Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 9

Menjadi wanita saleha memang tidak mudah, karena di dunia ini ada terlalu banyak rayuan yang terkadang membuat hati seorang wanita goyah.

Shafiya.

// About Readiness //

"Berhenti!"

Kedua preman itu menoleh begitupun juga dengan Ayra yang masih gemetar ketakutan. Saat mengetahui sang empu suara, air matanya justru semakin deras keluar hingga satu isakan keluar dari bibirnya.

"Kak Akhtar, tolong," ujar Ayra dengan suara parau bercampur gemetar karena masih ketakutan.

Akhtar melirik Ayra, kemudian kedua mata lelaki itu membulat, lantaran terkejut karena gadis yang sedang diganggu oleh dua preman itu adalah Ayra. Dengan langkah lebar dan sorot yang penuh ke khawatiran, Akhtar menghampiri Ayra.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Akhtar setelah tiba di hadapan Ayra.

Ayra menggeleng dengan air mata yang masih senantiasa mengalir di kedua pipinya. "Kak Akhtar, tolongin aku. Aku takut," ujar Ayra dengan sorot yang terlihat sangat ketakutan.

"Siapa kamu!" Bentakan dari salah satu preman itu membuat Akhtar segera menoleh dan memposisikan Ayra berada tepat di belakangnya agar gadis itu tidak lagi melihat kedua preman yang memang terlihat menakutkan itu.

"Saya tidak perlu menyebutkan siapa diri saya. Seharusnya saya yang bertanya kalian siapa? Kenapa mengganggu seorang perempuan di malam hari? Bahkan kalian membuatnya menangis," ujar Akhtar tanpa rasa takut sedikit pun.

"Kenapa, masalah buat kamu! Sudah sana! Anak baru kemarin nggak usah ikut campur urusan orang dewasa. Pergi atau kamu kita kasih pelajaran," ancam preman bertato naga itu.

"Tentu itu masalah buat saya. Karena kalian berniat menyakiti seorang perempuan yang seharusnya dilindungi!" tegas Akhtar.

"Wah, nih anak kayaknya beneran mau dikasih pelajaran, Bro! Habisin!"

Kedua preman itu mulai menyerang Akhtar. Dua lawan satu, tetapi tetap saja kedua preman itu belum bisa melumpuhkan Akhtar, bahkan sekali pun tidak ada pukulan yang mengenai badan lelaki itu, justru malah sebaliknya.

Sementara itu di sisi lain, Ayra beringsut menjauh kemudian berjongkok lalu menutup kedua telinganya dengan tangan, dia bahkan memejamkan mata tidak ada niatan sekali pun untuk melihat adegan kekerasan yang sangat tidak dia sukai itu. Gadis bermata bulat itu juga tidak perlu khawatir tentang keadaan Akhtar, karena dia yakin Akhtar bisa mengalahkan dua preman itu tanpa terluka sedikit pun. Sebab selain jago bermain futsal dan basket lelaki itu juga jago bela diri.

"Ayra ... hei ...."

Ayra tersentak kemudian refleks berdiri dan beringsut menjauh setelah cepolan rambutnya digoyang-goyangkan. Dia takut jika saja preman itulah yang baru saja menghampirinya, tetapi ternyata bukan.

"Kak Akhtar ...," gumam Ayra, kemudian menoleh untuk mencari keberadaan kedua preman yang sempat mengganggunya, tetapi nihil. Dia tidak menemukan persensi keduanya. "Premannya mana? Udah pergi, kan?" tanya Ayra yang masih merasa waswas.

"Tenang, Ay. Mereka sudah pergi," ujar Akhtar cepat saat melihat di wajah Ayra masih terdapat raut kepanikan dan ketakutan.

"Alhamdulillah. Terima kasih banyak, Kak. Aku nggak tau lagi apa yang akan terjadi sama aku kalau aja Kak Akhtar nggak datang nolongin aku," ujar Ayra setelah mengembuskan napas lega.

"Sama-sama ... kamu sebenarnya mau ke mana? Kenapa keluar malam-malam sendirian?" tanya Akhtar sembari menunduk dan melihat sepeda Ayra tergeletak bersama belanjaannya tadi. Langsung saja Akhtar mengambil sepeda juga belanjaan Ayra yang untungnya tidak tercecer.

"Aku mau ke rumah Bintang, Kak. Tadinya mau minta dianterin sama Bang Adit atau nggak sama Kak Al. Tapi mereka lagi pada sibuk, jadi aku pergi sendirian aja. Mama sama papa juga lagi nggak ada di rumah," jelas Ayra.

Baru saja Akhtar akan kembali bersuara, tetapi suara teleponnya membuat lelaki bertubuh tinggi itu mengurungkan niat. "Aku angkat telepon dulu," ujar Akhtar pada Ayra.

Ayra mengangguk kemudian diam saja saat Akhtar mulai berbicara dengan seseorang yang ada di seberang telepon. Ayra yang memang sedari tadi terus memperhatikan Akhtar bertelepon, seketika mengernyit bingung kala Akhtar menatapnya dengan sedikit lama, tidak seperti biasanya.

"Kenapa?" tanya Ayra hanya dengan gerakan bibir.

Namun, alih-alih menjawab pertanyaan Ayra, Akhtar justru kembali sibuk berbicara dengan penelpon itu. Ayra mengedikkan bahu, kemudian menatap ke arah sekelilingnya.

"Ayo pulang. Keluargamu sedang menunggumu di rumah."

Ucapan Akhtar tentu saja membuat Ayra membulatkan matanya, susah payah dia menelan salivanya karena sebentar lagi saat tiba di rumah dia akan dimarahi oleh Adit dan Al. Tamatlah riwayatnya.

"Yang tadi nelpon Kak Akhtar, Kak Al, ya?" Sebenarnya Ayra sudah yakin jika yang menelpon tadi Al, tetapi dia ingin lebih memastikannya lagi.

"Bang Adit dan Al sudah menelponmu beberapa kali, tapi kamu tidak mengangkatnya." Jawaban Akhtar barusan secara tidak langsung mengatakan jika memang benar Al-lah yang menelponnya.

"HP-ku ketinggalan," lirih Ayra.

"Sudah, ayo pulang sekarang! Aku tahu sampai rumah nanti kamu akan dapat masalah karena kenekatanmu sendiri." Setelah mengatakan hal itu, Akhtar berjalan lebih dulu sembari mendorong sepeda Ayra.

Ayra sendiri masih terdiam di tempatnya sembari memandang punggung Akhtar. Aku nggak salah, kan berharap jika suatu saat perasaanku ini dibalas sama Kak Akhtar?

// About Readiness //

Lantunan surah An-Naba terdengar di sekitaran gazebo yang sedang diduduki oleh dua perempuan berbeda generasi. Di saat yang satu sibuk melantunkan bacaannya, yang satunya lagi sibuk mendengarkan dan mengoreksi jika ada kesalahan yang dibacakan oleh perempuan yang masih berumur 17 tahun itu.

Setelah memakan waktu kurang lebih sepuluh menit, perempuan itu--Ayra menyelesaikan hapalannya. Dia memang hanya menyetor sepuluh ayat setiap kali setoran.

"Masya Allah, bacaan kamu makin bagus dan fasih," puji Fiya sembari tersenyum dan mengelus pelan kepala Ayra yang tertutupi mukena.

Ayra merekahkan senyumnya, seketika rasa hangat menjalar ke dalam hatinya tatkala mendapat usapan pelan dari Fiya. Gadis itu bahkan sampai memejamkan mata dan dari usapan pelan itu Ayra bisa merasakan jika Fiya menyayanginya.

"Makasih, Tante. Ini semua juga karena Tante, yang selalu sabar ngajarin aku," ujar Ayra setelah membuka kedua mata bulatnya, karena Fiya juga sudah menurunkan tangannya dari kepala Ayra.

"Besok sore ada kajian di masjid. Mau ikut lagi nggak?" tanya Fiya pada Ayra.

Ayra berpikir sejenak. Besok siang dia ada tugas kelompok dan biasanya tugas itu akan selesai saat sore harinya. Namun, meninggalkan untuk tidak ikut kajian membuat Ayra merasa rugi, apalagi di saat-saat dia sedang ingin memantapkan diri untuk berhijrah.

"Gimana, Ra?" tanya Fiya saat Ayra tak juga memberinya jawaban.

"Besok siang aku ada tugas kelompok Tante dan biasanya selesainya itu pas sore. Tapi, insya Allah deh besok kita akan selesaiinya cepat biar aku bisa ikut kajian besok sore," jelas Ayra dan mendapat anggukan mengerti dari Fiya.

"Tante aku mau nanya deh." Ayra memperbaiki posisi duduknya, kemudian menatap serius ke arah Fiya.

"Mau nanya apa, Ra?"

"Gini loh, Tante. Aku, kan ada teman di Instagram. Nah tiga bulan yang lalu tuh, dia pakaiannya masih tertutup banget, bahkan pake cadar juga sama kayak Tante dan Kak Kayla, tapi sebulan lalu dia lepas cadar, dan makin ke sini jilbabnya juga udah nggak setertutup dulu. Menurut Tante gimana?"

Fiya mengangguk, lalu kembali tersenyum. "Ra, kamu tahu nggak istiqama setelah kita memantapkan diri untuk berhijrah itu ujiannya subahanllah berat banget loh, Ra. Tante bilang gini karena Tante pernah ngerasain. Dan kamu tahu sendiri tingkat iman masing-masing orang itu berbeda. Mungkin aja, imannya teman Instagram kamu itu lagi drop dan akhirnya goyah. Walaupun disayangkan karena sampai ditahap memakai cadar itu susahnya subahanallah banget. Tapi, kan dia nggak sampai buka jilbab, kan?" tanya Fiya dan mendapat gelengan pelan dari Ayra.

"Nah, berarti masih ada harapan, kan dia bisa balik lagi kayak sebelumnya. Karena memang iman manusia itu kayak air laut kadang pasang kadang juga surut. Begitu, Ra," final Fiya dan mendapat anggukan paham dari Ayra.

"Menjadi wanita saleha memang tidak mudah, karena di dunia ini ada terlalu banyak rayuan yang terkadang membuat hati seorang wanita goyah," ujar Fiya lagi setelah terdiam beberapa saat.

// About Readiness //

Halau, selamaat malam. Kayaknya aku nggak bisa deh update pas sore, ya karena aku bener-bener nggak bisa ngatur waktu antara kesibukan lain sama kesibukan nulis, maaf, ya. Dan makasih banyak buat kalian yang masih ngikutin cerita ini. Seehuuu di Chapter 10.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro