Chapter 8
Bagaimana bisa aku melupakan perasaan ini, jika di saat kesusahan dia selalu datang tepat pada waktunya.
Khayra.
// About Readiness //
Ayra menopang dagu dan menyangganya di pembatas balkon sembari kedua netranya menatap awas pada dua lelaki yang sedang bermain basket di bawah sana. Bukan, tatapannya bukan tertuju pada kedua lelaki itu, melainkan hanya pada salah satu dari merekalah yang sedari tadi Ayra tatap dengan penuh kekaguman.
"Kak Akhtar buat aku heran, deh. Kapan, sih jeleknya? Perasaan kalau diliat ganteng mulu, makin diliat malah makin ganteng. Kaaan ... aku makin tambah cinta juga. Aaaa, mama ...." Gumaman itu keluar begitu saja dari bibir kecil Ayra dengan tatapan yang masih tertuju pada Akhtar.
"Ayra."
Panggilan itu sontak membuat Ayra menoleh dan menemukan persensi mamanya yang berdiri dua langkah di belakangnya. "Kenapa, Ma?"
"Ini loh, tadi Bintang baru aja nelpon Mama, katanya dia telepon kamu dari tadi, tapi sama kamu nggak diangkat-angkat," ujar Aina sembari menunjukkan ponselnya pada Ayra.
"Nggak kedengeran, Ma. HP-ku ada di kamar," ucap Ayra sembari memamerkan cengirannya.
"Sana, kamu telepon Bintang. Katanya ada hal penting yang mau dia kasih tahu ke kamu," titah Aina.
Ayra menggeleng seraya menunjuk ke arah lapangan basket yang ada di bawah sana. "Nanti aja, Ma. Aku masih mau nonton Kak Akhtar main basket dulu."
"Ya Allah, kamu cuman ke kamar buat ambil HP terus ke sini lagi itu nggak makan waktu lama loh, Ra," jelas Aina, tetapi lagi-lagi mendapat gelengan oleh Ayra.
"Nggak bisa, Ma. Entar balik-balik Kak Akhtar udah selesai mainnya. Nggak ah, nanti aja aku telepon Bintang, paling juga dia bohong kalau ada hal penting yang mau dia kasih tahu ke aku."
"Astagfirullah anak ini ... Ra, pergi ambil HP kamu sekarang atau kamu nggak akan mama kasih izin lagi buat masuk ke kamar Mama buat nonton Akhtar main basket. Pilih mana?" ancam Aina.
Ayra seketika cemberut, lalu mengembuskan napas dengan berat. "Mama mah gitu, suka banget pake ancaman itu. Kalau gitu kita tukeran kamar aja gimana, Ma?" Seketika raut wajah Ayra berubah semringah kala mengajukan sebuah negosiasi pada Aina.
"Ayra ...."
"Oke, Ma. Oke, aku ke kamar dulu." Ayra yang hendak melangkah, seketika berbalik dan kembali mendekat pada pembatas balkon. "Kak Akhtar, semangat ya mainnya!" Setelah itu barulah Ayra pergi dan meninggalkan Aina yang hanya bisa menggeleng pelan melihat tingkah putri kesayangannya itu.
"Semoga kamu bahagia selalu ya, Nak. Semoga aja kamu nggak akan ngerasain patah hati kayak mama dulu," gumam Aina setelah persensi Ayra tidak terlihat lagi di manik matanya.
// About Readiness //
Ayra membuka sedikit pintu kamar Adit, kemudian gadis itu menyembulkan kepalanya guna mencari keberadaan sang empu kamar. Saat dia sudah menemukan sosok Adit yang terlihat sedang sibuk dengan laptop dan beberapa kertas yang berserakan di mejanya, membuat Ayra langsung urung meminta bantuan pada Adit.
Setelah menutup kembali pintu kamar Adit dengan sepelan mungkin, Ayra beralih ke kamar Althaf dan seperti yang dia lakukan sebelumnya, gadis itu membuka sedikit pintu kamar Al, kemudian menyembulkan kepalanya untuk mencari keberadaan kakak mengesalkan tapi sangat dia sayangi itu.
"Lagi pada sibuk ternyata. Kan, nggak enak gangguin mereka," gumam Ayra setelah menemukan Al yang juga sibuk tengkurap di atas tempat tidurnya dengan beberapa buku tulis dan buku paket di hadapannya.
"Apa aku pergi sendiri aja kali, ya? Sekalian mampir beli es krim sama camilan di minimarket dekat rumah Bintang," ujarnya lagi setelah menutup pintu kamar Al dengan hati-hati.
Setelah mengambil keputusan untuk pergi sendiri ke rumah Bintang, Ayra segera ke kamarnya untuk bersiap-siap. Setelah itu langsung berangkat secara diam-diam agar tidak ketahuan oleh Al dan juga Adit. Sudah pasti Ayra akan dilarang untuk keluar malam apalagi jika seorang diri.
"Pak aku mau ke rumah Bintang dulu. Nanti kalau mama, papa, Bang Adit, atau Kak Al nanyain bilangin aja, ya. Tapi kalau Bapak nggak ditanya yah nggak usah dikasih tahu. Oke, Pak!"
Setelah meninggalkan pesan pada satpam rumahnya, Ayra segera pergi dengan sepeda miliknya. Dia bahkan mengabaikan teriakan satpam yang mengatakan ingin mengantarnya.
Sembari mengayuh sepedanya, Ayra bersenandung kecil. Rumah Bintang tidaklah jauh dari rumahnya itu mengapa Ayra memilih untuk pergi sendirian. Sebenarnya keluarganya melarang untuk pergi sendirian di malam hari walau jaraknya dekat.
Sebelum ke rumah Bintang, Ayra lebih dulu singgah di minimarket untuk membeli kebutuhan perutnya juga pesanan Bintang saat dia menelpon sore tadi. Setelah mengambil makanan dan titipan dari Bintang, Ayra segera menuju kasir untuk membayarnya.
Setelah memberikan uang pas pada penjaga Kasir, Ayra segera keluar dari minimarket sembari mengemut satu lolipop yang tadi dibelinya. Kemudian gadis itu kembali mengayuh sepedanya menuju rumah Bintang. Namun, belum jauh sepedanya berjalan, tiba-tiba saja dua sosok lelaki berbadan kekar, berambut gondrong, dengan penampilan yang terlihat begitu urakan muncul tidak jauh di depan Ayra.
Sontak saja Ayra mengerem mendadak dan wajahnya seketika memucat kala dua preman itu menghampirinya dengan langkah santai sembari senyum smirk yang mereka tampilkan.
Tubuh Ayra mematung, napasnya juga tampak memburu terlihat dari kedua bahunya yang naik turun tidak beraturan. Hawa yang sebelumnya terasa dingin tiba-tiba terasa panas dan mencekam hingga membuat beberapa bulir keringat muncul di pelipis juga dahi gadis bermata bulat itu.
"Mama ...," lirihnya dengan kedua tangan yang mencengkeram kuat stir sepeda, bahkan kedua matanya sudah memerah menahan tangis, belum lagi wajahnya sudah tampak pucat pasi, dia sudah persis mayat hidup.
"Halo, Adik manis," ujar salah satu preman saat mereka sudah tiba tepat di depan Ayra yang badannya sudah bergetar karena ketakutan.
Seketika sekelebat bayangan masa lalu dengan situasi yang sama muncul di otak Ayra, kenangan itu berputar bagai kaset rusak yang membuat Ayra bertambah ketakutan. Sebelumnya Ayra juga pernah mengalami hal seperti itu dan hampir saja dia dilecehkan jika saat itu Adit tidak segera datang menolongnya. Itu mengapa keluarganya melarang keras Ayra untuk keluar malam sendirian.
"Kok diam aja. Main sama Abang, yuk," ajak preman bertato naga di lengan sebelah kanannya dengan senyum yang menyeramkan di netra Ayra.
Saat preman itu akan menyentuh wajah Ayra, Ayra segera menghindar dan turun dari sepedanya. Dia bahkan membiarkan belanjaan dan sepedanya jatuh begitu saja agar dia tidak disentuh oleh preman itu.
"Pergi!" Bahkan untuk sekedar berteriak atau berkata tegas Ayra tidak bisa.
Ya Allah tolong aku, batinnya seraya terus berjalan mundur kala dua preman itu terus saja berjalan mendekatinya dengan penuh ancaman.
Ayra tida bisa lagi membendung air mata, kakinya sudah tidak kuat lagi untuk menopang berat badannya. Apa kejadian beberapa tahun lalu akan terjadi? Di mana dia akan dilecehkan oleh preman yang berbeda? Walau tahun kemarin tidak jadi karena ada Adit yang menolongnya, tetapi sekarang bagaimana? Bahkan satu pun orang tidak ada yang melewati jalan yang memang sepi dan agak gelap ini.
"Tolong ...." Ucapan itu tidak terucap dari lisan Ayra, ucapan itu hanya sampai di tenggorokan yang tentu saja tidak ada yang bisa mendengarnya.
"Ak-aku mohon pergi!" ujar Ayra parau.
Kedua preman itu bukannya iba. Mereka justru tertawa dan mengatakan agar Ayra tidak menangis dan meminta Ayra untuk ikut bersamanya. Saat preman itu akan memegang tangan Ayra, gadis itu segera mengelak dan menyembunyikan kedua tangannya di balik punggung.
"Pergi ...," lirih Ayra, tetapi tidak diindahkan oleh dua preman itu. Justru mereka ingin menarik bahu Ayra, tetapi langsung terurungkan saat mendengar sebuah teriakan.
"Berhenti!"
// About Readiness //
Halaaau, malaaaam. Untuk kedua kalinya aku nggak bisa nepatin janji buat update di siang hari. Maaf, ya. Gimana, yah, akutuh klw pagi sama siang jarang banget megang hp, huhuhu. Betewe makasih yah udah mampir, dan sampai bertemu di Chapter 9.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro