Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

One [AT]

Diba beberapa hari ini harus tidur di hotel karena lantai kedua-rumahnya, yang menyatu dengan resto mungilnya sedang direnovasi. Menurut kontraktor bahan bangunan yang menelepon kemarin, kemungkinan pukul dua malam mereka baru selesai berkemas. Targetnya empat hari penuh untuk memperbaiki bagian bangunan yang akan lebih baik diganti. Resto terpaksa ditutup. Tidak masalah demi berganti cover. Bangunan yang disulap menjadi resto mini ini sempat disewa Diba tiga bulan saat pertama kali launching. Namun, begitu mengajukan pinjaman ke Bank Syariah Madani dengan akad mudharabah, Diba langsung memutuskan untuk membeli bangunan dua lantai itu. Menjadi seorang owner tidak mudah, dan Diba membuktikan bahwa ia layak. Restonya sudah berdiri 13 bulan lamanya. Ia baru meluncurkan menu baru dan membuka promo besar-besaran di bulan kelahiran Resto DR Syariah kemarin.

Setelah bersiap dan membungkus baju kotor ke dalam kantung plastik, Diba bergegas turun. Sudah sedikit terlambat untuk kembali ke rumah. Gedung dua lantai tempatnya bersembunyi untuk sementara waktu, pikirnya. Entah sampai kapan.

Tlililitttt ....

"Ya? As-salamu'alaikum." Gawai ia jepit dengan pundak.

"Wa'alaikumus-salam. Selamat pagi, Dibaaaa."

"Ya Allah," celetuk Diba. Spontan ia beringsut di atas kasur. Gawai ia jauhkan. Mengelus dada dan telinga. Tidak bisa Kinen untuk tidak memekik saat menelepon.

"Diba?" Cukup berdehem bagi Diba. "Lagi apa?"

"Ini mau balik ke resto. By the way, resto aku udah selesai direnov."

"Sukses ya, Bund di rantau."

"Alhamdulillah. Kamu gimana, udah dapet ngga kerjaan di bank?"

"Udah lah ngga usah bahas itu lagi, Dib."

"Lho, kenapa?"

"Wawancara terakhir HDR-nya bicara begini, 'Kalau mau diterima bekerja di bank ini harusnya kamu wisuda tepat waktu. Dilihat dari CV kamu sejarah prestasi biasa saja. Untuk pengalaman organisasi juga lebih baik saat sekolah dari pada saat kuliah. Tidak ada riwayat sekolah yang mengarah ke perbankan juga'." Kinen berdengkus kasar. Sesal. Ia menjelaskan dengan lantunan tangan kiri yang dramatis. Menggelayut. Lalu kembali melanjutkan kata-katanya, "Gitu. Kesal banget aku."

Diba terkekeh tipis. "Dib, Dib-" Kinen menahan tawa Diba.

"Iya?"

"Mau sampai kapan sembunyi dari dia? Hampir tiap hari dia nanyain kamu belakangan ini. Kasihan tau!"

"Intinya kamu misscomunication aja sama dia, Inen."

"Lagian kamu kenapa sih? Alasan kamu itu ngga logis, Dib."

"Aku hanya menghindari kemungkinan masalah daripada menyelesaikan tanpa tahu bagaimana."

"Terserah deh," kilah Kinen. Baginya Diba keras kepala dan sensitif untuk permasalahan yang satu ini. "Oh ya, aku mau ke sana, boleh ngga?"

"Boleh dong."

"Si ganteng Reino masih di sana?"

"Masih. Dia ngabisin uang orang tuanya. Aku udah suruh cari kerja yang cocok buat dia, tapi dianya malah senang foya-foya. Kadang ikutan kerja di resto juga."

"Aku mau ketemu dia juga kalau ke sana."

"Ya udah dateng," balas Diba meyakinkan. "Aku jalan dulu, Inen. Kirim salam buat om dan ibu, ya. As-salamu'alaikum. Dah."

Setelah memangil taksi yang berderet di halaman hotel dengan jemari yang diayun, Diba langsung menuju resto. Cukup lama bergeming. Pikiran tertuju kepada perbincangan singkatnya dengan Kinen. Sebelum akhirnya notifikasi ponsel pintar mengejutkannya. Diba memeriksa. Temannya yang di kota asal ngetag di Instagrem.

Tiga gadis Lampung Tengah yang saling merangkul tersenyum manis itu tampak bahagia. View gunung anak Krakatau di Selat Sunda. Ketiganya memakai ootd dengan style yang sama; mulai dari celana, tunik, pashmina, sepatu, hingga topi kupluk. Hanya beda warna. Adalah Diba, Bintan, dan Deyl. Foto itu diambil saat musim liburan kuliah semester lima. Ya, tiga tahun lebih lalu. Captionnya semakin membuat hati Diba ngilu. Ia berdengkus pelan seraya menyebut nama Allah dalam hati. Enggan menyumbang komentar atau bahkan dua kali ketukan untuk foto itu. Takada pilihan lain selain menekan tombol off. Memasukkan gawai ke dalam hand bag. Kini, fokus ke arah jalanan yang ramai dari jendela sisi kirinya.

***

Hari yang sama seperti hari-hari yang lalu. Tidak ada masalah terbesar bagi Diba melainkan tetap bersembunyi dari seseorang yang lebih tekun mencarinya belakang. Kaki jenjang Diba melangkah mendekati resto berlogo DR Syariah itu. Berhenti sejenak. Menyapu bagian depan resto dan mencoba tetap tersenyum. Tampilannya lebih menarik dengan warna cokelat mendominasi.

Lebih baik aku fokus mikirin kamu.

"Ya Allah, ini bunga kenapa pada rusak. Apa ada hama di sini?" Beberapa tanaman hias yang berjejeran di halaman depan resto tampak pucat. Dedaunannya tumbuh mengecil dan keriting. "Harus telepon Reino, nih. Jelek banget taman aku."

Tidak ada jawaban. Diba sudah dapat menduga pria yang beda agama dengannya itu pasti masih menjadi korban gravitasi kasur sepagi ini. Ia memilih masuk saja. Mungkin lebih baik menggunakan jasa orang lain.

"Astrid, tolong kamu telepon Ebo. Tanaman depan banyak yang rusak. Kali aja dia tahu penyebabnya supaya bisa diperbaiki segera."

"Ebo baru saja antar kopi dan susu. Dia nunggu di lantai atas-tempat pertemuan biasa."

"Oh ... ok."

Diba melanjutkan langkah menyisir anak tangga. Ia meletakkan koper dan kantung baju kotor terlebih dahulu ke dalam kamar. Kemudian menyusul Ebo yang katanya sudah menunggu di ruang tamu.

"As-Salamu'alaikum. Lho, ngga ada minumnya? Tunggu deh aku bawakan dulu, Eeb." Diba tidak jadi duduk.

"Ngga usah, Dib. Gue bentar aja di sini. Duduk, duduk dulu." Ebo si badan tabun dan centil itu baru saja mengibas rambut cepaknya. Diba mengernyit. "Gue ada kunjungan ke salah satu peternakan di Metro tiga harian dan mungkin bisa lebih. Tergantung urusannya cepat selesai atau ngga. Salah satu sapi perah gue ada yang lemes mulu dari kemarin. Udah gue putusin bakal beli sapi perah baru."

"Udah diperiksa sama dokter hewan?"

"Pagi ini dokternya baru bisa datang. Siang ini gue perginya." Diba mangut-mangut. "Ya, pokoknya gitu aja deh. Gue ngga bisa anter langsung susu dan biji kopi seperti biasanya, ya?"

"Iya, ngga papa, Eb."

"Ya udah gue pulang--"

"Eb, liatin tamanan aku dong. Daunnya banyak yang keriting. Itu kenapa, ya?"

"Di mana?" Diba menyusul Ebo yang sudah jalan berbalik. Mereka menuruni tangga bersisian.

"Di depan. Sebelumnya ngga ada hama di sini, tapi bener deh jelek banget daunnya." Diba langsung menuju salah satu pot bunga. "Tuh, lihat. Kenapa, ya, bisa gini, Eb?"

"Gue ngga terlalu ngerti sih sama masalah taneman begini. Tapi gue bisa panggilin temen gue yang kerja sama gue di perkebunan, gimana?" Diba berpikir dan sedikit.... "Dia sarjana argo." Dengan tandas Diba mengangguk.

Ebo memeriksa beberapa pot lainnya. Meski dia tidak paham mengenai tanaman, tetapi mungkin ia bisa sekadar menebak mengapa tanaman-tanaman ini menjadi selayu ini.

"Benih kopi kami tahun lalu begini juga nih bentuknya." Ia kembali mendekati Diba di pintu resto. "Lu tenang aja, Dib, temen gue jago."

"Hati-hati, Eeb."

"Senang berbisnis dengan Anda." Diba terkekeh tipis. Ebo tidak akan pernah lupa mengatakan kalimat itu setiap kali mengantarkan susu dan biji kopi. Diba tersenyum dan sedikit melambaikan tangan. Diba melirik sepintas tanaman malang itu sebelum masuk. Ia mendekati Astrid yang sedang menakar biji-biji kopi. Duduk di salah satu kursi di balik meja saji.

"Mau kopi?" tawar Astrid. Diba menggeleng. "Susu?" Jawaban tetap sama. "Ok, aku lanjut kerja."

Engsel pintu masuk berderit. Bukannya sosok yang hendak masuk yang dipandang Diba, ia justru menoleh ke arah jam dinding raksasa di pojokan resto. Seolah-olah dapat menerka siapa tamu yang beradat datang pukul sembilan begini. Menjadi pembeli pertama satu jam sebelum resto resmi dibuka. Pria jakun itu melangkah mendekat. Wajahnya masih kusut. Ada lipatan selimut di pelipisnya. Jangan-jangan ini anak belum mandi. Tersadar dari tidur dan langsung ke sini.

"Kenapa nelpon aku tadi? Gara-gara kamu aku jadi buru-buru."

Diba merogoh saku celananya. Menepuk pelan jidat jenong. Tertawa tanpa bersuara. "Hp aku di kamar."

"Kopi dong, Strid."

"Ngga, bunga-bunga di depan daunnya pada keriting. Jadi, aku tadi mau nanya itu."

"Jadi sekarang udah?"

"Lagi nunggu orang yang paham. Nanti dia yang meriksa."

Reino meng-ooh panjang sambil meraih secangkir kopi panas yang disodorkan Astrid kepadanya. Meniup permukaan kopi dan menyeruput sedikit demi sedikit. Seperti biasa, kopinya nikmat.

Dumai,16'1'20
Salam sahabat:)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro