10. Election Test (Part 1)
Recap:
Aku memijat jidatku saat benar-benar yakin bahwa perempuan ini memang benar-benar ada di hadapanku sekarang.
"Hai Oreo."
You've got to be kidding me.
****
Aku terbangun dari tidur tanpa mimpiku pagi ini, dalam keadaan yang sangat tidak menyenangkan. Sekujur tubuhku pegal-pegal dan kepalaku terasa agak pening.
Dan semua hal yang terjadi sampai saat ini juga, tidak membantuku untuk berpikir lebih positif tentang apa yang akan terjadi di tes pengelompokkan hari ini. Kenapa? Well, mungkin karena fakta bahwa 1) Aku menemukan sebuah lubang besar di dinding ruangan kerja ayahku dengan demon yang sedang berkeliaran di dalam rumahku, yang tentu saja langsung ingin membunuhku dan ibuku, 2) kakakku yang seharusnya sudah meninggal, tiba-tiba saja datang seenaknya dari antah-berantah. Dan ia membunuh demon di rumahku dengan begitu mudahnya, 3) Aku yang dibawa dengan paksa oleh kakakku—yang ternyata adalah seorang hunter, dan temannya—yang juga seorang hunter yang begitu arogan, ke dimensi lain—yang tentu saja keberadaannya baru kuketahui kemarin, 4) Tidak lupa juga kenyataan bahwa sekarang, aku resmi menjadi seorang siswa di akademi hunter. Jujur saja, ini fakta yang paling lucu diantara semuanya. Haha. Oh dan tentu saja, 5) Fakta orang yang akan menjadi teman sekamarku untuk... entah berapa tahun ke depan adalah musuh yang kubuat pertama kali saat sampai di akademi ini.
Oh, dan jangan lupa status ayahku yang sekarang dinyatakan menghilang. Ditambah keadaan ibuku yang sekarang tidak diketahui.
Benar-benar menakjubkan.
Aku segera meluruskan tubuh dan membereskan tempat tidurku setelah meratapi kehidupan menyedihkanku saat ini. Tanpa semangat, kuhampiri lemari baju di dekatku dan segera membukanya. Di depanku, terlihat dua pasang pakaian yang telah disediakan oleh Cara. Yang digantung di sebelah kiri adalah sebuah baju tidur berwarna abu-abu polos. Sedangkan yang di sebelah kanan yaitu sebuah kemeja lengan panjang berwarna putih bersih dengan rok rempel selutut berwarna hitam sebagai bawahan.
Kuambil pakaian yang ada di sebelah kanan. Setelah menyiapkan pakaian dalam dan perlengkapan mandi; yang disediakan oleh akademi ini pastinya, aku berjalan menuju pintu. Baru saja akan membukanya, aku mendengar suara dengkuran yang tidak lain adalah milik teman sekamarku yang baik hati dan ramah—yang dari kemarin tidak henti-hentinya memohon ke pengawas asrama kami untuk berganti kamar agar ia tidak harus sekamar denganku.
Dan seperti yang telah kuperkirakan, tentu saja pengawas itu menolak permohonan Tessa mentah-mentah. Akhirnya pada sisa hari itu, aku memutuskan untuk tidur dan melewatkan makan (lagi) daripada harus mendengarkan ocehan Tessa.
Aku mendekati perempuan berambut hitam yang tidur dengan posisi tengkurap itu dengan senyum pahit. Entah darimana, tiba-tiba saja aku mendapatkan ide cemerlang untuk menyembunyikan seragam penane kebanggaannya. Tapi, kemudian aku melihat jam dinding di atas pintu kamar kami.
Sial, sudah tidak ada waktu. Aku harus segera mandi dan bertemu dengan yang lainnya di lounge.
Akhirnya aku memutuskan untuk berbaik hati pada Tessa dengan hanya menyembunyikan sepatunya saja. Lagipula aku yakin jika ia orang yang penyabar dan memiliki otak yang cemerlang, ia akan dapat menemukan sepatu tercintanya di bawah kolong tempat tidurku. Setelah puas, aku segera keluar menuju kamar mandi di ujung lorong asrama perempuan sambil berharap semoga kamar mandinya tidak penuh karena, James bilang aku harus sudah ada di lounge pada pukul 07:30. Dan sekarang waktu menunjukkan pukul 07:00. Tapi aku tidak khawatir. Lagipula aku adalah salah dari gadis spesial yang bisa mandi hanya dalam waktu 5 menit. Sama sekali tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
****
"Kaitley! Darimana saja kau? Sekarang sudah jam setengah 9!!" bentak Dean saat melihatku berhenti terengah-engah di hadapannya dan James, dengan keadaan rambut yang masih basah kuyup lengkap dengan handuk basah yang tersampir di bahuku.
"Kan bukan salahku! Siapa yang akan menyangka bahwa kamar mandi di asrama perempuan hanya memiliki 3 bilik?" Aku duduk di samping James dengan wajah bersungut-sungut sambil berusaha untuk menyugar rambut gimbalku.
James yang lagi-lagi berperan sebagai penengah setiap kali aku dan Dean melakukan argumen, melakukan aksinya untuk menenangkan Dean dengan memasukkan roti tawar ke mulutnya. Ia lalu menyerahkan semangkuk bubur padaku—yang segera kuhabiskan dalam waktu 5 menit—wajar saja mengingat aku belum makan selama lebih dari sehari.
"Lagipula, kenapa kalian menyuruhku datang pagi-pagi sih? Murid-murid lain saja baru datang kok." Gerutuku sambil mencomot sebuah roti dari piring James.
"Hmm...tidak ada alasan sih. Hanya sebagai tindakan pencegahan saja." Gumam James yang sedang mengunyah sebuah muffin.
Dean ikut mengangguk-anggukkan kepalanya. "Benar. Liat saja buktinya. Disuruh datang jam setengah 8 saja kau tidak bisa. Bagaimana kalau kita suruh kau datang jam setengah 9?? Bisa-bisa kau baru sampai disini jam 12,"
Dengan kesal aku menatap lelaki berambut cokelat yang sedang memasang seringai mengejek itu. "Enak saja! Kau kira a—"
"Sudah! Cepat habiskan makananmu!" Tegur James pada kami berdua.
****
Beberapa saat kemudian, Cara menghampiri sofa tempat kami duduk dengan penampilan yang lebih rapi dari biasanya. Rambut keperakannya yang biasanya tergerai dengan bebas di punggungnya sekarang disanggul tinggi. Ia mengucapkan selamat pagi pada kami dengan ceria sebelum ikut bergabung untuk makan bersama kami.
"Sebentar lagi ketua akan melakukan pembukaan," imbuhnya setelah selesai makan. Ia lalu berdiri dan melanjutkan perkataannya. "Kaitley, sebaiknya kau segera bergabung dengan para murid baru itu di ujung ruangan. Nanti setelah ketua selesai melakukan pembukaan, para murid akan digiring keluar ke halaman untuk dites."
Kegelisahan mulai melanda diriku. Aku tidak pernah tahu ataupun mendengar apapun tentang detail dan proses dari tes ini. Dan aku yakin, Cara tidak akan mau menceritakan proses tesnya padaku. Karena dia dan Dean akan menjadi salah satu panitia tes pengelompokkan murid baru. Tentu saja aku bisa bertanya pada James. Tapi, jawabannya pasti tidak akan jauh dari "Tenang saja, kau pasti bisa." Atau "Mudah kok. Tidak usah khawatir, Kait."
Sosok berjubah ungu kemudian muncul dari pintu seberang, didampingi oleh seseorang lelaki dengan kacamata bulat yang besar—yang segera kukenali sebagai ketua dan asistennya yang membawa pesan kemarin. Ketua berjalan ke tengah ruangan lounge dengan penuh wibawa.
Murid-murid yang berada di dekatnya segera memberi salam atau membungkukkan badannya saat ia lewat. Ruangan lounge yang tadinya ramai seketika menjadi sunyi senyap saat ketua melipat tangannya dan berdiri di depan api unggun. Ia berdeham, lalu dengan suara lantang, ketua mengucapkan kalimat pembukaan yang isinya terlalu membosankan untuk telingaku.
Jadi intinya, setelah selesai pembukaan, aku yang sudah berbaris bersama murid-murid baru lainnya, segera dibimbing oleh perwakilan panitia dari masing-masing kelompok hunter. Kelompok penane diwakili oleh Dean, kelompok rohaline oleh Cara, dan kelompok must oleh seorang perempuan berkulit hitam bertato yang memiliki tampang judes. Ia mengabsen nama murid baru satu-satu dengan tatapan benci seolah-olah kami telah membuat hidupnya menjadi lebih menderita atau apa.
Murid-murid baru kemudian dibagi menjadi tiga kelompok. Untungnya, kelompokku dibimbing oleh Dean. Setelah Dean memperkenalkan diri, ia menggiring kami ke halaman belakang akademi yang luas.
"Tes yang pertama adalah tes potensi dan bakat," Dean membuka tas yang dibawanya dan mengeluarkan setumpuk naskah soal yang disegel. "Soalnya terdiri dari 2 bagian. Tes hitungan dasar dan teori. Totalnya ada 300 butir soal. Kalian tidak akan mengerjakan semua soal ini sendirian. Bentuk kelompok yang terdiri dari dua orang dan kalian bisa saling membagi tugas." Jelasnya.
Saat Dean membagikan naskah soal kepadaku, aku mencegatnya. "Kau serius? Bahkan tes di sekolahku lebih modern dari ini,"
Dean hanya tersenyum mendengar pertanyaanku. "Sudah kerjakan saja dulu soalnya. Dan percayalah tes ini beda dengan tes yang ada di pikiranmu." Sebelum aku sempat berbicara, ia sudah berlalu pergi.
Aku melongok ke kiri dan ke kanan. Berusaha mencari murid baru yang belum mendapat pasangan, ketika tiba-tiba seseorang memutuskan untuk menepuk bahuku—lebih seperti memukul bahuku kalau boleh jujur. Aku membalikkan tubuhku untuk berhadap-hadapan dengan seorang perempuan tinggi berkerudung hitam yang sedang menawarkan senyum paling cemerlangnya padaku. Ia menjabat tanganku dengan bersemangat lalu melepaskannya, dan membungkuk di hadapanku. Ia melakukan semua ini dalam satu tarikan napas. Yang artinya cepat. Cepat sekali.
"KAU PASTI KAITLEY SUMMER YANG BERASAL DARI KOTA X DI DIMENSI LAIN ITU YA?? SENANG BERTEMU DENGANMU!" sapanya dengan terlalu bersemangat.
Ya tuhan...
Aku menarik pergelangan tangannya dan menyeretnya ke sisi halaman yang sepi.
"Maaf, tapi bisakah kau tidak dengan begitu sengajanya mengucapkan segala fakta tentangku saat baru berkenalan denganku? Itu agak tidak nyaman." Bisikku sambil berusaha untuk tidak memelototi gadis ceria ini di depanku.
"Oh! Maafkan aku! Aku sering tidak sadar ketika aku berbicara terlalu keras atau terlalu cepat hahaha. Oh iya namaku Zahra Amala Al Farizi. Tapi orang-orang biasa memanggilku Zahra/Mala. Tapi orangtuaku memanggilku Al karena kata mereka aku kelihatan lebih keren jika dipanggil Al aku juga tidak mengerti sih maksud mereka apa haha. Oh iya, aku lihat kau sudah memegang soalnya. Kebetulan sekali! Kita bisa mengerjakan soal ini bersama-sama. Oh ini akan sangat menyenangkan!" ocehnya dengan panjang lebar.
Aku melihat perempuan berkerudung di hadapanku ini, seperti saat aku melihat burung dodo terakhir di kebun binatang khusus hewan langka di Kota X.
Ia melemparkan kain kerudung yang jatuh ke dadanya kembali ke bahu kirinya. Lalu tanpa meminta izinku, ia merampas naskah soal dari tanganku dan segera merobek segelnya dengan pensil yang telah disediakan.
"Mm... Kapan kau akan menutup mulutmu? Aku khawatir air liurmu bisa keluar dan jatuh ke rumput jika kau terus melongo seperti itu. Maafkan aku jika aku terdengar terlalu kasar. Tapi itu memang kenyataannya." Katanya sambil menatapku dengan senyum khawatir.
Mendengar perkataannya, aku segera mengatupkan mulutku dan mengisyaratkannya untuk membuka naskah soal di hadapan kami. Zahra kemudian mendudukkan bokongnya di atas tanah berumput halaman ini. Aku mengikuti gerakannya tanpa berbicara ataupun melongo. Kami lalu membuka halaman naskah soal di hadapan kami. Kutatap soal itu untuk beberapa saat tanpa berkedip.
Yang benar saja...
Aku tidak bisa mengerjakan satupun soal yang disajikan di halaman itu.
"Apa ini?? Apa ini?!" seruku tidak percaya pada Zahra yang sibuk mengotret sesuatu di kertas soal.
"Apa maksudmu Kaitley? Aku yakin kamu adalah anak yang pintar. Dan ini baru hitungan dasar kok. Ayolah kau bisa berhenti berpura-pura bodoh sekarang," gurau Zahra sambil menyilang abjad pilihan di naskah soal itu. Aku kembali menatap soal itu.
Aku tidak yakin apa yang perlu dihitung dari pertanyaan "Apa rahasia demon tipe A ketika kau menusuk dadanya?"
Soal itu bahkan tidak memiliki arti yang jelas. Dengan kata lain, soal itu mustahil untuk kukerjakan.
Namun, aku ingat segala hal yang terjadi padaku dari kemarin memang tidak masuk akal. Jadi, sebaiknya aku segera membiasakan diri saja. Aku melirik Zahra yang telah mengerjakan 20 soal di sebelahku. Sebuah ide cemerlang muncul di kepalaku.
"Zahra, bagaimana kalau kau mengerjakan soal hitungan dan aku yang mengerjakan soal teorinya?" Tawarku sambil tersenyum manis.
Zahra mengalihkan pandangannya dari naskah soal. "Tapi, soal hitungannya kan ada 200 soal. Apakah kau yakin kau ingin mengerjakan 100 soal sisanya? Apakah itu tidak terlalu banyak?"
Aku menatap perempuan di depanku sambil berusaha untuk menahan tawa.
"Oh tenanglah, itu tidak akan menjadi masalah kok," lalu dengan perlahan aku mengambil naskah soal itu dan membaginya menjadi dua. Ketika aku membuka soal teori, aku dapat merasakan diriku menghembuskan napas lega. Setidaknya soal ini lebih masuk akal daripada soal hitungan tadi. Kebanyakan berkaitan dengan hal-hal yang harus dilakukan jika sedang melawan demon.
Tidak terasa kami sudah mengerjakan soal selama 2 jam. Matahari mulai menyinari kepala-kepala murid baru yang berhamparan di halaman dengan terik. Aku meregangkan tubuhku saat selesai menjawab soal pilihan terakhir dengan logika buntuku. Baru saja hendak memeriksa soalnya, naskah soal itu langsung menutup rapat dengan sendirinya dan tak bisa kubuka lagi. Aku melihat ke sekeliling dan menemukan para murid yang keheranan melihat naskah soal mereka yang juga tidak bisa dibuka.
"Ya, waktunya sudah habis. Sekarang untuk tes yang kedua. Combat test." Dean muncul dengan tiba-tiba sambil mengambil semua naskah soal dengan menjentikkan tangannya. Dalam beberapa detik semua naskah soal telah tersusun rapih di tangannya.
Aku bisa merasakan ketegangan semua murid saat mendengar ucapan Dean. Aku sendiri merasakan keringat di dahi dan kedua ketiakku. Hal yang selalu terjadi saat aku merasa benar-benar gugup.
"Ini tes yang terakhir. Disini, kau akan melawan sesama murid baru dengan urutan acak. Alat apapun yang menyerupai senjata tidak diperbolehkan dalam tes ini. Hukuman untuk pelanggaran ini adalah didiskualifikasi dari tes dan selanjutnya kau akan dikeluarkan dari akademi ini. Karena dalam tes ini, kalian bisa menemukan kekuatan kalian yang sebenarnya ketika kalian dihadapkan pada keadaan darurat. Pemenangnya ditentukan dari murid yang dapat mengeluarkan kekuatannya lebih dulu. Semoga berhasil." Jelas Dean yang kemudian mengambil papan nama di depannya dan segera membacakan dua murid yang akan bertarung.
"Doni Black dan Lila Skyler harap maju ke depan." Panggil Dean sambil menatap kerumunan murid yang mulai saling berbisik. Dari kerumunan di sebelah kiri, keluar seorang laki-laki berambut pirang dengan tampang arogan. Ia berdiri di sebelah Dean sambil melipat tangan berototnya di dada. Kemudian dari sebelahku seorang perempuan bertubuh kecil keluar dari kerumunan untuk berdiri di sebelah Dean dengan gemetar. Ia terus menerus memegang kepang rambutnya yang panjang. Menandakan kegugupan yang sedang ia rasakan sekarang, cukup berat baginya.
"Tentu saja Doni yang akan menang." Gumam murid lelaki di belakangku. Gumaman setuju milik murid lainnya ikut menyertainya. "Maksudku, lihat saja gadis itu! Ia bahkan tidak bisa berdiri dengan tegak!" ejek murid perempuan di pojok dengan suara agak keras. Terdengar cekikikan dari murid lainnya. Aku menatap Lila yang sekarang terlihat lebih kecil dari sebelumnya. Berharap semoga saja ia bisa selamat dari pertarungan ini.
Doni dan Lila saling berhadap-hadapan sambil memasang kuda-kuda mereka, dengan Dean yang menengahi mereka sambil memegang peluit—ya, peluit. Satu-satunya benda yang sekarang terlihat wajar di mataku. Semua murid membentuk lingkaran besar untuk menyaksikan dua murid yang akan bertarung ini.
PRITTT
Begitu Dean membunyikan peluitnya, Doni langsung berlari ke arah Lila yang bahkan belum menyadari bahwa pertarungan sudah dimulai. Lelaki itu mengepalkan tangannya, dan menohokkan tinjunya ke perut Lila. Lila terlempar ke tanah dengan keras. Ia meringkukkan tubuh mungilnya di tanah sambil merintih kesakitan. Sebagian siswa bersorak sorai sambil menyerukan nama Doni. Yang lainnya hanya menatap tubuh Lila dengan pandangan simpatik.
Untungnya Lila tidak menyerah begitu saja. Ia segera bangun dari tanah sambil memegangi perutnya. Doni yang melihat lawannya masih sanggup berdiri, langsung menyerang lagi dengan kaki kanannya—yang berhasil dihindari oleh Lila. Lila kemudian menjatuhkan tubuhnya le tanah dan menyandung kaki Doni dengan kakinya—yang membuat lelaki itu terjatuh ke tanah.
Lila segera berdiri dari tanah dan mundur untuk menjaga jarak dengan Doni. Ia menyiapkan kuda-kudanya lagi. Kali ini raut wajahnya terlihat lebih tenang dari pada sebelumnya.
"Ayo Doni! Apa yang kau lakukan! Dasar payah!" seru para murid laki-laki di dekatnya. Doni yang mulai terlihat kesal segera bangun dan merapihkan bajunya dari debu.
"Beginner's luck huh? Itu akan menjadi keberuntunganmu yang terakhir." Geram Doni. Tanpa ampun, ia langsung meluncurkan tinju secara bertubi-tubi ke Lila. Perempuan itu berhasil menghindari tinjunya beberapa kali. Namun, saat Doni berhasil mengalihkan perhatiannya dengan mengarahkan tinju palsu padanya, Lila mendapatkan tendangan telak dari Doni di perutnya lagi. Setelah perempuan itu terjatuh ke tanah, Doni tidak menunggunya untuk bangkit.
Sebaliknya ia menendang tubuh perempuan itu berkali-kali dengan keras. Terdengar gumaman "Ouch" dan "Uuhh..." dari para murid. Di sampingku, Zahra meremas tanganku dengan keras. Ia berbisik ke telingaku,
"Kait...laki-laki itu sadis sekali. Kenapa tidak ada yang menghentikannya?" Ia lalu meringis mendengar teriakan Lila saat Doni menendangnya untuk entah keberapa kalinya.
Aku menggeleng. Mataku bertatapan dengan mata gelap Dean yang sedang memperhatikan pertarungan di hadapannya. Aku memelototinya sambil mengarahkan pandanganku pada Lila. Mengisyaratkannya untuk segera menghentikan pertarungan ini. Karena pemenang dari pertarungan ini sudah jelas. Tapi Dean menggelengkan kepalanya dan segera mengalihkan perhatiannya ke pertarungan lagi.
Aku melihat tubuh dan muka Lila yang memar-memar. Cairan berwarna merah mengalir dari hidung dan mulut perempuan berkepang itu. Rupanya Doni juga telah menendang mukanya.
Manusia kurang ajar!
Aku mengepalkan kedua telapak tanganku di samping tubuh dengan keras. Berharap semoga pertarungan ini cepat berhenti.
Tidak disangka, saat Doni hendak meninju tubuh Lila dengan tangannya, Lila segera berguling ke sisi lain. Menyebabkan tangan Doni membentur tanah dengan keras. Lila bangun dari tanah dengan gemetar. Ia mengelap darah yang mengalir dari hidungnya dan memasang kuda-kudanya dengan mode defense sekarang. Matanya berkilat-kilat dengan sesuatu yang tidak aku lihat sebelumnya. Kemauan. Keberanian.
Doni mengepalkan tinjunya sambil meraung layaknya orang barbar. Lila berhasil menahan tinju Doni dengan tangan kirinya dan segera meluncurkan tangan kanannya untuk menonjok Doni—yang berhasil Doni tahan pula. Mereka berdua bertahan di posisi itu selama beberapa detik. Baik Doni maupun Lila tidak mau menyerah. Kaki Doni yang tidak menggunakan alas kaki mulai meraba-raba tanah berumput di sekitarnya.
Setelah mengamatinya beberapa saat aku baru melihat kakinya sedang berusaha untuk meraih pisau kecil yang jatuh dari saku celananya tadi. Tanpa sadar aku telah maju melewati kerumunan murid dan berteriak,
"HENTIKAN DIA! Dia melanggar peraturan! Ia punya pisau!"
Tapi terlambat, jemari kaki Doni telah berhasil mencapit gagang pisau itu dan menusukkannya ke paha Lila. Lila yang teralihkan, melepaskan pertahanannya untuk melihat keadaan pahanya yang tertancap pisau.
Para murid berteriak ketika melihat Doni mengepalkan kedua tangannya untuk memukul kepala Lila saat tiba-tiba, muncul gelombang air dari tangan Lila yang sedang tidak memegang pahanya—yang berhasil membuat Doni terlempar sejauh setengah meter dari tempatnya berpijak tadi.
Keadaan menjadi sangat hening. Tidak ada yang berani bergerak. Semua murid terlihat begitu terkejut melihat gelombang air yang keluar dari tangan Lila. Setelah dipastikan tangan Lila tidak lagi mengeluarkan air sedikitpun, semua orang mengalihkan pandangan mereka ke tempat Doni terkapar dalam keadaan basah kuyup. Doni tidak berusaha untuk bangun. Ia hanya merintih kesakitan dengan menyedihkan di tanah.
Detik berikutnya terdengar peluit dan sorakan gembira dari para murid. Zahra memelukku dengan erat sambil berloncat-loncat. Aku hanya bisa tertawa melihat tingkah konyolnya. Dean tersenyum kepadaku saat ia membantu Lila untuk mengurus luka tusuk di pahanya. Tatapan i-told-you-so nya membuatku tertawa lagi. Aku menghampiri Lila yang sedang diselamati oleh para murid lainnya. Senyuman Lila melebar saat melihatku.
"Kau, terimakasih ya, sudah mau memperingatkan." Katanya dengan nada ceria.
Aku menggeleng. "Ah, tidak. Lagipula peringatanku telat hahaha."
"Tetap saja, kau bersedia untuk bertindak dengan melaporkannya di depan semua orang ketika melihat ketidakadilan. Jadi terima saja ucapan terimakasihku." Balasnya dengan yakin. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum senang. Dean berdiri di sampingku sambil meneriakkan pengumuman.
"Pemenang dari pertarungan ini adalah Lila Skyler! Ia berhasil mengeluarkan kemampuannya untuk mengendalikan elemen air," Dean mengambil jubah berwarna merah dan menyerahkannya ke Lila. "Selamat datang di penane, Lila."
Sekelompok murid berjubah merah keluar dari dalam gedung untuk menghampiri Lila dan mengangkutnya sambil bersorak sorai. Mereka segera pergi dari halaman. Aku hanya bisa melihat kerumunan yang menjauh itu dengan rasa Iri.
Semoga saja aku bisa masuk penane juga...
Dehaman Dean selanjutnya, membuat kericuhan para murid mereda. Dean mulai membaca papan yang dari tadi ia pegang, lalu ia mengumumkan nama petarung selanjutnya. Aku yakin jantungku sempat berhenti saat mendengar kata yang selanjutnya ia keluarkan.
"Kaitley Summer,"
****
Frau's note:
Silent reader, tolong sekali lagi jangan silent :')
Guys sekedar pengumuman. Aku bakal ngikutin Accidentally ini di wattys 2016. Cuma coba-coba aja sih. Hahahaaaaa...😂
Dan mau sekalian promosi juga, written in action kampanye udah hadir di Indonesia. Buat kalian yang ingin karya kalian dikenal ayo follow akunnya ya! WIAIndonesia
Btw, akhirnya bisa nulis adegan action lagi haha. Oh iya, part ini dibagi dua karena terlalu kepanjangan. Chapter 10 part 2 nya akan keluar dalam waktu dekat kok hahaha.
Ok segini dulu aja. Stay tuned buat part 2 nya. Bye!
-frau
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro