End of Life
Koga berteriak. Terus berteriak sampai-sampai rasa perih terasa di tenggorokannya.
Ini tidak seperti biasanya. Efek yang diberikan minuman itu lebih menyakitkan dibanding milik Synth. Kepalanya seperti mau pecah dan jantungnya seakan mau meledak karena memompa terlalu cepat.
Pandangannya sudah tak bisa lagi melihat dengan jelas. Semua benda yang ada di sekitar jadi tidak jelas bentuknya. Berbagai warna tercampur aduk dan bercak hitam kerap muncul menghalangi penglihatan Koga.
"Lu ... luar biasa," rintih Koga. Tubuhnya kini telah bersandar di tembok dekat pintu kamarnya. Lemas, lemah, tak berdaya. Saraf-saraf di tubuhnya seperti mati rasa. Koga tak bisa merasakan anggota tubuhnya sendiri. Seakan-akan hanya tinggal jiwa dan pikirannya saja yang tersisa.
Ugh! Harus sampai berapa lama Koga seperti ini? Kalau begini terus akal sehatnya tidak akan bisa bertahan lama. Tubuhnya juga. Efek samping ini sungguh menyiksa dirinya.
"Aaargghh!!!!" Koga mencakar kuat-kuat kulit kepalanya. Menjambak surai hitam untuk menahan sakit yang semakin menjadi-jadi.
Sudah cukup. Ia tidak kuat lagi. Ini sudah lima menit dan dirinya sudah merasakan siksaan bagai di neraka.
Sang pemuda menutup matanya yang lelah. Warna hitam menutupi mata seluruhnya. Atmosfer di sekeliling Koga menjadi lebih ringan, dan gravitasi layaknya menghilang dari tempatnya.
Kala Koga telah kehilangan kesadaran sepenuhnya, cahaya hijau muncul tiba-tiba. Mengelilingi si pemuda berkulit putih, hingga menyelemutinya. Setelah Koga hampir tidak terlihat karena cahaya misterius itu, pancaran sinar sekonyong-konyong muncul hingga Koga bisa melihat warna putih memenuhi pandangannya.
****
Koga membuka mata. Lagi-lagi, sinar mentari dan suara binatanglah yang berhasil membangunkannya. Hanya saja, ada yang sedikit berubah saat pemuda itu mengedarkan manik hitamnya. "Apa aku sudah kembali?" tanyanya kemudian.
Tempat ini agak sedikit berbeda dari sebelumnya. Walau ia yakin ini adalah L'imagine, tapi hutan yang hanya mendapat sangat sedikit sinar matahari, dengan sulur-sulur panjang di setiap pohon disertai ranting berduri panjang, membuat Koga tak yakin inilah tempat yang biasa dikunjunginya.
Apa ada sesuatu yang terjadi? Tempat ini berubah menjadi lebih kelam dan menyeramkan. Seperti hutan kegelapan. Hutan yang berhantu. Atau, jangan-jangan terjadi sesuatu pada L'elfe!?
Koga segera bangkit dari posisinya. Kakinya berlari cepat menyusuri jalanan lembab yang hampir membuat langkahnya sedikit berat. Pemuda itu terus meneriaki nama sang gadis peri, dengan mata yang berusaha melihat jalanan yang bisa saja membuatnya jatuh terselungkup saking gelapnya.
"L'elfe!" Sekali lagi Koga berteriak. Kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri barangkali ada sosok sang gadis di sekitar sini.
Sial! Hutan ini seakan tidak ada habisnya! Perasaan kemarin ia bisa dengan cepatnya mencapai pohon tempatnya dan L'elfe biasa menghabiskan waktu. Tapi, kenapa kali ini Koga tak kunjung menemukan ujung dari rimbunan pepohonan ini?
Setelah bermenit-menit lamanya ia berlari, akhirnya Koga dapat melihat cahaya di antara dua pohon yang memberi jalan ke tempat terbuka. Senyum lebar langsung tersungging di bibir si pemuda. L'elfe pasti ada di sana, di bawah pohon yang sama, menunggunya! Pasti!
Napas pendek terus keluar dari mulut si pemuda yang semakin mempercepat larinya. Ingin segera menemui seseorang di balik cahaya menyilaukan di ujung sana. Namun, apa yang ia lihat setelah keluar dari hutan benar-benar membuat kedua matanya membulat sempurna.
Kakinya berhenti melangkah. Tempat ini memang tujuannya, pohon beringin itu menjadi pertanda bahwa ia telah sampai di tempat favoritnya. Namun, ada yang aneh pada penglihatannya. Dunia terasa abu-abu--suram. Sekilas ia melihat tempat ini menjadi sesuatu yang lain. Pohon itu terlihat jadi menyeramkan, bunga dan rumput hijau yang indah mengering dengan tanah kehitaman di bawahnya.
Koga menggelengkan kepala. Ia pikir ini hanya efek dari minuman yang ditenggaknya. Halusinasi dari alkohol tinggi, dan racikan dari bahan-bahan yang tidak dikenalinya--ya, ini pasti karena minuman dari Eve tersebut.
Ia berjalan perlahan melintasi tanah berumput itu menuju pohon besar di tengah sana. Tidak peduli dengan keadaan sekitar yang berbeda, ia tetap fokus pada sesuatu yang berdiri menampakkan punggung bersayap lebar miliknya.
Ya, itu dia. Sosok yang dicarinya sejak tadi. Dengan lantang ia pun memanggil namanya. Mengambil alih perhatian sang wanita agar mau menoleh dan menampakkan paras indah di hadapannya. Saat usahanya berhasil, Koga bisa melihat raut keterkejutan L'elfe yang begitu kentara. "Tuan Koga? Kenapa Anda bisa kembali ke sini?"
"Kenapa kau bertanya seperti itu?" katanya balik bertanya. "Tentu saja aku akan kembali--dan akan selalu kembali ke L'imagine." Pemuda itu melangkah lebih dekat dan meraih kedua tangan sang peri. "Dengar, L'elfe. Dunia ini--tempat ajaib di luar akal ini--sudah menjadi tempatku untuk berpulang. Hanya di sini aku bisa merasakan yang namanya hidup tanpa beban. Hidup bebas, tenang, dan damai. Bagaimana bisa aku meninggalkannya begitu saja?"
"Terlebih lagi, kau adalah alasan terbesarku untuk tetap singgah di L'imagine, L'elfe. Aku tidak ingin berpisah. Aku mau terus bersamamu. Aku mencintaimu, L'elfe. Sekarang, dan selamanya!" Ucapan Koga seperti mantra yang mengubah atmosfer seketika.
Mata bermanik hijau cerah terbuka lebar. Berbinar terang yang membuatnya terlihat semakin indah. "Koga, kau ... serius?"
Pemuda itu mengangguk mantap. "Aku serius. Bawa aku bersamamu, L'elfe."
Senyum canggung dan mata berkaca-kaca berubah menjadi seringai lebar yang memamerkan sepasang taring, dengan mata runcing yang berkilat tajam dalam sedetik kemudian. "Oh ... tentu saja! Saya akan menjadikan Tuan sebagai manusia paling bahagia di dunia ini!" Suara yang keluar menenggelamkan Koga jauh ke dalam ruang hampa yang begitu menenangkan. Di pandangannya, sosok peri hijau itu tersenyum begitu lebar. Wajah bersinar dengan rona merah yang semakin terlihat, dan tatapan tulus penuh kebahagiaan membuat Koga makin terlena.
Ia seperti melayang.
Tidak. Dia memang dibawa terbang. Tangan lentik sang peri menempel di rahang Koga. Mengangkatnya agar manik hitam kosong itu dapat sejajar dengan wajah yang melayang lebih tinggi di atasnya. Kerlap-kerlip kehijauan memenuhi sekeliling mereka. Sayap lebar yang semula begitu indah, kini berwarna lebih gelap dengan ujung yang sobek-sobek. Gaun L'elfe pun juga berganti sama lusuhnya.
Peri hijau indah penjaga Hutan Fantasi telah tiada, berganti sosok menyeramkan yang siap menyantap mangsa di hadapan.
Aneh? Tidak. Pada dasarnya kecantikan itu tidak pernah ada. Dan keindahan tempat ini pun hanyalah kebohongan. Semua demi menjerat manusia-manusia bodoh semacam Koga yang menginginkan sebuah kebebasan--kebahagiaan sementara. Mangsa paling sedap semenjak ia diciptakan oleh Synth.
"Mimpi indah, Tuan Koga."
***
BRAK!
Pria itu menumpahkan semua emosinya dalam satu hantaman ke atas meja. Wajah masam, napas memburu, tangannya pun mengepal kuat sampai-sampai buku jarinya memutih.
Sial sial sial sial! Lagi. Dia gagal lagi. Niat Synth membantu orang, berujung nyawa yang melayang kembali. Dan dia sedikit pun tidak dapat mencegahnya. Tahu-tahu dadanya seperti diremas, ditikam, dan dihancurkan berkeping-keping.
Bukan ... bukan begini seharusnya!
Synth menciptakan L'elfe untuk membantu manusia meringankan masalah mereka. Syukur-syukur peri dan L'imagine bisa benar-benar menghilangkannya.
Namun, semakin waktu berlalu, L'elfe semakin tidak terkendali. Sosok yang mulanya hanya sebagai ilusi dan sekadar boneka Synth, mulai memiliki kehendak sendiri. Aura negatif sudah tidak mampu memenuhi nafsunya. Peri itu semakin liar sampai Synth kehilangan hampir seluruh kendali dua hal tersebut.
"Gagal lagi?" Pria berpakaian serba putih berucap tiba-tiba. Entah karena Synth yang terlalu larut dalam emosi, atau memang orang itu yang pandai menyembunyikan eksistensinya, tahu-tahu Eve sudah duduk di hadapan sang bartender.
Lelaki yang diajak bicara tidak langsung menjawab. Ia sibuk menyajikan suguhan untuk tamu tidak terduga dahulu. Setelah secangkir minuman berwarna biru-ungu dihidangkan, ia baru berkata, "Ini salah saya."
"Tidak. Ini salah manusia itu," sahut Eve cepat. "Aku sudah memperingatkan. Kau juga sudah memperingatkan. Peri hijaumu itu sudah beda persoalan. Jadi, jangan salahkan dirimu, Synth.
"Manusia memang begitu, bukan? Tamak, tidak bisa mengontrol nafsu, dan sering lari daripada menyelesaikan masalah. Kenapa kau seperti baru pertama kali mengenal mereka?"
Memang. Apa yang dia, Eve, dan yang rekan-rekannya lakukan pun sebetulnya untuk menyeleksi makhluk rendahan tersebut. Namun, di sisi lain Synth ingin belajar menerima baik dan buruk para manusia. Itulah alasan kenapa ia mendirikan bar Fee Verte ini.
"Masih banyak--terlalu banyak manusia di Bumi ini. Jangan terlalu pikirkan soal anak itu."
"Anda sendiri? Apa urusan Anda dengan gadis itu sudah selesai, Eve?" tanya Synth seraya menenangkan diri.
Lelaki bangsawan itu menenggak minumanya sedikit, lantas menjawab, "Kakak beradik yang tidak ada bedanya." Eve mendengus, sambil terkekeh pelan. "Bedanya dia lebih dulu datang ke toko parfumku dan memakai everclear di salah satu produknya, sebelum si kakak datang ke barmu dan meminum absinthe-nya."
Bar kembali senyap. Dua orang tadi kini tenggelam dalam nuansa tengah malam Eguisheim. Sepi, tenteram, menenangkan. Synth mencoba melupakan Koga dan apa yang telah terjadi padanya. Menjadi jati dirinya yang sebenarnya.
Pembasmi manusia.
"Kuharap barmu semakin ramai besok, ya, Synth."
"Anda juga, Eve."
***
END
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro