
14. A Day With Dean (Part 2)
This amazing awesome gifspam was made by GeenaAG
Recap:
Aku memutuskan untuk tidak mengambil pusing dengannya dan segera menutup mataku agar aku tidak telat bangun besok.
What a day.
****
Langit cerah tak berawan, matahari yang bersinar terik, burung yang berkicauan di luar jendela, embun pagi yang menetes dari permukaan daun, dan...?
Apalagi yang kau butuhkan di pagi hari yang cerah?
Ditendang melalui jendela kamar.
Setidaknya, itu yang aku alami pagi ini. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Intinya, setelah aku membuka mataku, aku merasakan benturan keras di punggungku dan selanjutnya, hal yang kutahu selanjutnya, hanyalah rasa nyeri di hidungku yang membentur tanah berumput diluar asrama.
Pertanyaannya sekarang adalah siapa orang sialan yang berani menendangku melalui jendela di pagi yang cerah ini?
Nope. Bukan Tessa.
Cara-lah yang menendangku. Bisakah kau mempercayai itu?! Aku benar-benar masih butuh adaptasi diri terhadap sisi Cara yang garang ini. Saat aku bertanya—mungkin membentak lebih tepatnya—padanya, kau tahu apa yang dia bilang? Dia bilang,
"Maaf Kait. Kau susah dibangunkan sih. Hari ini kita mendapat kelas pagi. Kau harus cepat-cepat bergabung dengan murid dari must lainnya."
Jadi sekarang, dengan mata sayu, rambut lepek, dan hidung bengkak, aku terlihat seperti seorang gelandangan yang menyelinap untuk duduk bersama gerombolannya (dibaca: anggota must) di sebuah kelas yang lebih cocok disebut gudang ini.
Ini serius. Aku sama sekali tidak melebih-lebihkan apa yang kulihat. Sepertinya, mereka pikir karena mantan-mantan kriminal yang sekarang menjadi murid kelompok must di akademi ini, tidak pantas untuk mendapatkan fasilitas kelas yang memadai, jadi mereka bisa dengan seenaknya saja menempatkan kami di ruangan sempit yang hanya memiliki papan tulis kapur dan karpet ini. Benar teman-teman. Tidak ada kursi disini. Jadi kami semua terpaksa duduk di karpet berdebu ini.
Saat aku masuk, semua anggota must yang lain telah duduk di karpet. Gro menepuk karpet di ruang kosong sebelah kirinya—mengisyaratkanku untuk duduk di sampingnya. Sedangkan Dust berada di sisi karpet paling depan. Ia sama sekali tidak mempedulikan kedatanganku. Tipikal Dust.
Baru saja aku mendudukkan tubuhku disamping Gro, seorang lelaki dengan kemeja putih dan celana hitam resmi masuk ke kelas—gudang ini, dengan terburu-buru. Ia membawa sebuah tas hitam besar yang ia letakkan dengan susah payah diatas karpet di depan kami. Setelah beberapa detik menarik napas, membetulkan kemeja, meluruskan celana, dan memperbaiki letak kacamata, lelaki itu lalu mulai menatap kami. Matanya yang sipit meneliti wujud kami satu-persatu.
Setelah itu, ia tersenyum sambil menepuk tangannya.
"Yak! Lengkap semua ya hari ini."
Sambil tetap memasang senyum ceria di wajahnya ia berkata,
"Jadi, selamat pagi murid-murid! Pagi yang cerah untuk memulai kelas Kebugaran Demon dengan saya, Michen. Kalian, seperti biasa boleh memanggil saya Instruktur Chen,"
Suasana dan atmosfer di kelas tetap hening dan suram seperti sebelumnya. Tidak ada yang menunjukkan ekspresi apapun pada perkenalan pagi Instruktur Chen. Aku sendiri hanya tersenyum simpul padanya karena masih terlalu sibuk memikirkan apa yang ia maksud dengan "Kebugaran Demon" tadi.
Lelaki berdarah Asia itu lalu berdeham beberapa kali dan kembali menyunggingkan senyum cerianya yang mulai terlihat dipaksakan.
"Ehm...yap. Jadi, hari ini kalian akan belajar untuk membasmi dan menghalau demon dengan sihir. Seperti yang kalian tahu, terkadang, atau bahkan seringnya, membasmi demon menggunakan mantra jauh lebih ampuh daripada menggunakan senjata,"
Instruktur Chen memainkan jemarinya kemudian menggosok kedua tangannya. Matanya berkilat penuh semangat.
"Oleh karena itu hari ini, saya akan mengajarkan 1 mantra yang cukup rumit namun sangat ampuh untuk memberantas demon. Namun, kalian harus sangat berhati-hati dalam menggunakan mantra ini. Karena jika salah sedikit, kerusakan yang akan diakibatkannya dapat berakibat fatal di dimensi ini."
Lelaki itu menarik napas panjang setelah menyelesaikan penjelasan tentang mantra berbahaya ini. Perlahan ia menyapukan pandangannya pada kami semua. Ujung bibirnya terangkat menjadi sebuahseringai ketika melihat ekspresi tegang murid disekitarku. Sepertinya Instruktur Chen berhasil menarik perhatian Dust dan gerombolannya yang sekarang terlihat tidak sabar untuk mempelajari mantra yang kelihatannya berbahaya ini.
Aku sendiri dapat merasakan detak jantungku yang berdetak lebih cepat ketika membayangkan diriku menggunakan suatu mantra untuk melawan demon. Kilasan-kilasan kejadian kemarin kembali membuat bulu kudukku berdiri. Aku masih sulit mempercayai kemampuan dahsyat yang mampu membayakan semua orang ini diam-diam bersemayam di dalam tubuhku.
Kuangkat kedua telapak tanganku di depan dadaku—dengan jijik kuamati bagian tubuhku itu. Tangan ini adalah tangan yang membuat James hampir kehilangan nyawanya. Tangan yang menghancurkan keluarga kami. Tangan yang dapat membawa demon-demon keji itu ke dunia ini.
Apa yang akan terjadi selanjutnya kalau aku kehilangan kontrol atas diriku lagi...?
Orang-orang bilang mempunyai kekuatan magis adalah sebuah karunia. Tapi, kalau ini yang mereka maksud, mereka boleh mengambil karunia ini dariku jauh-jauh karena aku tidak menginginkannya.
Aku hanya ingin hidup normal. Menghadapi kesenangan dan kesulitan yang biasa dihadapi oleh orang seumurku. Mengapa sulit sekali sih u—
"Miss Summer? Kau baik-baik saja?"
Sosok Instruktur Chen dihadapanku berhasil membuatku kembali fokus pada keadaan di sekelilingku.
Aku mengerjapkan kedua mataku dan mengarahkannya ke wajah guru yang sekarang sedang berdiri di hadapanku sambil memasang raut wajah khawatir.
"Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir." Responku sambil menyunggingkan senyum.
Instruktur Chen mengangguk. Kelihatan lega karena rencananya untuk mengajarkan mantra yang kelihatannya ingin sekali ia ajarkan kepada kami itu tidak lagi terancam gagal. Yang lain kembali memusatkan perhatian mereka pada Instruktur Chen yang sudah mulai memijat jemarinya—bersiap-siap untuk mempraktikkan mantra.
Namun saat aku menghela napas penuh derita diam-diam, aku menangkap Dust yang masih memperhatikanku. Ia buru-buru mengalihkan pandangannya ketika menyadari aku sedang menatapnya.
"Yak, semuanya! Silahkan berdiri," perintah Instruktur Chen. Kami semua berdiri dari karpet dan memasang telinga kami baik-baik untuk instruksi selanjutnya.
"Sekarang, saya akan mensimulasikan penggunaan mantra ini pada demon dengan kekuatan lemah yang berada di dalam to–"
"WAIT, WHAT?!" Teriakan Sam hampir membuat Instruktur Chen menjatuhkan toples hitam yang baru ia ambil dari dalam tasnya tadi.
"Demon kau bilang?! Kau akan mengeluarkan demon asli?" kata Joe dengan suara melengking. Gro dan R ikut bergumam dengan gelisah. Tampaknya tidak ada yang tahu kalau mantra ini akan melibatkan demon asli dalam prakteknya.
Aku sendiri tidak terlalu terkejut. Maksudku, mereka pikir kepada siapa mantra ini akan dipraktekkan? Ke sapu? Yang benar saja.
Dust maju ke samping Instruktur Chen yang kewalahan menghadapi keresahan murid lain. Ia menjentikkan tangannya di atas kepalanya untuk mendiamkan kami.
"Semuanya, tenanglah. Aku yakin Instruktur Chen tau apa yang akan dia lakukan dan apa resiko yang akan dia dapatkan. Jadi sebagai seorang murid, kita harus mempercayainya."
Omongan Dust yang penuh pengendalian diri yang tenang membuat yang lain menjadi lebih tenang. Instruktur Chen mengelap dahinya dengan saputangannya sebelum menepuk pundak Dust sebagai isyarat berterimakasih.
"Ehem. Jadi saya akan mulai dengan melepaskan demon ini dari toplesnya. Namun sebelum itu, kalian semua dimohon untuk menjaga jarak da–"
Sebelum Instruktur Chen sempat melanjutkan, kami semua sudah berdesak-desakkan untuk berlindung di belakangnya.
Toples itu kemudian diletakkan di sudut ruangan terjauh dalam keadaan terbuka. Sulur-sulur hitam mulai keluar dari dalamnya. Samar-samar terdengar suara rintihan dan geraman dari demon itu. Joe meremas pergelangan tanganku erat-erat. Membuatku tidak bisa berkonsentrasi untuk melihat manifestasi dari demon itu.
Dalam beberapa detik saja, demon itu sudah berdiri—melayang, beberapa meter di hadapan kami dengan sulur-sulur hitamnya. Demon itu memang terlihat tidak semengerikan demon lain yang kulihat tempo hari. Pupilnya yang berwarna merah pekat menyisir kami satu-persatu. Kemudian pandangannya terhenti padaku. Aku menahan napas—berusaha membekukan diriku agar tidak semakin menarik perhatian demon itu.
Diluar dugaanku, demon itu menyeringai. Menunjukkan gigi-gigi tajamnya. Dan dalam jangka waktu beberapa detik, ia telah berpindah tempat menjadi di hadapanku.
Joe berteriak histeris dan mulai menarik-narik Gro yang telah berubah menjadi sebuah patung saking shocknya. Sam dan Dust menatap aku dan demon itu secara bergantian dengan ekspresi ketakutan. Instruktur Chen yang masih dalam tahap persiapan untuk merapal mantranya menjadi panik dan kehilangan konsentrasinya.
Demon kecil dihadapanku membungkukkan tubuhnya. Kata-kata yang diucapkan selanjutnya berhasil membuat napasku tercegat.
"Master,"
Semuanya terjadi dengan begitu cepat. Sosok Instruktur Chen yang tiba-tiba berdiri di hadapanku dan Dust yang menarikku agar menjauh dari demon itu. Yang lain mulai menarik senjata mereka dan menodongkannya ke demon itu untuk mendukung Instruktur Chen.
"Dengarkan baik-baik ya semuanya. Beginilah cara kalian membasmi demon menjijikkan ini." Ringis Instruktur Chen. Anehnya, demon kecil itu tidak bergerak ataupun berusaha untuk melawan Instruktur Chen. Matanya yang merah tetap tertuju padaku.
"Mastermastermastermastermaster,"
Demon itu terus mengucapkan kata itu berulang kali layaknya merapalkan sebuah mantra.
Bibir Instruktur Chen juga mulai berkomat-kamit mengucapkan mantra. Suara yang dikeluarkannya menjadi lebih dalam saat ia mengucapkan mantra itu. Ada sesuatu dalam diriku yang bergejolak, saat menyaksikan sosok Instruktur Chen yang akan merapalkan mantra kematian pada demon kecil itu.
Bukan sesuatu yang baik.
Sesuatu yang abnormal.
Shit.
"MASTERMASTERMASTERMASTER"
Rapalan si demon menjadi lebih lantang dan memekakkan telinga. Aku menutup kedua telinga dan mataku. Berusaha menghilangkan sosoknya dari pikiranku karena rapalan demon itu sepertinya sudah mulai mempengaruhiku. Aku merasakan dorongan kuat untuk melakukan sesuatu.
Bukan sesuatu yang baik.
Kendalikan dirimu Kaitley.
Kendali—
"MASTERMASTERMAS—"
Aku ingin menyelamatkan demon itu.
Aku harus menyelamatkan demon itu.
"Beneos osdomos, beneos osdemon. Beneos osdomos, beneos osdemon."
Yang lain ikut merapalkan mantra itu untuk membantu Instruktur Chen. Demon kecil di hadapanku mulai menegang dan bergeliat kesakitan. Raungannya mengiris-iris dadaku.
"Tidak Kaitley. Tidak boleh," bisik sebuah suara.
Bisikan itu berasal dari Dust yang daritadi memegang tanganku dengan erat. Menahan tubuhku di tempat. Aku melihat karpet dibawahku yang ternyata telah rusak akibat desakan kakiku untuk menghampiri demon itu.
"Rapalkan mantranya. Jangan termakan ucapan demon itu." desak Dust di telingaku. Tangannya mulai gemetar menahanku di tempat.
"A–aku...."
"Beneos osdomos, beneos osdemon. Beneos osdomos, beneos osdemon."
Sebuah lubang terbentuk di dada demon itu. Demon itu terus menatapku dengan iris merahnya yang mulai meleleh dan mencoreng mukanya. Membuat demon itu terlihat seperti mengeluarkan air mata.
"Aku tidak bisa...."
Lubang di dada demon tersebut terus membesar hingga pada akhirnya menelan seluruh wujud demon itu. Saat sosoknya hilang, raungan perihnya masih dapat kudengar di telingaku.
"Horee! Kita berhasil! Hebat sekali kau Instruktur Chen!" sorak Gro dengan gembira. Ia memeluk tubuh Instruktur Chen dengan tubuh besarnya. Instruktur Chen menepuk-nepuk pundaknya dengan sesak. Ia kelihatan hampir remuk di dekapan Gro.
"Hmph, boleh juga," aku Joe yang segera melepaskan pegangannya dari tangan Sam—ya, dia memang berlindung dan meremas tangan semua orang— sambil merapihkan bajunya.
"Diam kau," tegurnya dengan judes saat Sam menutup mulutnya sambil menahan tawa. R tidak terlihat dimanapun. Mungkin ia langsung lari terbirit-birit saat melihat demon itu.
Instruktur Chen mengambil toples di ujung ruangan dan memandang toples itu sejenak.
"Ya kerja bagus semuanya. Walaupun, harus kuakui, tadi itu cukup mengagetkan. Karena demon tipe itu biasanya hanya bisa berjalan cepat dan meraum," Instruktur Chen melirikku dengan tatapan itu lagi. Tatapan yang selalu semua orang lempar padaku sejak kejadian di Highstoon.
"Dia bahkan seharusnya tak dapat berbicara." Lanjutnya.
"Mungkin demon itu berperilaku seperti itu karena ada pencetusnya di ruangan ini," cetus R yang tiba-tiba muncul entah darimana. Semua orang menatapku sekarang. Dust masih berada di dekatku. Pegangannya pada pergelangan tanganku mulai meregang.
Aku melepaskan diriku dari Dust dan mulai menjauh. Pemandangan di sekitar kelas berputar-putar di hadapanku. Kepalaku terasa seperti dipukul-pukul dengan palu.
"Bukan...bukan aku."
"Kaitley..." Gro mendekat untuk menenangkanku.
Aku menaruh tanganku di depanku untuk menghentikan Gro.
"Tidak. Jangan dekati aku,"
Aku menatap Dust. Berusaha untuk mencari pembelaan. Mata gelapnya balik menatapku dengan kosong.
"A...aku minta maaf. Aku harus pergi." Gumamku pada akhirnya sebelum aku berlari ke arah pintu keluar dan berlari dari kelas.
Berlari dari semuanya.
****
"Hei,"
Aku mengangkat tubuhku dari rerumputan di taman akademi. Dean sedang berdiri di hadapanku sambil memegang 2 sarung pedang.
"Kenapa kau tidak ikut kelas?"
"Ikut kok. Setengahnya,"
"Apa yang terjadi? Anggota must itu memberimu kesulitan?"
Aku tertawa pahit mendengar pertanyaan Dean. Kugelengkan kepalaku.
"Sebaliknya. Sudahlah, jangan dibicarakan lagi. Kau sendiri bagaimana? Apa yang kaulakukan disini?"
Dean menunjuk sarung berisi pedang yang dipegangnya.
"Kita kan akan berlatih. Kau lupa?"
"Uuh.. Dean, aku sedang tidak dalam mood yang bagus. Tidak bisakah latihannya diundur jadi esok hari?" Keluhku. Aku berjalan dan duduk di kursi taman tidak jauh dari tempatku berbaring di rerumputan tadi. Dean ikut duduk di sampingku.
"Tidak. Kau harus latihan sekarang," jawabnya dengan santai. Aku menoleh ke wajahnya sambil memasang wajah cemberut.
****
Sudah 1 setengah jam Dean melatihku untuk menggunakan pedangnya (ia belum memperbolehkanku untuk menggunakan tombaknya. Katanya aku masih terlalu amatir) dan sekarang, sudah hampir sejam berlalu lagi sejak saat itu.
Aku masih belum bisa menggunakan pedangnya dengan benar.
"Kaitley, kau harus berkonsentrasi kalau mau cepat bisa. Ini aneh sekali. Kau terlihat cukup tangkas saat ujian kemarin. Kenapa sekarang jadi seperti ini?" kata Dean. Ia memperbaiki letak pedang di tanganku lagi untuk kepuluhan kalinya.
"Ayo coba serang aku," perintahnya.
Aku mencengkram pedang tersebut dan mengayunkannya ke arah Dean—yang dengan mudah menangkasnya dan membuat pedang tersebut terlepas dari genggamanku. Aku terjatuh ke tanah dengan pantat terlebih dahulu.
Dean berkacak pinggang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ayo bangun." Perintahnya. Kelihatannya dia juga sudah mulai lelah.
Andai dia tahu aku seribu kali lebih lelah daripada dia. Aku tetap terduduk di tanah. Menolak untuk melanjutkan semua urusan pedang konyol ini.
"Kaitley!"
"Apa?!"
"Bangun!"
"Tidak mau!"
"Bangun!!"
"Tidak!!"
Kami terus saling membentak sampai akhirnya Dean berhenti duluan dan menyerah. Ia ikut menghempaskan tubuhnya disampingku.
Angin sepoi-sepoi menghembuskan rambutku yang telah lepek oleh keringat. Rumput di sekitarku ikut tertiup angin. Ujung-ujungnya menggelitik bagian tangan dan kakiku yang tidak tertutup oleh kain pakaianku. Tidak ada satupun dari kami yang berbicara selama beberapa saat. Masing-masing dari kami menikmati hembusan angin sore dalam keheningan.
"Maaf." Kataku pada akhirnya. Memutus keheningan yang daritadi ada di sekitar kami.
Dean menegakkan tubuhnya sambil menatapku. "Untuk apa?"
Aku mengedikkan bahu. "Entahlah, untuk semuanya kurasa."
Dean terdiam selama beberapa saat.
"Tidak mau." Jawabnya dengan ketus pada akhirnya.
Aku terlonjak mendengar jawabannya.
"Apa?? Kenapa?" Desakku dengan tidak terima.
Dean melirikku sejenak lalu kembali mengarahkan pandangannya ke pemandangan di depan kami.
"Kau kan meminta maaf. Siapa yang bilang aku harus memberimu maaf? Memang ada peraturannya kalau seseorang meminta maaf, mereka harus dimaafkan?"
Aku megap-megap mendengar jawaban Dean.
"Kaitley, kau tidak boleh meminta maaf kalau kau tidak tahu apa yang ingin kau minta maafkan."
Bola mata Dean yang gelap menatapku dengan tajam. "Kau harus memaafkan dirimu sendiri sebelum kau meminta maaf pada orang lain. Kau harus berjuang untuk meraih maaf itu sebelum kau memintanya. Kau bahkan belum berusaha untuk mencarinya Kait, untuk apa kau minta maaf kalau begitu?"
Lelaki itu kemudian menyunggingkan senyum tertulus yang belum pernah kulihat sebelumnya. Rambut kemerahannya terterpa angin dan terlihat bercahaya dibawah sinar senja.
"Aku tahu pasti rasanya berat. Tapi itulah hidup Kaitley. Tidak peduli kau normal maupun tidak. Kalau kau ingin merasakan hidup, kau tidak bisa hanya merasakan kesenangan saja. Karena penderitaan itu juga bagian dari hidup. Justru penderitaan itulah yang akan membuat hidup terasa lebih berarti."
Tenggorokanku terasa sesak. Aku kehilangan kata-kata. Kualihkan pandanganku ke bawah. Bukan, bukan karena aku merasa malu. Tapi karena aku merasa sedih. Karena apa yang Dean katakan memang benar.
Sulit untuk diterima namun memang benar.
"Hei," panggil Dean. Ia menyentuh daguku dan mendorongnya keatas agar wajah kami saling berhadapan.
"Kau pasti bisa Kaitley. Never give up on yourself." Hiburnya.
Aku hanya tersenyum sambil mengangguk. Pikiranku menjadi agak tidak fokus saat bertatapan dengannya. Aku merasa agak tersesat di bawah pandangannya.
Tersesat ke arah yang lebih baik kuharap.
Apa yang kau pikirkan Kaitley? Snap out of it!
Aku melepaskan wajahku dari sentuhan Dean. Entah kenapa, jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Pipiku terasa hangat. Mungkin efek berlatih pedang selama berjam-jam mulai mengambil alih tubuhku.
Dean berdiri dari rerumputan dan membereskan pedang-pedang yang kami gunakan untuk berlatih. Saat kami berdua sudah akan berpisah untuk pergi ke asrama masing-masing, ia melambaikan tangannya kepadaku dan berkata dengan pelan.
"Mungkin nanti akan kumaafkan,"
****
Frau's Note:
Hai Guysss
Lama tidak berjumpa yaa wkwk. So, the winner of "pertanyaan asik-asik berhadiah" are
*drum rolls*
1. foodlovers14_
2. gemeinsch
3.
Kepada 3 orang beruntung ini boleh langsung tagih aja bonusnya lewat pm wkwkwk. Ok segitu aja deh bhay👋🏻👋🏻
-Fray the frying pan
(Wut is this)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro