4. Highstoon Tragedy
Catatan: Ruangan putih tempat tes ini memang besar dan luas. Jadi tidak usah heran jika melihat adegan-adegan di bawah nanti.
Recap:
Johnson tidak melanjutkan. Pikirannya tenggelam dalam kumpulan tombol pengaturan di depannya. James hanya menatapnya. Ia tidak berkata apa-apa.
Tapi ia tahu ia harus menghentikan kelakuan pria tua itu meskipun harus mengorbankan nyawanya sendiri.
****
Kaitley menatap kotak besi yang telah terbuka lebar di pangkuannya.
Kosong..
Kotak itu kosong.
Kaitley telah memeriksa setiap celah dan sudut dari bongkahan besi itu. Tapi ia tidak bisa menemukan hal yang ganjil. Kotak itu bersih. Tanpa goresan dan cacat.
Kaitley mengguncang-guncangkan kotak itu dengan harapan ada suatu celah rahasia yang akan terbuka. Tapi usahanya nihil. Ia meletakkan kotak itu di lantai lagi. Merasa jenuh, ia pun berdiri untuk meregangkan tangannya. Kaitley menatap sudut ruangan kosong itu dengan kesal. Ia yakin, pasti para juri sekarang sedang mengawasinya—tertawa terpingkal-pingkal melihat kemampuannya untuk mengeluarkan sebuah kotak. Kotak kosong. Pipi Kaitley terasa panas memikirkan kemungkinan itu. Dengan geram, ia meraih kotak itu dan melemparnya ke sudut ruangan. Kotak itu membentur dinding putih ruangan tersebut dengan suara bum pelan.
Kaitley menjatuhkan diri di tengah ruangan itu dan memeluk kedua lututnya sambil menundukkan kepala. Berharap dirinya bisa lenyap ke dalam kegelapan saking malunya.
Kaitley..
Ia mengangkat kepalanya. Menengok ke segala arah dengan bingung.
Aku bersumpah rasanya tadi ada yang memanggilku.
Kaitley menajamkan telinganya. Ia menempelkan telinganya ke salah satu dinding dan memejamkan matanya.
Kaitley!
Kali ini suaranya lebih nyaring. Lebih mendesak. Terdengar juga suara dentuman samar beruntun. Kaitley tersentak. Buru-buru ia tempelkan lagi telinganya ke dinding itu.
"J..Ja..James?" suara Kaitley begitu pelan dan serak. Sangat berlawanan dengan bunyi ledakan dahsyat selanjutnya dari ujung ruangan.
Kaitley merasakan nyeri yang tidak tertahankan di seluruh tubuhnya saat ia membentur tanah. Terutama di tulang keringnya. Ia berusaha untuk berdiri dan melihat apa yang baru saja terjadi. Tetapi kelopak matanya terasa semakin berat. Bercak-bercak hitam mulai mewarnai pandangannya. Dengingan yang memenuhi kepalanya hanya membuatnya semakin pusing.
Kaitley mendengar suara tapak kaki dari tempatnya tergeletak. Seluruh tubuhnya mendadak terasa kaku. Ia merasakan bulir keringatnya menetes ke lantai. Kaitley menggerakkan kepalanya perlahan—untuk melihat siapa pemilik langkah itu.
Sosok itu awalnya, hanya berupa bayangan gelap yang bergerak pelan dan samar di sekitar asap dan debu hasil ledakan. Namun sosok tersebut mulai berwujud saat asap-asap di sekitarnya berangsur hilang–membentuk postur lelaki paruh baya dengan tubuh kurus dan perut buncit—yang berjalan dengan perlahan menuju tempat Kaitley berbaring. Tangan dan kaki lelaki itu terlihat begitu kurus dan ganjil di mata Kaitley.
Lelaki tersebut memegang sesuatu di balik punggungnya. Suatu benda berwarna hitam.
Dengan ketakutan, Kaitley berusaha untuk bangun dan bergerak menjauh. Namun, tangan kurus lelaki itu membungkuk dan memegang bahunya. Kaitley berusaha melepaskan bahunya dari genggaman pria itu. Tapi sebelum ia sempat mengelak, lelaki itu menunjukkan gigi-geliginya yang putih terawat sambil tersenyum ramah padanya.
"Kau tidak apa-apa nak?"
Suara yang keluar dari mulut lelaki itu begitu lembut dan tulus. Kaitley mengangguk pelan sebagai jawaban. Ia terlalu bingung untuk mengeluarkan suaranya. Si lelaki tersenyum lebih lebar sambil menganggukkan kepalanya dengan puas dan segera membantu Kaitley berdiri.
Kaitley merasakan ketakutannya mulai mereda.
Mungkin pria ini tidak seburuk yang kukira. Pikir Kaitley dengan polos. Kaitley mendongak ke pria itu dan memberanikan diri untuk bicara.
"Maaf sir tapi apakah anda tau penyebab ledakan itu? Apa yang sebenarnya terjadi?"
Lelaki itu tidak menjawab. Pandangannya sekarang teralihkan pada kotak besi kosong di sudut ruangan yang dilempar oleh Kaitley sebelumnya. Kaitley memperhatikan lelaki tersebut berjalan mendekati kotak itu dengan heran.
Si lelaki memungut kotak itu dan memegangnya dengan hati-hati. Meneliti setiap sudut kotak itu dengan kagum. Seakan-akan ia sedang memegang suatu barang antik. Merasa keadaan saat ini mulai terasa canggung, akhirnya, Kaitley memutuskan untuk angkat bicara.
"Sir? Sa–saya sudah mencoba berbagai macam hal tapi, kotak itu tidak mengeluarkan atau menghasilkan sesuatu jad–"
Gelak tawa yang nyaring keluar dari mulut si lelaki, Membuat kata-kata Kaitley terputus. Si lelaki berbalik menatap Kaitley. Senyum ramahnya berubah menjadi seringai yang menyeramkan.
"Oh nak... tentu saja kotak ini kosong. Karena isinya sudah kau keluarkan."
Kaitley hanya menatap lelaki di hadapannya dengan was-was.
"Apa? Saya tidak mengeluarkan apapun dari kotak itu. Sudah saya bilang tadi, kotaknya kosong." Desak Kaitley saat lelaki tersebut tidak merespon pandangan penuh tanyanya.
Kaitley melirik ke arah lubang sumber ledakan tadi kemudian ke arah si lelaki bolak-balik. Tidak yakin mana yang lebih mengancam.
Lelaki itu lalu mengamatinya–masih dengan seringai mengerikannya tadi.
"Lihatlah kotak ini dengan lebih dekat nak..lihatlah." Bisik si lelaki tiba-tiba. Pandangannya terarah pada dinding di belakang Kaitley. Seakan-akan sedang mengaguminya sesuatu yang ada di dinding itu.
Ada sesuatu yang salah dengan lelaki ini
Tapi Kaitley tetap menyeret seluruh tubuhnya yang nyeri untuk mendekat ke lelaki tua tersebut. Walaupun ia tidak merasa aman di dekat lelaki itu, Kaitley tidak bisa menahan keingintahuannya akan kotak besi yang diciptakannya tadi. Lagipula jika lelaki itu mengetahui sesuatu tentang kotak besi tersebut dan dapat membantunya untuk melalui tes ini, mengapa tidak?
Lalu, dengan ragu-ragu, Kaitley melongok ke dalam kotak itu sekali lagi. Kekesalannya meningkat saat matanya menyapu isi kotak besi yang kosong sama seperti sebelumnya.
"Sudah saya bilang sir ko–"
Namun Kaitley langsung mengatupkan mulutnya rapat-rapat saat melihat kotak itu. Kotaknya memang kosong. Tidak ada apapun yang baru dari kotak itu. Yang membuatnya berhenti bicara yaitu, raut wajah si lelaki dan caliber di tangan kanannya yang ia arahkan ke kepala Kaitley. Terdengar bunyi click yang khas ketika lelaki itu melepas pengaman pistol tersebut dan megarahkannya ke sebelah kanan tubuh Kaitley.
Kaitley melepaskan napas lega yang sempat ditahannya. Kemudian napasnya segera tertahan lagi saat ia melihat sasaran lelaki itu tidak lain adalah kakak kandungnya yang sekarang ada di jarak beberapa meter di belakang mereka. Kakak lelakinya tersebut berdiri dengan ekspresi melawan sambil memegang sebuah remote.
Kaitley tidak sadar akan betapa rindu dan senangnya ia melihat kakaknya dengan sweater birunya yang khas dan wajah pucatnya. Kaitley merasakan penglihatannya menjadi buram. Ia memejamkan mata dan merasakan bulir air mata yang mulai mengalir tanpa henti dari kedua matanya–membuat mulutnya menjadi terasa asin. Kaitley lalu membuka mulutnya. Tapi tak ada satupun kata yang keluar.
*****
Sementara itu James menatap Johnson dengan gentar. Dipegangnya remote control ruangan uji dengan erat. Saat melihat wajah pria tua itu memucat, James tersenyum puas dan mengayunkan remote control tersebut di atas kepalanya. Meningkatkan resiko benda itu untuk jatuh dan kehilangan fungsinya saat membentur lantai.
Ia sudah melihat peranan penting yang dimiliki remote control ini saat Johnson menggunakannya untuk mengatur panel kontrol. James begitu ketakutan saat melihat Johnson mengobrak-abrik tasnya dan mengeluarkan pistol berpeluru sambil dengan tergesa-gesa, menekan salah satu tombol yang ada di kiri panel untuk pintu darurat. Ketakutan James memuncak saat merasakan bumi berguncang di bawah kakinya akibat salah satu dinding ruang uji hancur karena ulah Johnson. Ketika James sudah begitu kalang kabut, ia baru menyadari Johnson telah meninggalkan remote controlnya di meja. Buru-buru ia ambil remote control itu. Lalu, ia mencari-cari ke seluruh ruangan untuk mencari sesuatu yang dapat dijadikan senjata perlindungan. Sayangnya usahanya tersebut berakhir nihil. Akhirnya dengan hanya berbekal remote dan keyakinan, James menyusul Johnson untuk menyelamatkan adiknya.
****
Kepercayaan diri James menurun saat melihat moncong pistol yang diarahkan ke dadanya. Ia melihat lelaki tua di depannya itu dengan penuh kebencian. James merasa menyesal karena tidak membawa pecahan kaca atau benda apapun yang berasal dari reruntuhan ledakan tadi untuk melindungi dirinya sendiri.
Makhluk-makhluk kelam yang melayang dan merangkak-rangkak di sekeliling ruangan juga hanya dapat menambah ketidakpercayaan dirinya. James hanya bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau Johnson melepas rantai yang mengikat Mahkluk-makhluk itu. Salah satu makhluk menyerupai ular yang dirantai terletak begitu dekat di tempat mereka berdiri. Makhluk itu tidak melenguh dan menjerit penuh amarah seperti makhluk lainnya. Sebaliknya, kepala ular itu hanya menatap mereka sambil menjulurkan lidahnya. Kepala ular itu seakan-akan mengetahui apa yang sedang terjadi.
Johnson yang melihat pandangan James teralihkan, dengan cekatan mendekap Kaitley dan mengarahkan pistol kesayangannya tersebut ke pelipis Kaitley. Gadis berambut gelap yang masih terlalu gembira melihat kakaknya itu, menjerit kaget saat merasakan tangan kurus yang mendekapnya itu, menempelkan moncong pistol dingin di kulit kepalanya. Suaranya yang hilang tiba-tiba kembali dan Kaitley merasakan dirinya memanggil-manggil nama kakaknya sampai suaranya serak.
James menatap adiknya dengan panik. Kepalanya berdenyut-denyut tidak keruan. Ia merasakan genggamannya pada remote di atas kepalanya mulai longgar akibat telapaknya yang berkeringat.
"Letakkan remote itu di lantai dan luncurkan kemari dengan kakimu ke arahku nak! Percayalah, ide untuk menembak kepala adikmu dan menyaksikan isi kepalanya berhamburan di kemeja baruku tidak terlalu menggugah selera." Teriak Johson dengan sadis. Kaitley merasakan dirinya bergidik mendengar ucapan lelaki tua yang tadinya ia pikir dapat membantunya.
Kesabaran Johnson mulai menipis. Semakin lama anak laki-laki itu menghalanginya, semakin kecil kemungkinannya untuk menguasai kotak itu beserta kekuatan yang disimpannya. Makhluk berkepala ular di sebelah kanan mereka juga membuatnya semakin gelisah. Ada sesuatu yang tidak beres dengan makhluk itu. Johnson tahu itu. Karena yang dari tadi mengintruksikannya untuk mengambil kotak itu dan memperlihatkan kekuatan yang dapat kotak itu lakukan, saat ia di panel kontrol, adalah makhluk itu. Memang ia tidak tahu pasti. Tapi, dari suara serak makhluk itu di kepalanya, Johnson cukup yakin suara itu adalah suara ular yang sering ia liat di acara- acara TV.
Suara itu memerintahkannya untuk mencari batu yang ada di kotak besi tersebut. Kata suara itu, batu yang ada di kotak itu merupakan kunci untuk membuka kekuatan yang bersembunyi di kotak itu.
Johnson sudah mencoba mencari batu tersebut di dalam kotak dan di kantong si gadis saat ia mendekapnya. Keringat mulai bermunculan dari seluruh tubuhnya, saat ia tidak menemukan apapun yang menyerupai batu yang disebutkan suara itu.
"Lepaskan dulu adikku!" balas James dengan lantang. Membawa Johnson kembali ke alam sadar.
Johnson menggertakkan giginya dengan geram. Kaitley dengan horor melihat tangan Johnson merayap ke pelatuk pistol yang dipegangnya.
Tidak..
"JAMES!!"
Teriakan Kaitley disusul oleh desingan peluru yang membuat kedua telinganya berdenging. Kaitley menyaksikan peluru itu menggores dan menembus kulitnya dengan ganas.
Rasa terbakar yang begitu menusuk menyeruak dari bahu kanannya. Dengan ragu, Kaitley meraba-raba bahu kanannya. Ia menatap noda merah gelap yang menempel di telapak tangannya sesudah ia menempelkan tangannya ke bahunya. Cairan itu tampak begitu kontras dibandingkan lingkungan serba putih di sekelilingnya.
Saat Johnson menembakkan pelurunya, pegangan lelaki itu pada Kaitley merenggang–membuat ia dapat melepaskan diri dari Johnson dan melemparkan tubuhnya di depan Johnson untuk menghalangi peluru yang ditujukan pada kakaknya. Kaitley melihat James yang segera menghampirinya disusul Johnson yang berdiri mematung sambil menatap kedua tamgannya sendiri. Ekspresinya menunjukkan ketakutan dan penyesalan yang mendalam.
Walaupun luka di bahunya begitu menyakitkan, Kaitley lebih takut melihat pemandangan di sekelilingnya saat ini. Entah darimana asalnya, tiba-tiba muncul sesosok makhluk menyerupai ular bermata berwarna kuning dengan pupil yang sangat tipis. Seperti mata kucing di siang hari. Makhluk tersebut menatapnya dengan tajam. Tubuhnya terantai ke lantai putih di bawahnya.
Bukan itu saja, perlahan Kaitley mulai melihat dan mendengar lolongan makhluk-makhluk ganas di sekelilingnya yang juga dirantai seperti si ular. Di langit-langit ruangan, Kaitley menyaksikan bayangan-bayangan orang sedang melakukan sesuatu seperti proyektor dari masa lalu.
Sejak kapan makhluk-makhluk itu ada disini...
Batin gadis itu sambil membelakkakkan matanya. Belum sempat ia memahami apa yang sedang terjadi di ruangan ini, perhatian Kaitley sudah berpindah ke James yang sedang berlari menghampirinya.
Lelaki tua di belakang Kaitley yang dari tadi masih shock akan perbuatannya sendiri, terkejut saat melihat James yang sedang menghampiri adiknya. Johnson menatap makhluk menyerupai ular di dekat Kaitley yang sekarang sedang memberinya tatapan mematikan. Johnson tahu apa yang harus ia lakukan. Tidak peduli seburuk apapun dampaknya. Ia tahu ia harus mendapatkan batu itu.
Bagaimanapun caranya.
Tangan kurusnya mulai mengarahkan pistolnya ke sisi kepala James. Tanpa pertimbangan lebih lanjut, ia menekan pelatuknya tanpa jeda ke arah James.
Anak lelaki itu untungnya dengan cekatan, berhasil menghindari peluru-peluru Johnson dan segera menarik lengan kiri adiknya untuk mengalungkannya di bahunya saat ia sampai di tempat adiknya tergeletak.
Kaitley merasakan dirinya diseret ke arah lubang. Rasa sakitnya mulai membuatnya terbiasa saat melihat kakaknya ada di sisinya. Jantungnya mulai berdebar-debar saat lubang ledakan di depannya semakin besar. Mereka semakin dekat ke arah jalan keluar. Menuju kebebasan.
Sebuah senyum merekah dari wajah Kaitley. Ia melihat wajah penuh peluh kakaknya yang sedang menopang tubuhnya.
"James,"
"Hmm?" balas James sambil terus menatap ke depan. Wajah James penuh debu dan lecet akibat ledakan tadi.
"Maafkan aku karena...yah karena menyeretmu ke semua kekacauan ini." Ringis Kaitley sambil tersenyum pahit.
"Well that's what big brother do right?" balas James yang sekarang menatapnya sambil tersenyum jahil.
Senyuman yang tidak Kaitley sangka akan begitu ia rindukan.
Kaitley menjawabnya dengan anggukan lemah. Sayangnya, momen tenang itu runtuh saat James tiba-tiba terjatuh dan ikut menyeret Kaitley terjerembab bersamanya.
Kaitley dengan panik bangkit dari lantai dan meletakkan tangannya di tubuh James yang terkapar. "James? Ada apa??"
Napas Kaitley tercegat saat melihat noda gelap di baju bagian dada kakaknya.
"Oh James... tidak James. Bertahanlah! Aku akan menopangmu!" rintih Kaitley dengan panik. Bagi Kaitley, kejadian di depannya ini terasa begitu tidak nyata. Kakak lelakinya. Kakaknya yang selalu bercanda, sekarang sedang berada di ambang kematian. Kaitley berusaha menahan air matanya.
Tidak. Aku harus kuat. Aku harus kuat demi James.
Kaitley merengkuh tubuh James sambil berusaha untuk mengangkatnya. Sayangnya Kaitley tidak cukup kuat. Kakinya yang gemetaran segera menyerah saat ditekan untuk mengangkat beban James. Akhirnya, kedua bersaudara itu tersungkur kembali ke lantai. Tapi Kaitley tidak menyerah begitu saja. Ia topang lagi badan kakaknya.
"Ayo! Kau pasti bisa James!" teriak Kaitley. Berusaha untuk menyemangati kakaknya.
James menggeleng. Dipegangnya telapak tangan Kaitley dan diberikannya remote control tersebut ke tangannya. Kaitley menatap remote di tangannya dan menggelengkan kepalanya dengan keras.
"Tidak James. Kamu akan ikut denganku dan kita akan menyelesaikan ini bersama-sama!" Kaitley bisa merasakan air matanya yang dari tadi ia tahan, bertumpahan menjatuhi pipinya. Ia menarik tubuh James lagi untuk yang kedua kalinya guna menopangnya. Tapi James sudah tidak sanggup untuk berdiri. Baru saja Kaitley mengangkatnya dan mengajaknya berjalan beberapa langkah, tubuh James sudah menolak untuk bekerja sama dan menyebabkan kedua bersaudara itu rubuh ke tanah. Lagi.
Kaitley merutuk pelan saat menoleh ke belakang dan melihat Johnson yang berjalan terengah-engah—dengan pistol yang sudah kosong di tangan kirinya—ke arah mereka. James mencengkram tangan adiknya dan mengeluarkan suaranya dengan susah payah.
"Pergi. Sekarang!"
Tidak! Ini tidak mungkin terjadi padaku!
Pikir Kaitley dengan putus asa. Sekarang selain tubuhnya yang dari tadi sudah nyeri, dadanya ikut terasa sakit. Sesak. Seakan udara telah menolak untuk masuk ke paru-parunya. Mungkin inilah sakit yang sering orang-orang sebut dengan sakit hati yang terjadi apabila, seseorang yang kita sayangi akan meninggalkan kita.
Baru saja Kaitley akan membantah perintah James, ia merasakan sesuatu di telapak tangan kirinya yang sedari tadi ia kepalkan. Sesuatu yang kasar dan keras.
Sebuah batu. Kaitley terkesiap melihat batu hitam kasar yang sekarang ada di telapak tangannya itu. Bagaimana mungkin batu itu muncul begitu saja di tangannya?
Namun, saat Kaitley menatap batu itu, ada suatu sensasi yang muncul di dadanya. Sesuatu yang buas dan ganas. Yang membuat dadanya terasa panas seperti terkena balsem.
Tetapi, bukannya ketakutan, Kaitley merasa tenang. Ia merasa seluruh kesedihan dan keputus-asaannya terbakar oleh sensasi panas di dadanya. Makhluk-makhluk yang dari tadi telah ia lupakan sekarang meraung-raung di sekitarnya. Seakan ikut merasakan sensasi asing di dadanya.
Kaitley tidak lagi merasa takut. Ia merasa marah. Dengan semangat baru, ia bangun dan menegakkan tubuhnya menghadap Johnson yang sedang menghampirinya. Ia tidak mengindahkan bentakan putus asa James yang menyuruhnya untuk kabur. Ia tidak berlari menuju lubang ledakan itu. Sebaliknya, ia berjalan dengan tenang ke arah Johnson.
Kaitley tidak lagi menganggap Johnson sebagai ancaman besar baginya. Ia juga tidak lagi menganggap makhluk-makhluk disekitarnya sebagai monster yang akan membunuhnya kapan saja. Ia justru merasa makhluk-makhluk tersebut memperkuat dirinya. Seperti lebah-lebah jantan yang tunduk kepada ratunya. Kaitley merasa ialah ratu dari para mahkluk itu.
Di sisi jauh ruangan putih tersebut, si mahkluk yang menyerupai ular menyaksikan perubahan di diri Kaitley. Makhluk ini tidak kuasa untuk menyembunyikan kegembiraannya. Ia menjulurkan lidahnya sambil mendesis senang.
Johnson yang tidak tahu-menahu tentang perubahan Kaitley menghentikan langkahnya. Terlalu gembira melihat anak-anak nakal itu akhirnya menyerah di hadapannya. Ia tahu gadis kecil itu bukan apa-apa tanpa saudara lelakinya.
Kaitley menatap James yang tergeletak dengan lemas di lantai. Tatapan kebingungan yang terlihat di wajahnya begitu jelas. Kaitley menarik napas panjang dan menatap kedua tangannya. Yang satu sedang menggenggam batu hitam yang kasar. Sedangkan yang satu lagi memegang remote control kesayangan Johnson.
Sebuah ide muncul dari kepalanya. Memang ide ini agak gila. Tapi kemungkinan besar, akan berhasil. Kaitley yakin itu. Sambil menarik napas panjang, Kaitley segera menjalankan aksinya.
"Hei old man!" ejek Kaitley kepada Johnson. Lelaki tua itu menajamkan mata rabunnya kepada Kaitley sambil terus berjalan untuk menghampirinya. "Kau mau ini kan?" tantang Kaitley sambil mengayun-ayunkan remote itu di telapaknya.
"Cukup main mainnya! Berikan remote ku bocah sialan!!" teriak Johnson yang telah kehilangan kesabarannya.
Kaitley melihat Johnson yang dengan susah payah berjalan ke arahnya. Usia tua dan tubuhnya yang memang rentan, membuat gerakan Johnson menjadi lebih lambat. Terutama di saat-saat mendesak seperti ini. Kaitley mengangkat tangannya yang menggenggam remote ke atas.
"Kalau begitu tangkap!" sahutnya dengan perasaan puas yang tidak bisa dijelaskan.
Kaitley tidak berpikir. Ia hanya meregangkan tangannya sejauh mungkin dan melempar remote control tersebut, ke sudut terjauh ruangan tempat Johnson berdiri tadi.
"TIDAK!!" teriak Johnson saat menyaksikan dan remote controlnya melayang melewati kepalanya dan membentur lantai dalam kepingan.
Semuanya hening sesaat. Tidak ada yang berani bergerak. Bahkan Mahkluk -makhluk berantai pun ikut menatap kepingan remote control itu. Kepingan itu berkedip-kedip sesaat sebelum memancarkan sinar yang begitu terang.
Dan membangunkan seluruh kota x dengan ledakannya.
****
Frau's note:
Hai guys. Chapter kali ini memang agak panjang. Soalnya aku udh terlalu lama ga update hehe...
Kasih tau pendapat kalian ya!
Jangan lupa votenya hehe.
Thankyou!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro