Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. A Day With Dean (part 1)

Important author note di akhir chapter. Jangan lupa dibaca.

Recap:

Aku berdiri dari sofa sambil tersenyum lebar. Dust mendengus di dekatku. Tapi aku memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya.

Kuhampiri lelaki itu dengan rasa lega yang luar biasa.

"Dean! Apa yang kau lakukan disini?"

                               ****

Dean tidak menjawab pertanyaanku. Ia hanya menatapku dari atas sampai bawah dengan memasang ekspresi yang tidak bisa kuartikan. Lalu, setelah beberapa saat, ia memegang pergelangan tanganku dan menarikku ke arah bukaan gua.

"E–eh, Dean! Apa yang kau lakukan?" Aku menoleh ke belakang dan melihat wajah heran Gro dan Joe. Mereka lalu berdiri dengan cepat dari sofa ketika melihat Dust—yang sekarang telah berdiri di depanku dan Dean. Kedua lelaki itu saling bertatap-tatapan dalam diam. Keduanya menunjukkan ekspresi yang sengit—seperti hendak memperebutkan sesuatu.

"Kau tidak punya wewenang untuk membawanya keluar dari sini seenaknya," ucap Dust sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

"Maaf, memang kamu itu siapa? Ayahnya?" cemooh Dean. Aku mendongakkan kepalaku ke arahnya dengan kaget. 

Apa-apaan... Apa yang sebenarnya terjadi. Urgh...

"Bukan. Aku adalah ketua dari kelompok Must. Kelompoknya. Jadi aku punya wewenang untuk menahannya disini. Memang kau sendiri siapanya huh? Pacarnya??" balas Dust yang tidak mau kalah.

Pipiku terasa panas ketika mendengar kata-kata Dust. Dean pun meregangkan pegangannya pada tanganku ketika mendengar perkataan Dust. Mungkin ia pula baru sadar bahwa kelakuannya padaku, terlihat agak ganjil di depan Dust dan teman-temannya. Aku segera melepaskan tanganku dari pegangan Dean. Ia pun tidak memprotes saat menyadari tanganku sudah tidak ada di pegangannya.

Dean berdeham beberapa kali. Lalu ia mendekati Dust dan memasang senyum menantang.

"Uh, kampungan sekali sih kalian. Buat apa memperebutkan perempuan serabutan seperti dia?" celetuk sebuah suara konyol yang tidak lain adalah suara Joe dari belakang kami.

Aku memutar kedua bola mataku dengan sepenuh hati sampai mataku kelilipan.

Dean memutuskan untuk melanjutkan percekcokan tidak bergunanya dengan Dust.

"Lagipula, apa yang akan kalian lakukan padanya disini? Memberinya tes kesetiaan dengan menyuruhnya mencuri?" tanya Dean dengan pedas.

Dust terlihat sedikit mengkerut mendengar pertanyaan yang tidak sensitif dari Dean. Aku yang sekarang telah tahu kenyataan dibalik kelompok must yang selalu disalahartikan, memutuskan untuk membela Dust.

"Hey!" Aku mendorong bahu Dean. "Kau ini kan ketua dari salah satu kelompok hunter juga! Kau tidak seharusnya merendahkan kelompok lain!" kataku pada Dean.

Dean memandangiku dengan kaget. Mungkin ia tidak menyangka aku akan membela orang-orang yang baru aku kenal beberapa jam—tidak. Menit yang lalu. Aku buru-buru mendorong bahunya pergi dari bukaan gua itu sebelum ia melontarkan kata-kata pencetus perkelahian lain kepada Dust dan teman-temannya.

Aku menoleh ke belakang dan menatap Dust yang terbengong-bengong di depan pintu keluar.

"Dust! Aku akan segera kembali nanti. Atau mungkin besok. Sampai ketemu nanti!" seruku sambil terus mendorong Dean ke lorong gua.

"Hey! Aku belum selesai dengannya!"

"Oh sudahlah. Kau terlihat konyol. Ayo kita pergi saja dari sini." Bujukku sambil tetap mendorongnya untuk keluar dari gua. Sesampainya di luar, sinar keperakan dari bulan, menyinari padang rumput dan semak belukar di sekitar kami. Membuat lingkungan di sekitar kami terlihat lebih mistis.

"Astaga, kenapa matahari sudah tenggelam?" Tanyaku pada Dean dengan bingung.

Dean berjalan mendahuluiku dan merogoh-rogoh saku celananya untuk mengeluarkan beberapa koin.

"Makanya aku menyusulmu kesini. Kakakmu sangat mengkhawatirkanmu tahu. Ia kira, kau sudah dikorbankan kepada setan oleh kelompok must."

James... Aku yakin ia akan mengomeliku saat aku bertemu dengannya nanti. Ia memang mirip sekali dengan mom. Terkadang aku heran saat orang-orang bilang kelakuanku mirip mom.

"Ayo Kait, kita harus segera kembali ke gedung akademi." Kata Dean. Ia sekarang sedang menghitung jumlah nominal yang ada di koin itu.

"Apa yang kau lakukan? Mau memanggil taksi? Konyol sekali." Kataku sambil ikut mengamati koin yang sedang ia hitung.

"Tentu saja tidak. Aku akan menggunakan slider agar perjalanan kita lebih cepat." Ia tersenyum dengan puas saat menghitung koin yang terakhir. Kira-kira saat ini, ada 8 koin kecil berwarna emas di telapak tangannya. "Kau besok akan mulai berlatih combat denganku selama setengah hari. Lalu kau akan belajar di kelas bersama kelompokmu. Jadi kau harus mendapatkan istirahat yang cukup Kait."

"Heee? Combat? Aku kan sudah cukup menguasai pertarungan. Ajarkan saja aku mantra-mantra yang biasa kalian lakukan untuk membunuh demon. Dan demi jenggot gimbal Joe, apa itu slide?! "

Dean tertawa terbahak-bahak mendengar ucapanku. Ia lalu mengajakku berjalan ke salah satu semak-semak yang terletak beberapa meter dari gua.

"Konyol sekali kau. Kau tadi berhasil menghabisi perempuan itu karena emosimu. Bukan karena kemampuanmu Kaitley. Lagipula mengajarkanmu mantra itu bukan kewajibanku. Aku tidak mendapatkan upah yang cukup untuk menjadi instruktur pribadimu." Balasnya sambil menggeleng-gelengkan jari telunjuknya di depan mukaku. Ia bahkan tidak menjelaskan padaku tentang slide.

Aku menghempaskan jarinya dengan sedikit rasa malu karena telah dengan mudahnya menganggap diriku ini sudah mampu menjadi seorang hunter.

Sekarang, lelaki berambut gelap ini malah berjongkok di belakang semak-semak dan mulai menusukkan koin-koin emas itu ke tanah. Ia menancapkan koin-koin itu secara berdekatan untuk membentuk sebuah pola.

"Huh, aku tidak pernah memintamu menjadi instrukturku kok. Kenapa aku harus belajar combat denganmu sih? Kan kau juga murid. Bukan seorang guru disini." Aku menundukkan kepalaku untuk menonton Dean yang sedang menyusun koinnya membentuk pola segi lima.

"Ketua yang menyuruhku, untuk mengawasi dan mengajarkanmu khusus soal combat. Mungkin karena aku memang hunter yang paling hebat disini. Entahlah," katanya sambil mengedikkan bahunya dengan gestur yang arogan.

Ketika ia menancapkan koin terakhir, pola segi lima itu mengeluarkan sinar biru terang selama beberapa saat. Dan, sebelum aku sempat bertanya, sebuah bukaan terowongan—lagi-lagi, menunjukkan wujudnya dari dalam tanah di depan kami. Terowongan itu terlihat seperti sebuah serodotan dengan cahaya warna-warni yang berkedip-kedip di celah-celahnya. Sisa badan terowongan itu tertimbun oleh tanah.

Sekarang aku tahu kenapa Dean menyebutnya slide.

"Ayo. Kau duluan yang masuk." Kata Dean dengan santai. Koin-koin emas tadi sudah tidak ada di tempatnya. Sepertinya koin itu digunakan sebagai biaya masuk untuk bisa menggunakan fasilitas transportasi ini.

Aku menjorokkan tubuhku ke dalam terowongan—berusaha untuk melihat ujungnya.

"Sudahlah, tak usah banyak pikir. Terowongan itu panjang. Jadi tidak mungkin kau bisa melihat ujungnya. Tenang saja. Ini aman kok." Kata Dean sambil menepuk bahuku dengan memberikan senyuman ceria yang dimaksudkan untuk menenangkanku.

Justru senyumannya itu membuat keraguanku semakin besar. Dia kira aku lupa saat ia membujukku untuk memasuki portal terkutuk itu.

Aku kembali berdiri sambil merengut.
"Ta—"

Dean menghentikanku. "No but. Kau akan masuk kesitu sekarang juga." Perintahnya sambil mendorong bahuku agar aku terduduk di tanah.

"Regangkan kakimu. Dan cobalah untuk tenang. Anggaplah kau sedang ada di wahana waterboom."

Setelah aku menyiapkan posisiku untuk meluncur, Dean segera memposisikan dirinya untuk duduk tepat di belakangku. Agak tidak nyaman. Tapi...yah aku tidak terlalu keberatan...maksudku, aku kan tidak tahu slide ini akan sepanjang dan semengerikan apa.

Kau bisa berhenti menyengir sekarang.

Aku merasakan Dean mengangkat tangannya di belakangku. Dan detik selanjutnya, yang bisa kusaksikan hanyalah kelebatan warna-warni celah terowongan slide. Dean berteriak senang dibelakangku. Jelas-jelas menikmati semua ini.

Aku mendengar teriakan cempreng seorang gadis. Apakah itu teriakanku? Ah mungkin bukan. Aku yakin teriakanku pasti lebih keren dari itu. Dan sebenarnya ini lumayan menyenangkan.

"WHOAAAAA!!"

"Kaitley! Berhenti berteriak! Kau akan membuat telingaku lepas!" Seru Dean dari belakangku.

Ok. Jadi itu mungkin memang teriakanku.

Setelah beberapa detik penuh belokan curam dan jeritan, kami berhasil keluar dari slide dan mendarat dengan gaduh di halaman depan asrama.

"Aw..." Erangku dengan kesakitan saat merasakan tubuhku berbenturan dengan tanah. Dean juga sama sekali tidak membantu. Ia menimpa punggungku dengan tubuh bagian atasnya—yang tentu saja memperburuk kondisi tubuhku yang telah disakiti seharian ini.

Betapa malangnya diriku.

"Yaampun, maaf ya," katanya sambil mengunggingkan senyum bersalah saat melihatku tertimpa tubuhnya. Ia segera membantuku untuk berdiri.

"Kamu kira kamu itu apa hah? Bantal? Seenaknya saja menimpa tubuh orang," omelku sambil membersihkan bajuku dari tanah.

Dean tetap menggumamkan permintaan maaf yang tidak terdengar ikhlas, sambil menepuk tanah tiga kali. Dalam hitungan detik, terowongan itu sudah tenggelam ke dalam tanah dan menghilang tanpa jejak.

"Kita sudah sampai. Ayo. Biar kuantarkan kau ke kamar." Ajaknya.

"Apakah aku harus membayarmu atau melakukan sesuatu untuk servismu ini?" kataku sambil menyipitkan mata padanya dengan curiga.

Dean tersenyum kecil sambil menggeleng. "Tentu saja tidak. Ayo."

Kami lalu berjalan melintasi lorong kelas, berbelok ke taman, dan menyusuri kamar-kamar di asrama perempuan.

Selama di perjalanan ke kamarku, aku dan Dean berbincang-bincang tentang semua hal yang terjadi. Kami juga membicarakan James layaknya sekumpulan ibu-ibu yang menggosipkan orang. Saat pertama kali bertemu dengan Dean, aku kira dia adalah orang yang serius dan arogan. Namun sekarang, Dean terlihat begitu menyenangkan dan asik untuk diajak ngobrol. Mungkinkah sikap dinginnya itu hanya ia buat-buat? Tapi untuk apa?

"Kait,"

Aku mengerjapkan mataku dan memfokuskan diri lagi pada apa yang terjadi saat ini.

"Hmm?"

"Kita sudah sampai tau." Katanya sambil terkekeh. Telunjuknya diarahkan ke pintu kamarku.

"Eh, oh iya haha. Aku tidak sadar." Aku menggaruk kepalaku dan merogoh kunci kamarku dari saku celana dengan salah tingkah. Kenapa aku merasa agak gugup tiba-tiba...?

Saat pintuku sudah tidak terkunci, aku menekan pegangannya, lalu mendorong pintunya ke dalam. Di dalam ruangan, aku hanya dapat melihat kasur dan beberapa benda dengan samar-samar akibat lampunya  sudah dimatikan. Aku tersenyum pada Dean yang masih berdiri di sampingku.

"Ehem, terimakasih ya sudah mengantarkanku." Kataku sambil menyeringai. Yaampun, kenapa aku menyeringai??

Dean mengangguk. "Tentu."

Kami saling berhadap-hadapan sekarang. Aku sudah masuk ke dalam kamar dan masih memegang pegangan pintu. Sedangkan Dean tetap pada posisinya semula.

Kenapa dia tidak pergi pergi....

"Ehm, ok, sampai jumpa besok." Sahutku. Perlahan aku menutup pintu.

Aku menghembuskan napas lega. Untung saja perkataanku tidak membuat keadaan menjadi lebih canggung. Ketika pintuku sudah setengah tertutup, Dean mendadak memutuskan untuk membalas perkataanku.

"Tidak ada kecupan selamat tinggal?"

........

Wadefak asdjfjkl?!

Aku yakin ekspresi di wajahku sekarang terlihat begitu konyol sampai-sampai Dean pun menjadi salah tingkah, karena menyadari candaannya sudah terlalu jauh.

"Ehh..." Katanya dengan gugup. "A–aku hanya bercanda kok..."

"Tentu," jawabku. Sambil tetap tersenyum, terkekeh dan menyeringai seperti orang bodoh. "Tentu saja aku tahu itu, bodoh." Kataku sambil mengibaskan tanganku dan tertawa di depannya. Berusaha untuk menunjukkan perkataan konyolnya barusan, tidak membuatku ingin menjatuhkan diriku ke dalam lubang tak berdasar atau apapun. Tidak sama sekali.

Aku memasang wajah terbaikku dan kembali mendorong pintu.

"Sampai jumpa besok."

"Ya, sampai jumpa."

Pintunya telah berhasil ditutup. Aku segera mengunci pintunya dan tanpa berganti baju, aku langsung menjatuhkan badanku di atas kasur. Aku menatap langit-langit kamar yang gelap. Pikiranku terus mengulang kejadian yang terjadi hari ini. Dan kejadian bersama Dean.

Eh...memangnya ada apa dengan Dean...

Aku menggelengkan kepalaku. Sepertinya otakku memang sudah terlalu kebul dan perlu didinginkan. Baru saja aku menarik selimut ke kepalaku, sebuah suara memutuskan untuk memecah keheningan malam ini.

"Memangnya kau ini siapa sih? Anak 13 tahun yang baru saja dapat ciuman pertama? Konyol sekali."

Aku menoleh ke belakang. Tessa sedang berbaring di kasurnya sambil menatapku dengan pandangan sengit. Tentu saja, kenapa aku bisa lupa dengan keberadaannya?

"Seenaknya saja menggoda orang dengan senyumanmu itu. Itu tidak akan mempan pada Dean tau," omelnya sambil membalikkan badannya ke sisi lain. Gadis itu lalu menarik selimutnya sampai ke kepala—jelas-jelas tak ingin mendengar jawabanku atas pernyataannya soknya.

Aku memutuskan untuk tidak mengambil pusing dengannya dan segera menutup mataku agar aku tidak telat bangun besok.

What a day.

****

Glossary:
1. What a day: suatu ekspresi yang digunakan orang apabila dia mengalami hari yang begitu sial atau buruk. Bisa juga akibat ia mengalami hari yang penuh dengan kejadian yang tidak ia rencanakan akan terjadi.

Frau's note:
Heyo guys....
Frau payah banget ya dalam menulis adegan seperti ini. Lupakan saja kalian pernah baca ini lmao. Bahkan aku pun malu :')

ANYWAY, aku mau mengadakan "pertanyaan asik-asik berhadiah"
Jadi, kalian bisa milih salah satu hadiah (optional) berupa:
1. Vomment di cerita kalian,
2. Dedikasi di chapter selanjutnya,
3. Linenya frau (siapa juga yang mau) ga deng, kalian bisa dapet jalan pintas buat pesen minimalist cover di cover shop kenalanku.
4. VCD bajakan atau soft copy film terbaru hohoho (apalah ini akakak)

Pemenangnya ada 3 orang. Siap2 ya hoho🐵

1. Menurut kalian, Kaitley bakal belajar apa nanti pas dia di kelas bersama orang-orang must?

2. Menurut kalian, Dean bakal ngajarin Kaitley buat menggunakan senjata apa?

Komen aja yaa. Lumayan lho guys hahahaha

Ok deh segitu aja untuk sekarang.
Bye~~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro