archae. Dia dan pedang api, sedangkan Anky hanya tangan kosong. Tentu sabetan pedangnya sanggup perparah keadaan tubuh Anky.

"Kenapa tak menyerangku lagi?" Bahkan untuk menemukan batang hidung Archae saja Anky tak larat. Pandangannya berkunang-kunang. Daya tahannya merosot. "Kau kehabisan energi? Kau tak layak hadapi aku kalau caranya begini."

"Ini karena----akh!" Satu goresan menganga tercipta di salah satu kaki kuda Anky. Beruntung tak sampai patah tulang, tapi tetap saja ia kesulitan bangkit kembali. "Kalau bukan karena badai saljumu----"

"kenapa dengan badai saljuku?" Badai salju perlahan menghilang guna tunjukkan wujud Archae yang melepaskan topengnya. "Di sini, badai salju akan jadi musuhmu juga. Begitulah yang namanya hukum rimba."

"Badai saljumu membuatku tak bisa ciptakan senjata!" jeritnya di tengah berusaha bangkit. Pada akhirnya, Anky kembali ambruk dan membuat Achio kian gelisah. Ia harus sadar diri. Ia mesti terima kekalahan ini. Sekujur tubuh penuh luka. Kalau orang melihatnya, Anky pasti terlihat seperti orang tanpa nama di jalanan.

Maaf, Achio. Manik emas dengan pupil sebesar beras itu melirik amati Achio. Maaf aku tak bisa melindungimu lagi.

"Sekarang giliranmu, perempuan sok polos." Sorot mata tajamnya tepat mengarah pada Achio yang duduk berlindung di balik badan Anky. Archae menyibak pedangnya lagi dan seketika api membesar. Tarian lidah api itu bisa saja melukai tangannya, tapi sungguh keajaiban tengok lengan Archae tak terbakar.

"Maju, jangan buat Anky kecewa karena sia-sia bilang kau kunci dalam pembukaan segel jiwa Ronto." Tak peduli apakah Achio sudah siap atau belum, Archae secepat kilat menyerangnya tanpa beri celah untuk sang lawan membalas.

Tenang saja, Archae tak sudi melukai Anky lagi. Bukan dia yang seharusnya ia ladeni menurut tujuan kedatangannya, tapi Achio. Gadis bermata biru itu yang mesti ia hadapi. Mau sehebat apapun Achio mengelak, api yang membalut pedangnya takkan padam seperti adrenalin dalam tubuh ketika bertarung. Ayunan pedang Archae kian cepat. Mereka bergerak lebih lincah lagi hingga Anky hanya lihat kilatnya. Tak jarang Achio terluka oleh tendangan dan pukulan dari gagang pedang Archae.

"Serang aku, Achio!" Ia menendang Achio yang menyilangkan tangan depan muka hingga terseret. Matanya mulai terpancar warna putih kebiruan bahkan genggamannya yang erat lagi menambah ukuran api, siap ayunkan dari atas ke bawah walau jangkauannya jauh. "SERANG AKU!"

Sabetan tersebut tinggalkan kobaran api yang menyembur menuju Achio. Namun, belum juga si jago merah membelai ujung kaki, api tersebut padam. Kabut badai salju pun ikut lenyap serta Archae harus pertahankan posisinya dari angin kencang. Dalam benak ia bertanya, angin dari mana yang mampu hilangkan kabut?

Merasa situasinya aman, Archae mulai lihat apa yang ada di hadapannya dan ia terkejut bukan main.

"Kau...." Mata Archae membulat tak percaya.

"Ti-tidak mungkin...." Anky yang kesadarannya tinggal setengah pun ikut terperangah.

Mereka bukan melihat sosok gadis berambut hitam ikal panjang dengan mata safir dan gaun putih penuh noda, melainkan perempuan yang berdiri begitu gagah bersama pedang dan perisai. Dia berambut emas yang sangat bercahaya seperti senjatanya. Kupu-kupu putih mengitari perempuan itu.

"Bukankah itu ... Ronto?" Anky masih tak percaya dengan pemandangan langka ini.

Itu jelmaan Ronto. Batin Archae berusaha yakinkan hal tersebut. Sambil kumpulkan keberanian, Archae pasang kuda-kuda untuk menyerang menggunakan katana api.

"Kau mau menjelma jadi Ronto, hm?" Genggamannya pada katana makin kuat. "Sekalipun kau menjadi seperti itu, aku takkan takut padamu----"

Achio yang katanya menjelma sebagai Ronto langsung gesekkan pedang pada perisai. Api hitam menyelimuti senjatanya dan entah kapan Achio melangkah, tiba-tiba muncul depan mata Archae dengan perisai siap diayunkan. Archae tentu belum siap pasang pertahanan. Alhasil, wanita berpakaian tebal dan berbulu itu terbanting jauh hingga salah satu pohon yang ditabrak jadi tumbang. Dampak besar tersebut hanya berasal dari sekali ayunan baja pelindung milik Achio.

"Apa-apaan kekuatannya----hah?" Baru juga Archae ambil sikap waspada, Achio sudah datang untuk menghujam tubuhnya dengan pedang api hitam.

Spontanitas Archae untuk menghindar dan bangkit mempersiapkan serangan telah menyelamatkannya dari serangan maut Achio. Menggunakan gaya para samurai, Archae mulai perpendek jarak tarung. Menurutnya, serangan ini setidaknya bisa lenyapkan fokus lawan sehingga dia kewalahan dan Archae siap tumbangkan musuh. Namun, entah kenapa ia merasa ... serangannya kali ini tak berguna bagi Achio dengan wujud Ronto.

Malahan ia sendiri terluka cukup parah oleh ayunan pedang Achio. Api hitam menempel di badan Archae yang terluka usai terima goresan besar di wajahnya. Archae lah yang kehilangan fokus sekarang. Nasibnya berada dalam kuasa Achio yang menghajarnya tanpa ampun, tak peduli nantinya Archae berakhir remuk karena kekuatan dahsyat dari lawan.

Setiap sabetan yang Archae tangkis semampunya. Setiap ayunan perisai bila Archae membalas. Perlahan kabut dan hujan salju berasap menghilang. Kini Anky bisa lihat langit kelabu tak berawan. Archae pun sama. Tepat Achio berlutut di atas badannya dan berniat hunuskan pedang api hitam depan muka, ia melihat sebuah keanehan di langit sambil menahan bilah pedang Achio.

Di belakang Achio, ada cahaya semerah darah menembus langit. Apa itu? Ada suatu hal buruk, kah? Bila iya, apa itu? Rasanya Archae pernah dengar nasihat soal munculnya cahaya merah.

"Archae!"

Apa ya kira-kira? Perhatian Archae tak lagi tentang ajal depan mata, tapi tanda dari cahaya merah.

"ARCHAE!"

Sontak ia mengerjap. Tangannya telah berdarah bahkan terbakar karena menggenggam ujung mata pisau agar bisa hempaskan lawan. Namun, otak Archae masih mencerna semua kejadian barusan, termasuk wajah Achio yang semakin garang ingin segera habisi lawan.

"SADARKAN ACHIO SEKARANG JUGA SEBELUM TYRAN TAHU KEBERADAAN KITA!"

Gampang kalau sekadar bicara. Sedangkan tenaga Archae terus terkuras untuk meminimalisir rasa sakit di telapak tangan. Bagaimana caranya ia sadarkan Achio yang matanya memutih sempurna?

Bagaimana caranya? []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro