Epilog
Perihal hati memang tidak mudah untuk disembuhkan. Membutuhkan waktu yang lama untuk benar-benar bisa sembuh dengan total. Beberapa orang yang tidak punya belas kasihan akan memilih untuk mencari pelarian agar luka di hatinya segera sembuh. Atau sebagiannya lagi memilih untuk mencari pengganti walau sebenarnya hatinya masih terluka.
Namun, Ayra bukan bagian dari dua pilihan itu. Karena, menurutnya luka patah hati akan sembuh dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu. Dengan melakukan kesibukan-kesibukan kecil pun, terkadang membuat Ayra lupa akan luka yang ada di dalam sana.
Lagi pula untuk saat ini dia tidak ingin lagi berurusan dengan yang namanya cinta dan perasaan. Karena sekarang gadis bermata bulat itu ingin fokus mendekatkan diri pada yang maha kuasa dan juga pendidikannya agar saat lulus nanti dia bisa diterima di kampus yang dia inginkan.
"Ayra, kamu sudah siap?" Aina yang baru saja masuk ke kamar Ayra mendekati putrinya. "Masya Allah, anak mama cantik sekali," lanjut Aina setelah berada di hadapan Ayra.
"Makasih, Mama. Tapi anak mama satu ini memang cantik," ujar Ayra seraya menunjukkan senyum yang dibuat terlihat sombong.
Mendengar perkataan itu membuat Aina menggeleng pelan seraya tersenyum tipis. Walau sebenarnya dalam hatinya sangat bersyukur karena Ayra sudah kembali seperti Ayra yang sebenarnya.
"Ya udah, karena kamu sudah siap, kita berangkat sekarang. Ayo ...."
Ayra mengangguk, kemudian mengambil ponsel juga tasnya, lalu mengikuti langkah Aina yang mulai berjalan keluar dari kamarnya. Saat tiba di lantai bawah, ternyata Althaf dan Aditya sudah menunggu.
"Lo beneran mau ikut, Cil? Emang lo nggak bakalan sakit hati kalau sampai di sana?" tanya Althaf saat Ayra dan Aina baru saja tiba di hadapannya dan pertanyaan itu juga membuat Adit langsung memberi teguran berupa senggolan pelan di bahunya.
Ayra tersenyum kecut setelah mendengar pertanyaan Althaf. "Sakit hati, sih pasti, Kak. Tapi menghindar juga bukan pilihan baik, kan? Bukannya kalau masalah dihadapi akan ngebuat kita makin kuat, ya ...?" tanya Ayra seraya menatap Althaf dan Adit secara bergantian. "Lagian, aku juga mau saksiin hari bahagia orang yang pernah aku sayang."
Bukan pernah, tapi masih, batin Ayra.
"Ah ... bangga gue punya adek yang tegar kayak lo," puji Althaf seraya merangkul pundak Ayra, kemudian menggiringnya untuk menuju mobil yang sudah dipanaskan.
Adit dan Aina menyusul sembari menatap punggung Ayra dengan tatapan iba dan haru secara bersamaan.
"Ayra sudah berubah," kata Aina yang kemudian mendapat anggukan setuju dari Adit.
// About Readiness //
Saat tiba di gedung tempat resepsi pernikahan Akhtar diadakan, Ayra kerap kali menarik napas lalu mengembuskannya, kegiatan itu terus terjadi berulang kali. Apalagi saat mata bulatnya melihat sepasang pengantin di atas pelaminan sana.
Adit yang mengerti akan kegelisahan Ayra yang berusaha menenangkan hati juga dirinya segera menggenggam tangan adiknya itu dengan erat. Saat Ayra menoleh dan menatapnya bingung, Adit hanya meresponnya dengan kedipan sekali dan juga senyuman yang bermakna menguatkan.
Saat mulai mengerti maksud Adit, Ayra sontak mengangguk sembari tersenyum kecil. "Aku nggak papa, kok, Bang. Tenang aja," ujar Ayra dengan sesantai mungkin. Dia tidak ingin membuat Adit ataupun Aina dan Althaf khawatir padanya.
"Ngobrolnya nanti lagi, giliran kita yang maju," interupsi Aina seraya berbalik memandang Ayra dan Adit secara bergantian.
"Selamat ya, Nak Akhtar. Semoga kamu dan istri jadi keluarga yang sakinah mawaddah, dan warahmah." Ucapan Aina yang ditujukan pada Akhtar dan Jihan itu membuat Ayra tanpa sadar meremas kedua sisi gamisnya.
Dan kini giliran Ayra yang mengucapkan selamat untuk kedua mempelai. Ayra memberanikan diri menatap Akhtar agak lama. "Selamat buat Kak Akhtar. Semoga Kak Akhtar dan Mbak Jihan bahagia selalu dan juga selalu berada dalam lindungan Allah," ujar Ayra seraya merekahkan senyumnya.
Akhtar tersenyum lembut. "Terima kasih, Ayra. Kamu juga, ya semoga bahagia selalu."
Ayra makin menguatkan remasan di kedua sisi gamisnya. Mengapa Akhtar haru tersenyum seperti itu? Senyum itu benar-benar menganggu dan membuat hati Ayra makin acak-acakan.
Karena tidak ingin berlama-lama, akhirnya Ayra pergi setelah sebelumnya dia sempat mengobrol sebentar dengan Fiya dan Oya.
// About Readiness //
"Don't be too late with your sadness. Kalau Akhtar bahagia sama pilihannya, insya Allah you akan bahagia juga sama pilihan Allah."
Perkataan itu berhasil membuat Ayra kontan menoleh, dan menemukan keberadaan Gus Yusuf yang sedang menatapnya sebentar, lalu menatap ke arah pengantin di depan sana.
Respons Ayra hanya berupa gumaman pelan, lalu mengikuti arah pandang Gus Yusuf. Melihat senyum kebahagiaan Akhtar di depan sana membuat Ayra mengembangkan senyum tipis.
Seolah teringat sesuatu, Ayra kembali memandang ke arah Gus Yusuf yang masih setia menatap ke depan dengan senyum yang tidak bisa Ayra mengerti.
"Gus Yusuf beneran suka sama Mbak Jihan?"
Pertanyaan itu berhasil membuat Gus Yusuf menoleh, dan detik berikutnya dia tersenyum tipis sembari bergumam.
Ayra cukup terkejut mendengar hal itu, dia pikir waktu itu telinganya salah mendengar, tapi ternyata tidak. "Sekarang masih suka, dong?"
"Rather trying not to like. Gue nggak mau suka lagi sama istri orang, apalagi orang itu sepupu gue sendiri."
"Segampang itu Gus Yusuf bilang kayak gitu?"
Lagi-lagi Gus Yusuf hanya berdeham pelan. "Buat apa gue merasa sedih, kalau orang yang gue sedihin itu bukan jodoh gue?"
Wow, Ayra merasa tertampar dengan kalimat Gus Yusuf barusan. Jadi seharusnya dia bisa setegar Gus Yusuf, kan?
Harusnya, sih iya ... tapi kenapa aku ragu, ya? batin Ayra bertanya.
"Kuncinya, sih jangan pikirin dia. Coba deh you pikirin yang lain kalau misalnya dia muncul di dalam kepala you," ujar Gus Yusuf saat melihat Ayra yang tampak termenung. "Itu sih cara yang gue lakuin, tapi kan kembali ke diri masing-masing, ya. Kalau gue punya cara tersendiri untuk ngelupain dia, berarti you juga punya cara untuk ngelupain dia."
"Gue duluan. Assalamualaikum ...."
Tanpa sadar Ayra mengangguk dan menjawab salam dari Gus Yusuf. Saat tersadar Ayra segera beranjak dari duduknya, kemudian berkata. "Tapi, aku boleh, kan gunain cara yang Gus Yusuf pake?"
Gus Yusuf tampak tertawa kecil. "Efek sakit hati di you ternyata sebesar itu, ya? Sampai nggak bisa fokus."
Mendengar itu membuat Ayra mengernyit bingung, lantaran tidak mengerti maksud dari ucapan Gus Yusuf.
"Tadi, kan gue udah bilang ... 'coba deh you pikirin yang lain kalau misalnya dia muncul di kepala you' karena kuncinya jangan pernah pikirin dia."
"Ahh ...." Ayra pura-pura mengangguk sembari menahan malu. "Makasih, Gus udah mau berbagi ilmu."
Gus Yusuf hanya menggeleng pelan dan mengangguk, setelah itu dia kembali melanjutkan jalannya yang sempat tertunda.
Jadi, Ayra hanya perlu untuk tidak memikirkan Akhtar, kan? Semoga saja dia bisa, tapi seharusnya, sih bisa karena sudah dua hari kemarin Akhtar hanya muncul di pikirannya satu atau tiga kali. Tidak seperti saat dia masih sangat mengharapkan lelaki itu, bahkan setiap saat lelaki itu selalu ada dalam kepalanya.
"Oke ... mulai hari ini aku nggak bakalan mau mikirin Kak Akhtar lagi. Kalau Kak Akhtar udah bahagia sama pilihannya, harusnya aku juga bahagia karena Allah, aku tidak lagi selalu berharap sama Kak Akhtar." Ayra berusaha menguatkan diri.
Pada akhirnya Ayra dan Akhtar tidak ditakdirkan untuk bersama. Juga, tidak akan ada kisah Nabi Yusuf dengan Zulaika yang akan terulang di zaman sekarang. Karena tiap orang memiliki porsi bahagia dan ujian yang berbeda. Allah maha adil dengan semua ujian dan kebahagian yang Ia berikan kepada hambanya.
Mulai saat ini tidak ada sosok Akhtar lagi yang akan terlibat dalam perjalanan hidup Ayra. Entah siapa sosok lelaki yang akan terlibat dalam kisah selanjutnya. Ayra tidak terlalu tertarik untuk memikirkannya. Dibanding memikirkan jodoh yang belum ada hilalnya, dia lebih memilih untuk memikirkan masa depan dan juga ilmu agamanya.
// TAMAT //
Halaaau. Subahanallah, udah berapa bulan cerita ini cuman jadi draf. Tapi, sekarang udah selesai. Dan cerita ini juga bakalan bener-bener selesai sampai di sini.
Aku nggak yakin sih kalau masih ada yang mau baca kelanjutan cerita ini. Tapi, karena di part sebelumnya aku udah janji buat publish bagian epilog, akhirnya aku muncul deh.
Udah segitu aja, sih yang mau aku sampein. Untuk terakhir kalinya, makasih, ya udah berbaik hati baca cerita ini. Dan sampai jumpa di cerita baru aku, yang nggak tau publishnya kapan, soalnya persiapannya belum mateng, wkwkwk.
Paypaaayyy .... Salam hangat dari Aku ;)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro