Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. The Empty Box

Chapter ini dan yang selanjutnya, akan menceritakan tentang ingatan Kaitley saat James masih hidup. Kalau ada yang bingung atau terlihat aneh komen aja ya.

Gambar di atas adalah bangunan sekolah HighStoon.

Happy reading ^^

Recap : 
Tiba-tiba, ruangan berhenti bergejolak. Dinding-dinding ruangan tetap berwarna putih polos. Begitu pula ubin dan langit-langitnya. Tidak ada apapun di ruangan itu selain Kaitley.

Dan sebuah kotak besi ukuran sedang, yang tergeletak di tengah ruangan tersebut.

                              ****

Johnson J. menyesap white coffee kesukaannya, di depan cafe yang selalu ia datangi setiap Sabtu pagi. Sekedar untuk bersantai sambil membaca surat kabar dengan ditemani secangkir kopi dan sepiring croissant sebelum memulai harinya. Johnson mengecek jam tangannya. Baru pukul 9. Masih ada waktu untuk satu buah croissant lagi pikirnya.

Ia menggigit potongan terakhir dan mengangkat tangannya sambil menjentikkan jari. Seorang pelayan perempuan muda dengan rambut merah pudar, yang ditarik ke atas untuk membentuk sebuah sanggul yang sayangnya gagal, datang dengan tergopoh-gopoh sambil memegang kasbon dan pena.

"Ya?"

Suaranya terdengar serak dan mendesak. Johnson tidak melirik sedikitpun dari surat kabarnya. Sebelum bibirnya bergerak untuk membalas pertanyaan si pelayan, ponselnya berdering dengan nyaring. Ia langsung mengambilnya dan menjawabnya. Menghiraukan desahan kesal si pelayan.

"Johnson J. di sini,"

"Sir maafkan saya. Saya tidak bermaksud untuk mengganggu Sabtu pagi anda, tapi keadaan di sini benar benar mendesak. Saya khawatir ada sesuatu yang benar benar tidak beres pada salah satu peserta. Jad–"

Suara asistennya membuat mood Johnson jatuh dengan cepat. 10 tahun yang lalu, menjadi salah satu guru penguji di sma favorit sekota terdengar seperti ide yang bagus dan mempunyai peluang untuk mengenyangkan isi dompetnya.

Tapi sekarang, di usia tua begini, Johnson mulai merasa ragu. Ia mulai lelah dengan ratusan murid sok dan ruangan-ruangan mewah yang mereka tampilkan untuk memenuhi standar tes. Semuanya sama saja. Setiap peserta selalu berasal dari kalangan atas yang otaknya hanya berisi kemewahan-kemewahan duniawi.

Johnson bukan orang kaya. Ia baru berhasil saat tesis miliknya, membuatnya diangkat sebagai guru penguji. Itupun ia dapat dengan bertahun-tahun susah payah. Rasanya melihat anak-anak yang tidak tahu apa yang namanya penderitaan ini, membuat kepergian istrinya semakin disesalkan. Dan sekarang anak-anak manja itu akan merusak tradisi sabtu paginya.

"Sir ? Sir apa kau d–"

"Ya, ya 10 menit,"

"Sir maafkan saya kar–"

Johnson mematikan ponselnya dan menjejalkannya ke saku celananya dengan kesal. Ia menghabiskan sisa kopinya dalam sekali teguk dan mengambil jasnya yang tersampir di belakang kursinya. Dikeluarkannya beberapa lembar uang kertas untuk dua croissant yang baru disantapnya. Johnson langsung menghentikan gerakannya, saat menyadari sosok si pelayan yang masih berada di depannya. Pelayan itu menatapnya dengan malas sambil memegang kasbon.

"Sia-sia bukan aku berdiri selama 10 menit disini untuk menunggumu memesan?"

Johnson meringis dan beranjak dari kursinya. Sambil memakai jasnya, ia menatap si pelayan.

"Sorry."

"Yeah, whatever." Keluh si pelayan sambil pergi menjauh dengan langkah terseok-seok.

Johnson berjalan cepat ke arah trotoar untuk memanggil taksi. Setelah disambut oleh sopir berbadan besar yang tidak henti-hentinya mengoceh tentang istrinya, yang selingkuh dengan tukang pipa, Johson akhirnya sampai juga di SMA HighStoon. Jalanan begitu sepi di pagi itu. Semua orang sedang bersantai di rumah mereka, menikmati sarapan dan bercanda dengan keluarga mereka yang harmonis.

Dan disini lah aku. Di sebuah sekolah mewah untuk membantu calon murid manja untuk menemukan masa depan mereka yang egois. Gerutunya dalam hati.

Johnson menekan tombol elevator dan segera masuk sambil memencet tombol nomor 39. Dengan sabar, Johnson menunggu sambil memikirkan murid macam apa sekarang yang berpotensi membahayakan Sekolah Highstoon ini.

Kandelir dengan sayap pegasus? Kutex penggosip? Mobil balap super dengan obsesi berlebihan pada pemiliknya? Atau dekorasi wallpaper pemakan uang?

Johnson tidak sadar ia sudah mencapai lantai 39 sampai seseorang menepuk bahunya dan menunjuk ke arah pintu lift yang terbuka lebar. Johson tersadar dan mengangguk singkat untuk berterimakasih kepada penumpang lift itu. Ia keluar dan menengok ke belakang untuk melihat wajah orang yang memperingatkannya tadi untuk berterima kasih. Johnson merasa agak gelisah saat melihat penampilannya. 

Orang itu mengenakan jubah gelap yang menutupi hampir seluruh bagian wajahnya. Tubuhnya begitu jangkung dan ramping. Johnson mendekat untuk melihat lebih jelas, sebelum pintu lift benar-benar tertutup. Mata gelap tak berdasar balik menatapnya.

Johson tersentak mundur. Pintu lift sudah menutup. Ia melihat kemana si penumpang itu. Nomor yang ada di layar atas pintu lift menunjukkan lantai 40. Tepat di atasnya. Johnson bergidik. Ia punya firasat buruk terhadap orang itu.

                                ****

Asisten Johnson, menyambutnya dengan wajah lega ketika melihat atasannya menampakkan diri di ruang penjurian. Johnson menghampiri beberapa tempat duduk dengan jendela lebar di depannya. Di ujung ruangan, ia melihat penguji lain sedang duduk—menungging lebih tepatnya. Tangan mereka meninggalkan jejak di jendela kaca yang gelap. Wajah mereka terlihat gelisah dan ketakutan. Beberapa penguji yang sedang tidak melihat ke kaca terlihat sedang terlibat dalam perdebatan yang panas dengan penguji lainnya.

Johnson melirik ke kursi di ujung kanan ruangan, yang biasanya diisi oleh para orangtua atau wali. Biasanya ia selalu kesal mendengar ocehan-ocehan dan desahan kagum mereka saat melihat anak mereka di seberang jendela kaca membentuk ruangan dengan "kreatif".

Tetapi, kali ini yang duduk di kursi tersebut adalah seorang anak lelaki. Mungkin baru berumur 17 atau 18 tahun. Ia menatap jendela dengan tegang. Ekspresinya terlihat begitu terkejut hingga membuat Johnson penasaran akan apa yang terlihat di balik kaca itu. Ia mempercepat langkahnya dan melongok ke jendela kaca untuk melihat si peserta "istimewa" ini.

Yang ia lihat begitu tak masuk akal. Menakutkan. Mengerikan lebih tepatnya. Bahkan seorang pria berumur 55 tahun yang sudah berpengalaman pun pasti  akan terkesiap melihat pemandangan yang ada di depannya saat ini.

Si peserta adalah seorang anak perempuan dengan rambut gelap dan kulit yang pucat. Sepertinya, anak perempuan itu tak sadar dengan keberadaan jendela yang memang dibuat untuk satu sisi saja yang saat ini disaksikan oleh para penguji yang ketakutan.

Anak itu sedang berjongkok sambil memegang sebuah kotak besi kecil yang kini tutupnya sudah terbuka. Johnson tidak bisa melihat isi kotak itu. Lagipula itu tidak penting. Yang lebih penting yaitu dekorasi dan bentuk ruangan yang berubah ketika anak itu membuka kotak besi imajinasinya. Produknya.

Bayangan-bayangan hitam dengan bentuk tidak beraturan melayang layang di ruangan itu seperti kabut yang kelam dan gelap. Di lantai yang  sebelumnya berwarna putih, sekarang tercoreng oleh cipratan merah pekat dari makhkuk-makhluk bertanduk yang menyerupai gargoyle bersayap dan mahkluk serupa lainnya dengan rantai besi yang mencekik leher mereka begitu kencang—yang tertanam di lantai.

Mereka membuka mulut  dengan lebar; kemungkinan meraung-raung kesakitan akibat cengkraman rantai dan luka-luka yang menganga di perut mereka.

Sementara itu, di dinding terlihat bayangan samar beberapa orang yang Johnson kenali dari masa lampau, sedang melakukan suatu ritual aneh. Di dinding paling ujung, terlihat para pemerintah Kota x yang sedang mengamuk sambil membawa senjata dan mereka menembaki setiap bayangan. Atau orang-orang yang ada di depannya. Adegan-adegan itu tampak seperti film atau proyektor yang terlihat begitu nyata.

Johnson melongo menatap semua ini. Antara kebingungan dan tidak percaya. Apa maksudnya ini? Anak itu menggambarkan penguasa kota x layaknya orang gila penyembah setan. Anak itu juga memperlihatkan kilasan-kilasan peristiwa kelam yang sering Johnson dengar dari kakeknya, sebagai dongeng sebelum tidur.

Zaman terjadinya kudeta dan pengambil-alihan sistem pemerintahan di seluruh dunia. Zaman saat para monster masih ada di dunia ini. Namun pertanyaan yang lebih mengganggu nya adalah  bagaimana mungkin anak itu bisa memanggil makhluk-Makhluk... demon itu ke dunia manusia?

Johnson bergidik melihat para demon yang terantai itu. Hanya ada satu kemungkinan untuk alasan dibalik rantai yang mengikat makhluk itu. Dan itu merupakan suatu alasan yang tidak mungkin.

Mungkinkah ia dapat mengendalikan demon-demon terkutuk itu?!

Johnson berbalik menghadap asistennya yang berdiri di belakang dengan gemetaran. Rambut coklatnya lepek oleh keringat. Asisten itu menelan ludah saat melihat Johnson memelototinya seakan ialah penyebab dari semua insiden ini.

"A... ap–apa ini??"

Asistennya hanya menggelengkan kepalanya dengan ketakutan yang terlihat jelas di mata cokelatnya.

"Hentikan semua ini! Kita harus hentikan tes ini dan kirimkan anak terkutuk itu ke penjara!" raung salah satu penguji dengan kalut. Ia mendorong para penguji lainnya dan menerjangkan tangannya ke arah tombol-tombol pengaturan yang ada di depan layar.

Tanpa sadar, Johnson sudah ada di samping si penguji. Tangannya dengan gesit mencengkram tangan si penguji yang hampir menghantam tombol merah dengan tulisan rumit di panel itu. Semua orang di dalam ruangan menatap Johnson dengan heran. Mata si penguji berkilat-kilat dengan amarah saat menatap Johnson.

"Apa yang kau lakukan?! bentak si penguji tidak percaya.

"Jangan bertindak bodoh. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada hasil ciptaan anak itu kalau tes ini dibatalkan," kata Johnson, balas membentaknya.

Johnson kemudian berbalik menatap para penguji lainnya. Adrenalin memicu jantungnya untuk berdetak lebih cepat. Keringat mulai mengalir dari dahi Johnson. Belum pernah Johnson merasa seperti ini.

Belum pernah ia merasa bersemangat seperti ini selama 20 tahun hidupnya mengabdi sebagai penguji.

Anak ini. Siapapun dia, memiliki kemampuan khusus yang istimewa pikirnya. Kemampuan unik dan kreatif yang selama ini selalu ia cari dalam ruangan yang dibentuk para peserta.

Tidak..tidak boleh dibuang begitu saja.

Kemampuan itu. Aku harus melihat bagaimana cara kerjanya.

"Para penguji yang terhormat, saya yakin bahwa pembatalan tes ini tidak diperlukan. Seperti yang kalian saksikan, anak ini memiliki sesuatu yang kita cari selama ini. Sesuatu yang unik dan berbeda," kata Johnson dengan bersemangat.

"Kemampuan unik anak itu berbahaya Johnson!! Apa kau gila?! Makhluk-makhluk yang berkeliaran di dalam ruangan itu adalah demon! Makhluk yang seharusnya sudah punah ribuan tahun yang lalu dari muka bumi ini!! Dan anak itu dengan begitu mudahnya memunculkan makhluk itu! Apa yang akan terjadi kalau ia bisa memanggil demon itu di luar ruangan ini?! Dunia bisa kacau seperti dalam sejarah lagi!" seru salah satu penguji yang keliatan lebih tua dan bijak daripada yang lainnya. Ia sedang menenangkan penguji kalut yang mengamuk tadi.

Tapi Johnson tidak mengindahkan peringatan penguji tua itu. Ia mencengkram bahu asistennya dan dengan penuh percaya diri berkata.

"Jalankan tahap dua."

Mata si asisten membelakak ketakutan. Ia menggeleng keras sambil, membisikkan permintaan maaf kepada para penguji dan mungkin juga, terhadap Tuhan karena ia akan melakukan sesuatu yang dapat membahayakan keberadaan sekolah ini.  Sebagian penguji telah keluar dari ruangan tes karena ketakutan.

Di dalam ruangan itu hanya ada Johnson, si penguji liar dengan si penguji bijak yang gelisah, asistennya dan si anak laki-laki. Anak laki-laki yang dari tadi terdiam di pojok terjauh ruangan itu kemudian, beranjak berdiri dan menghampiri Johnson yang sibuk mengotak-atik panel kontrol dengan khidmat. Asistennya telah mengusir kedua penguji yang tersisa dengan rasa bersalah setelah diancam oleh Johnson.

"Apa itu tahap dua?" tanya James dengan serius. Jantungnya berdegup dengan kencang–menanti untuk jawaban dari si pria tua.

Johnson melirik ke sumber suara dengan acuh tak acuh.

"Tahap penyempurnaan." Matanya berkilat-kilat menatap kumpulan tombol di depannya.

"Kau harusnya merasa bangga pada adikmu, nak. Ia akan membantuku mengubah dunia. Begitu aku menekan tombol ini, proyek adikmu ini akan diproses dan..."

Johnson tidak melanjutkan. Pikirannya tenggelam dalam kumpulan-kumpulan tombol pengaturan di depannya. James hanya menatapnya. Ia tidak berkata apa-apa.

Tapi ia tahu dirinya harus menghentikan kelakuan pria tua itu meskipun harus mengorbankan nyawanya sendiri.


                              ****

Frau's note:
Hai guys!! Mohon maaf sebanyak banyaknya karena update yang lamaaaaaa sekali haha. Aku baru mulai sekolah lagi, jadi yah harus mempersiapkan dan belajar dan lainnya. But i'm so happy that this chapter have finished and finally can be published. I want to thankyou all for your vote and comments. They really help me in developing my story.

This chapter is dedicated for my friend blancapple who always support and give me an awesome advice for my story! Thanks bro :) . She's new to wattpad. But she have an outrageous writing style! Just check her if you want to see a teen fiction or school life story. That's all i guess. Thanks and see you in the next chapter of Accidentally ( the life of the dark hunters).

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro