Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Three [AT]

"Agrrhhh ...."

Maher tidak peduli persepsi apa yang akan terbentuk dari pengunjung resto Diba di bawah sana setelah mendengar teriakannya. Diba juga pasti tidak akan bertanya mengapa di balik pintu ruangan pojok itu. Sialnya, dua jam perjalanan Maher tidak membuahkan jawaban yang ia mau. Maher masih menggenggam erat palang pagar di balkon. Memungkang segala perhatian ke bawah sana. Sungguh, sejak satu tahun lalu Maher semakin tidak mengerti dengan lagak Diba—seolah menghindarinya.

"Di mana Diba?" Reino datang pasti karena jeritan itu.

"Apa kamu tahu sesuatu, Rein?"

"Tahu? Maksudmu, tahu apa?"

Tumit Maher berputar seratus delapan puluh derajat. Berbalik menghadap pria berkulit terang itu. Dengan gerak-gerik yang sama, Reino mendekati Maher.

"Aku ngga tahu kenapa semenjak malam tahun baru itu Diba seperti--"

"Sengaja menjauhiku," sambung Maher. "Rein, aku harus pulang. Lusa kalau ada waktu luang aku bakal ke sini. Aku harus tahu alasan apa yang buat Diba berubah. Kamu jaga dia."

"Hati-hati."

Maher menjadi pria sibuk dua tahun belakangan. Itu sebabnya ia tidak bisa berlama-lama di sini. Seperti malam itu, Reino dan Diba harus menunggunya dua jam lamanya. Tentang malam itu yang masih menyimpan teka-teki delimatik.

***

Aku selalu melihat perawan tua itu duduk menyendiri di atas pohon bakau. Ia seolah-olah menepi dari hiruk-pikuk dunia. Pernah beberapa kali aku melihatnya sedang menangis. Aneh rasanya wanita sejelita dia rela menunggu seseorang yang katanya akan kembali. Sudah 2 tahun lamanya sejak aku berganti domisili dan selama itulah aku selalu melihatnya di sana–di bibir pantai ketika pulang atau pergi bekerja. Miris!

Yang membuatku salut pada wanita itu ialah ia mampu menjadi dua kepribadian dalam satu raga. Setelah ayahnya pensiun satu setengah tahun yang lalu, ia mengambil alih tanggung jawab perusahaan. Itu bukti bahwa wanita itu adalah sosok yang cerdas. Namun sayang, ia masih saja tertipu daya di balik tudung dunia nyata yang seolah-olah memberinya sejumput harapan. Ia punya tempat duduk khusus di sana–di akar pohon bakau yang paling rimbun. Akar itu tumbuh keluar dan melengkung ke samping. Ada sebuah ayunan kayu juga di sana yang kelihatan telah usang. Ngeri-ngeri gurih. Atau ia seperti itu karena ada hantu pantai yang bersemayam di tubuhnya? Uhh ....

Ia akan terus beringsut di bibir pantai hingga matahari mulai meninggi, lalu kembali lagi saat mentari nyaris ditelan bumi. Ia mendekap angin pantai dan ombak yang bergemuruh seraya menatap lekat kapal-kapal laut yang lalu lalang dari pelayaran manapun. Ketika terompet berderum, dengan tandas ia beranjak dan mengejar kerumunan orang-orang yang turun dari kapal yang bersandar. Orang-orang akan menebuknya jijik. Tidak jarang ia tersungkur dan kembali dengan baju yang basah dan kotor. Bahkan ada yang mengatakan ia reinkarnasi Hayati. Aku 'tak mengerti dengannya, tetapi ia cantik. Rambut jagungnya selalu kupandangi acapkali ia memberi instruksi kepada kami–para pegawainya.

Yang selalu ia lakukan ialah datang dengan senandung bahagia, tetapi kembali dengan isak tangis menyayat lara.

Ok teman-teman, sampai situ dulu, ya story tellingnya. Bakal aku lanjutin setelah yang satu ini.

Penyiar radio itu menghilang dan digantikan dengan lagu pop Indonesia terbaru dari Andmesh Kamelang. Penyiar itu pandai memilih lagu. Bait demi bait lagu itu berhasil mencapai titik terendah dari tubuh Diba. Teduh air mata pun takbisa ia tahan. Meletup di ujung-ujung mata. Lagu itu ... entah lebih mendukung cerita yang dibacakan atau diri Diba sendiri. Setelah satu tahun ia tidak bertemu dengan Maher dan rasanya biasa saja. Namun, entah mengapa hatinya terpaut begitu saja pada pria itu setelah hari ini. Lalu, entah apa juga yang membuatnya justru menangis.

Tidak sampai menunggu lagu itu selesai, Diba mematikan radio. Menyekat air mata untuk segera keluar. Setengah jam yang lalu ia tahu bahwa Maher telah meninggalkan restonya.

"Diba," sambut Reino yang ternyata masih di balkon. Menyusul. Diba membalasnya dengan tatapan penuh tanya. Namun, semua juga bukan sepenuhnya salah Reino. Pasti ada iming-iming yang membuat Reino melanggar janji.

"Kamu ngga apa-apa, 'kan? Hm, maaf soal ini."

Mereka berjalan bersisian. Menuruni tangga dan kembali ke meja yang semula–tadi pagi.

"Tidak selamanya kita mau memegang janji, Rein. Selagi ada pilihan yang menguntungkan, ngga ada salahnya melanggar, begitu kah?" sindirnya.

"Dib, aku 'kan udah minta maaf. Lagian ngga ada masalah 'kan di antara kalian?"

Diba menghela napas, "Ok, aku maafin."

"Gitu dong. Emangnya kenapa sih, Dib kamu ngga bolehin Maher tahu kamu di mana?"

Diba yang hendak ikut duduk, mengurungkan niat. Ia mengalihkan perhatian dengan menarik kanebo dan mulai mengelap meja.

"Bukan apa-apa."

"Bohong."

Tlililitttt ....

"Usstt! Ada telepon."

"As-Salamu'alaikum?"

"Wa'alaikumus-salam, Diba."

"Ada apa Intan?"

"Lagi sibuk, ya, Bu Owner? Aku ganggu kamu, ya, Dib?"

"Enggak, sahabatku ngga apa akan pernah ganggu aku kok. Btw, kenapa?"

"Surprise!"

"Maksudnya?" eja Diba.

"Aku dan Deyl mau main ke sana. Boleh, 'kan?"

Diba tertawa kecil, "Ya Allah, aku pikir ada apa. Aku pikir kalian lagi di belakang aku nih."

Terdengar dua jenis suara tawa dari seberang sana. Pasti mereka sedang duduk di kedai kopi favorit, atau di pondok-pondok pantai, atau mungkin lagi nongkrong di kamar Intan.

"Jadi boleh ngga?"

"Ya boleh lah, ngga usah minta izin dulu. Jawabannya pasti boleh. Kapan mau ke sini?"

"Besok," jawab Intan dan Deyl bersamaan.

"Semangat banget." Diba tertawa lepas. "Sampainya siang or sore?"

"Sore, sore."

"Aku tunggu. Awas ngga jadi datang."

"Siap, Bu Bos, daahh."

"Sahabat-sahabat dari kampungmu mau ke sini? Penuh dong resto. Kenapa mendadak ramai yang ke sini, ya."

Diba membenarkan kata-kata Reino dalam hati. Cukup lama ia menatap ponsel yang ia geletakkan di meja.

"Kebetulan aja kali."

"Jujur, aku ngerasa ngga tenang. Tiba-tiba aja. Semoga semua akan baik-baik aja, ya, Dib."

"Thanks for your pray."

Semakin siang pengunjung semakin ramai. Di setiap meja ada potongan kerja kecil dan pulpen. Akan banyak pengunjung yang pulang dengan melipat kertas-kertas itu dan memasukkannya ke dalam kotak saran. Ada yang memuji makanan, ada yang memuji minuman, bahkan banyak juga yang sengaja menuliskan kalimat gombal untuk pelayan dan Diba sendiri.

"Dib, lihat itu si bencong udah datang ternyata. Lihat sini aja dia." Reino tertawa geli melihat pria yang memakai wike itu. Ia tersipu malu karena Reino melihatnya.

"Sudah begini jangan kamu ganggu, Rein. Nanti dia baper gimana?"

"Dia mau keluar tuh. Udah bayar, lipat kertas, dan masukkan." Reino mengeja tingkah laku pria banci itu. "Hati-hati di jalan, ya, Syinta. Awas cowok-cowok nakal banyak di jalanan," goda Reino.

"Hust! Rein," tegur Diba.

Pria jantina itu menghentakkan kaki manja. Pundaknya bergoyang centil. Segera enyah. Astaga!

"Astaga!"

"Kenapa?!"

"Kinen mau ke sini juga."

Tling!!!

Dibaa ...
Aku lupa ada acara syukuran di rumah besok malem. Lusa aku ke sana, ya :*
B/Intankuh❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro