Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

AT [Two]

"Tidak hanya hama yang berpengaruh pada kesehatan tanaman, Mbak. Cuaca yang cepat berubah-ubah juga bisa merusak tanaman. Beberapa minggu cuaca memang sedang ekstrim 'kan?"

Seorang pria berumur sekitar tiga puluhan itu menolak untuk diajak masuk saat pekerjaannya sudah selesai. Ia tampak terburu-buru. Diba menatap lamat-lamat pelipisnya dengan keringat menganak sungai. Ia menyekanya dan kembali sibuk menyusun alat-alat. Lututnya sedikit bercak kehitaman karena tanah dari tanaman-tanaman Diba.

"Oh begitu, ya, Kang."

"Ya sudah, saya harus pergi sekarang, Mbak. As-Salamu'alaikum." Berlalu begitu saja.

"Tapi, Kang ... ngga minum dulu?" Pria itu menidakkan. "Bayarannya?"

"Coba tanya ke Ebo untuk pembayarannya. Permisi." Ia izin undur diri bersamaan dengan motor Genio yang sudah mulai memutar. Memasuki ruas jalan dan berlahan hilang.

"Aku bahkan ngga tahu apa yang dia lakukan sama bunga-bungaku ini."

Diba masuk ke dalam resto dan taklupa memutar kertas gantung di balik pintu dari closed menjadi come here. Ia kembali duduk bersama dengan Reino dan Astrid di bagian dapur saji.

"Udah?"

"Udah. Rein, kamu ngga kepikiran buka usaha semacam pembudidayaan tanaman apa gitu. Ya biar ijazah pertanian kamu berguna. Ngga nganggur di kos."

"Bisa aja kamu kerja sama sama Reino kalau dia benar-benar mau buka kebun," timpal Astrid.

"Setuju!" decit Diba dengan petikan jarinya.

"Aku izin dulu, ada pelanggan," undur Astrid.

"Kamu tahu 'kan, Dib, aku ngga bisa cari kerja."

"Aku ngga nyuruh kamu cari kerja, tapi buka lapangan pekerjaan. Lagian ortu kamu kaya 'kan, nah kamu bisa minta modal dari mereka. Jangan cuma ngamburin duit ortu aja."

"Aku pusing." Reino mengubrak-abrik rambutnya yang kusut. "Kemarin kamu nyaranin aku investasi uang aja. Baru bulan kemarin."

"Ya keduanya bagus, 'kan?"

"Gini–"

Tlililitttt ....

Alis kanan Diba mendaki karena dering gawai Reino yang berhasil memecah kegaduhan. Entah mengapa nada itu tiba-tiba terdengar berirama misteri. Reino menarik ponsel pintar dengan tandas dari saku celana. Diliriknya nama yang tertera di layar depan. Pias wajahnya mendadak belingsatan. Kedua ujung alis mata Diba nyaris menyatu di pangkal hidung karena ekspresi Reino.

"Siapa? Kok panik gitu?" Diba menyandarkan punggung ke kursi seraya berkata, "Santai aja kali. Udah punya pacar kamu?" tanya Diba melegakan atmosfer di antara keduanya.

"Nomor ngga dikenal," tipu Reino sambil cengar-cengir.

"Oh ya?"

Mendadak kedua manik cokelat bening Reino terpampang lebar. Hal itu memaksa hati dan pikiran Diba untuk berbalik badan. Dengan kecepatan yang sama kedua tangan bengis Reino menahan Diba untuk tetap menatap ke arahnya. Durja Diba dilanda kebingungan. Diba menepis tangan Reino dengan kasar.

"Kamu kenapa sih? Tiba-tiba aneh." Diba menyeruput kopinya.

"Dib, Diba," panggil Reino sedikit membisik.

"Apa?"

"Maafin aku," katanya lebih pelan.

"Apa?" Diba tidak mendengar perkataan Reino dengan jelas.

"Maafin aku." Lebih halus.

"Hah?"

"Maafin aku."

"Diba." Terdengar suara seorang laki-laki memanggil Diba. Suara itu berasal dari balik punggungnya. Sementara Reino mendehem sambil menyembunyikan wajah di balik telapak tangan kirinya.

Diba merasakan dadanya sedikit sesak. Jalur pernapasan sedikit terhambat, tetapi tidak macet. Ia masih bisa mengontrol diri dengan baik. Diba kelihatan dapat menebak siapa yang kini hadir di antaranya dan Reino. Prasangka itu didukung dengan ekspresi Reino yang mendadak berubah. Diba tidak langsung menoleh. Ia justru mendehem sambil menusuk dalam bola mata Reino dengan cara gaib.

"Kenapa kamu kasih tahu di mana aku, Rein?"

"Hah? Oh, itu ... hm–"

"Aku udah bilang ke kamu jangan beberkan lokasi aku di mana 'kan, Rein? Kamu lupa?" Nada bicara Diba satu oktaf lebih tinggi.

"Aku, dia, tapi Dib, aku–"

"Aku ngga bisa lagi percaya sama kamu, Rein. Jawab aku, kenapa kamu kasih alamat ini ke dia?" Naik satu oktaf lagi. Seisi resto ada yang menatap ke arah Diba dan ada yang acuh takacuh. Sementara Reino tanya bisa melipat kata di balik bibir hitamnya. "Jawab, Rein!"

"Aku yang maksa Reino, Dib. Maaf kalau kamu ngga suka."

"Aku memang tidak suka." Diba beranjak dari kursinya. "Aku harus naik, ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Silakan pesan makanan dan minuman yang kamu mau kepada salah satu pramusaji di sini. As-Salamu'alaikum."

"Diba, tunggu dulu." Sosok pria jakun itu kini berdiri tepat di depan Diba. Napas Diba terdengar berderu-deru. Ada emosi dan perasaan ingin marah. Entahlah, pada siapa dia pantasnya meluahkan semua ini. Bebannya selama ini semakin menikam.

Diba serong ke kanan dan menaiki tangga menuju lantai dua. Pria itu ... Maher. Ia mengikuti Diba hingga ke atas. Sementara, Reino bergeming taktahu harus berbuat apa.

"Diba, ok, aku bakal pergi, tapi kumohon ... sepuluh menit saja. Kumohon bicara lah denganku."

Tubuh Diba seketika lemas. Aliran darah mendadak seperti mengalir ke ujung-ujung tumit. Ia takingin berbalik arah, tetapi lidahnya keluh untuk bicara tidak. Kali ini Diba ingin menghindar, tetapi takingin berontak. Ia hanya taksiap untuk bertemu dengan Maher.

Maher mendekat dan berdiri bersisian dengan Diba yang mengutu. Tersadar dengan kehadiran Maher di sampingnya, Diba mendekati balkon lantai dua. Berdiri tanpa memulai bicara. Maher berdiri dengan jarak satu meter dari Diba. Kelihatan canggung.

"Kamu tahu mengapa aku masih mencarimu hingga detik ini." Maher berdengkus. Ia sebatas meringankan beban yang tidak tampak, tetapi sesuatu yang lama tidak menemukan jawaban karena referensi menabur pasir di atas jejaknya. Adalah Diba. Setelah memaksa dengan berbagai janji, akhirnya Reino memberikan alamat Diba secara diam-diam kepada Maher. Sebuah Longines Heritage 1945 berhasil didapatkan Reino dari Maher. Nuansa klasik dengan body bentuk retro, lingkaran yang cembung, dan terbuat dari tembaga. Bentuk tali jam tangan yang terbuat dari kulit tua juga mendefinisikan sempurnanya fisik dari jam yang dikirim Maher kemarin tepat setelah mendapatkan bocoran alamat resto Diba.

Jeda cukup lama. "Aku minta waktu 10 menit dari kamu untuk mendengarkan jawaban itu."

"Pertanyaan apa?" tanya Diba.

"Mengapa kamu menghindar dari aku? Ok kalau kamu tidak menyukaiku dan mungkin membenciku, tapi tolong alasannya, Dib."

"Seperti yang pernah kamu katakan jangan tanya kenapa dengan perasaanmu dan seperti itu jugalah denganku."

"Kamu menghindar dariku, Dib."

"Tidak, aku tidak–"

"Kamu tahu apa maksudku dan kamu juga tahu apa yang aku inginkan dari penjelasanmu. Kamu menyembunyikan sesuatu."

"Aku tidak menyembunyikan apapun, Maher!"

"Ada, jangan bohong. Aku kenal kamu sejak lama, Dib."

"Aku–"

"Please ...."

"10 menit habis."

"Tidak."

"Aku harus kembali bekerja. Permisi, as-salamu'alaikum."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro