Prolog-er's
Remang-remang sinar lampu cafe, ditambah senandung lagu 90-an dari dua musisi daerah itu seakan kolaborasi indah dengan alam sekitar. Hujan sedari tadi pagi menyisakan udara dingin dan rinai yang 'tak kunjung reda. Milkshare chocolate yang sengaja dipesan hangat oleh Diba mendadak lebih cepat dingin. Enggan untuk menghabiskan. Ia baru menenggaknya sekali tegukan.
Diba menikmati malam yang tidak biasanya dingin. Tepat pukul 00.00 nanti, bilangan terbelakang dari tahun Gregorian akan berubah. Sementara di kursi lain, semeja dengannya, seorang pria berkulit putih semakin mengeratkan hoodie-nya ke tubuh. Sudah lima batang rokok ia isap hanya untuk mencari kehangatan. Ia tidak akan berhenti sampai Diba melarangnya.
Sejak pukul sembilan Diba dan Reino sudah berada di cafe itu. Menikmati view Kota Teluk Betung di bawah sana yang tampak seperti puluhan kunang-kunang tengah hinggap. Gunung dan laut di dekat cafe terlihat hitam, menyatu dengan kelamnya malam. Diba memang penyabar, tetapi kalau menunggu lebih dari satu jam ....
Hufft ....
Diba menguap, lantas berdengkus cukup keras. Menyandarkan punggung. Terdengar decit suara dari kursi bambu tempat ia duduk.
"Masih lama dia datang, Rein? Sudah satu jam setengah kita nungguin dia."
Wajah kantuk Diba terlihat jelas saat langit tiba-tiba benderang. Kilat berakar memercikkan garis putih, tanpa suara gemuruh. Semakin larut pengunjung cafe semakin ramai. Tidak untuk seseorang yang menjadi alasan mereka berada di tempat ini.
"As-salamu'alaikum," celetuk seorang pria berjaket kasual, lengkap dengan logo. Mengibasi rambut. Ia duduk di kursi yang tersedia. Masih semeja dengan Diba dan Reino.
"Ini nih, dia ngga pernah on time emang. Sok sibuk sejak out dari kampus," kilah Reino.
"Maaf, maaf, macet. Lagian dari Lampung Utara ke Bandar Lampung jauh, lho. Lampung akhir-akhir ini keseringan hujan, ya? Jalan licin tadi, so, aku harus pelan-pelan."
Masih belum ada respon. Diba dan Reino pendengar budiman. Mereka seolah-olah sepakat untuk diam. Maher tahu itu tanggapan buruk mereka.
"Oke, maaf. Aku tahu itu cuma alasan aja."
"Lagian ngapain ke sini?"
"Ya ketemu kamu, lha," jawab Maher cekatan. Diba langsung menutup rapat kedua bibirnya. Reino cengengesan.
"Mba, lemon tea hangatnya satu, ya," pekiknya kepada pelayan cafe yang kebetulan lewat.
"Jadi, kenapa ajak ketemuan?"
"Sebentar, ada sesuatu." Maher melepas jaket. Mengeluarkan hand bouquet bunga gerbera kuning dan putih dari dalam tas. Astaga, kelopak bunganya ada yang lepas.
"Bunga Daisy untuk Diba." Maher memberikan buket itu kepada Diba. "Maaf, bunganya ada yang lepas," sesalnya sambil tertawa ringan.
"Kamu belum jawab pertanyaan Reino," tagih Diba.
"Sabar dulu, ambil nih."
Maher memperbaiki posisi duduknya. Sekilas meregangkan kerah kemeja. Berdehem. Ia siap memulai monolognya. Sebuah pengakuan yang justru menjadi jarak antaranya dan Diba.
"Ayolah, aku udah ngantuk. Dari tadi nungguin kamu cuma begini."
"Sabar dong, lagi atur pernapasan nih. Hm ... Diba," panggilnya begitu pelan, "aku--"
"Permisi, pesanannya, Mas."
"Baik, baik, terima kasih, Mba."
Untuk mulai bicara, Maher butuh setengah dari seluruh energinya. Mengapa pelayan cafe itu enak saja main potong jalan. Lagi-lagi Maher berdehem 'tak karuan. Musisi berbaju couple dengan temannya itu memainkan lagu lain untuk yang kesekian kali.
"Diba," untuk kedua kalinya, "kamu pernah baca buku 'Pram, Manusia' atau ... 'Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck' dan nonton cerita versi filmnya? Atau--"
Maher menghentikan kata-katanya lagi. Tidak bisa menyembunyikan sebegitu gugupnya ia malam ini. Reino diam-diam menarik sebatang rokok dari bungkusnya. Sementara Diba khusyuk memperhatikan setiap garis wajah Maher dan pertanyaan itu?
Pertanyaan apa ini. Tercipta garis kerut di dahi mulus Diba. Matanya memicing, tanda malas bergelut. Untuk ini kah ia harus menunggu Maher nyaris dua jam lamanya? Tidak penting!
"Ada yang mengatakan, 'jangan tanyakan mengapa, saat seseorang mencintaimu'."
Suasana semakin ribut. Orang-orang riang gembira menyambut pergantian tahun. Berbeda dengan atmosfer di antara tiga insan yang duduk paling pojokan lantai bawah, sesak. Kapasitas udara mengendap dan sukar dihirup ringan. Tepatnya setelah Maher mengambil alih pembicaraan. Tiba-tiba saja.
"Jadi, saat aku bicara kalau Maher mencintai Diba, tolong jangan ditanya kenapa. Aku butuh waktu lama untuk bicara malam ini."
Perkataan Maher seperti puzzle. Namun, Diba bukannya balita yang tidak bisa mengerti dengan baik perkataan Maher. Diba menahan napas sebelum memilih beranjak. Lalu, mengeluarkannya sambil membuka pelan kelopak mata. Hand bag di atas meja, ia tarik setelah mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu.
"Terima kasih untuk bunganya, tapi maaf, aku harus pergi. As-salamu'alaikum." Berlalu. Diba meninggalkan Reino dan Maher tanpa menoleh saat dipanggil.
"Kejar dong, Her!" bentak Reino.
"Dia butuh waktu," balas Maher. Ada sedu yang sebenarnya menyayat atma Maher. Terlebih-lebih reaksi Diba setelah mengetahui isi hatinya. "Antar dia pulang, Reino. Pastikan dia sampai di kos dengan selamat."
"Aneh lu!"
_____
Kenalan dulu deh 😂
Untuk prolog-er's nge-feel ngga?
Sampai up jam segini, ngga biasanya dengan kapasitas mataku:(
Semoga kalian syuka, dah itu aja dulu huhu ❤️
See yuu next part:)
Daabay
1'1'21
Dumai
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro