Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 5

"Kenapa harus malu? Yang seharusnya malu itu perempuan yang dengan sengaja mengumbar auratnya."

Akhtar.

// About Readiness //

Setelah melaksanakan salat Zuhur, Ayra segera melipat sajadahnya, lalu menaruhnya ke tempat semula. Kemudian langsung keluar dari kamar tanpa membuka mukenanya lebih dulu.

Baru saja kakinya hendak menginjak anak tangga pertama, tetapi gadis itu tiba-tiba saja tertarik ke belakang, dan refleks sebelah tangannya memegang pegangan tangga sehingga dia tidak tersungkur ke belakang. Jantungnya berpacu dengan kuat lantaran masih terkejut.

"Kak Al ngapain, sih? Main tarik-tarik, aja. Kalau tadi aku jatoh gimana?" tanya Ayra sangat kesal.

"Ya, nggak gimana-gimana. Palingan lo encok," canda Al sembari tertawa setelah mendapat pelototan dari Ayra. "Lagian lo, sih. Ngapain coba jalan cepet-cepet kayak gitu? Kayak mau berebut sembako aja," lanjut Al, seraya melipat kedua tangannya di depan dada.

"Aku mau ke rumah Kak Akhtar, mau ketemu Tante Fiya buat setor hafalan. Udah, aku pergi dulu, Baaay!"

"Woi, Cil. Makan dulu!"

Teriakan membahana dari Al sama sekali tidak diindahkan oleh Ayra. Gadis itu justru berlari kecil menuruni anak tangga, tetapi lagi-lagi langkahnya harus berhenti saat dia berhadapan dengan Adit yang akan menaiki tangga.

"Makan dulu, Ra!" titah Adit. Sepertinya Adit mendengar teriakan Al dari lantai atas, pikir Ayra.

"Nanti aja, Bang. Lagian aku bisa makan di rumah Tante Fiya, kok," ujar Ayra sembari menyengir.

"Kenapa harus makan di rumah orang lain, kalau makanan di rumah kamu sudah siap? Abang nggak akan ngijinin kamu pergi, kalau kamu nggak makan dulu."

Ayra mendengkus kesal, tetapi tetap mengikuti perintah Adit. Jika yang menyuruhnya, Al maka dengan berani gadis itu akan membantah, tetapi ini Adit, Abang yang dia segani.

"Bang Adit!"

Adit yang baru saja akan melangkah, seketika berbalik saat Ayra memanggilnya. "Kenapa?"

"Aku makan sekarang, tapi nanti malem Bang Adit harus traktir aku makan es krim, gimana?" tanya Ayra menawarkan kompensasi.

"Iya."

Ayra bersorak senang, kemudian berjalan semangat menuju meja makan. Karena tidak ingin membuat Fiya menunggu terlalu lama, Ayra cepat-cepat menghabiskan makan siangnya. Setelah menaruh piring juga gelas bekasnya makan ke wastafel, gadis itu lalu berjalan cepat menuju rumah Fiya.

Saat tiba di sana, Ayra segera mengetuk pintu dan mengucap salam. Namun, sudah satu menit dia menunggu, tetapi pintu itu belum juga terbuka. Bertepatan setelah dia mengucap salam untuk ketiga kalinya, suara Akhtar tiba-tiba terdengar dari arah belakang.

Sontak saja Ayra menoleh sembari tersenyum lebar. "Kak Akhtar!"

"Masuk aja, Ay. Ummi lagi sibuk di dapur, pasti suara kamu nggak kedengaran. Oya juga lagi tidur, jadi nggak bisa bukain pintu," jelas Akhtar setelah tiba di samping Ayra.

Setelah Akhtar membuka pintu dan masuk lebih dulu, barulah Ayra juga mengikut dan berjalan di belakang Akhtar. Kedua mata bulatnya menatap lekat punggung tegap Akhtar. Andai kelak punggung ini yang aku lihat setiap saat setelah salam dalam salat, mungkin aku adalah salah satu orang paling bahagia di dunia ini, batin Ayra sembari tersenyum tipis.

"Ayra." Panggilan serta gerakan Akhtar yang berhenti dan berbalik tiba-tiba membuat Ayra terkejut dan mendadak menghentikan langkahnya. Gadis itu bahkan harus mundur dua langkah saat merasa jaraknya dengan Akhtar terlalu dekat.

"Kenapa, Kak?" tanya Ayra, setelah mengontrol mimik wajahnya.

"Aku boleh minta tolong? Tolong antarkan ini ke ummi, ya. Oya nangis di atas, sepertinya dia sudah bangun," pinta Akhtar.

Ayra mengangguk, kemudian mengambil alih plastik yang sepertinya berisi bahan-bahan kue dari tangan Akhtar. Setelah itu, dia segera berjalan menuju dapur untuk menghampiri Fiya.

"Assalamualaikum, Tante," salam Ayra, lalu meletakkan plastik tadi di atas meja makan.

"Waalaikumsalam, Ra. Loh, kenapa pesanan Tante bisa dibawa sama kamu?"

"Tadi Kak Akhtar titipin ke aku, karena denger suara Oya nangis, Tan," jawab Ayra lalu melihat Fiya mengeluarkan semua isi kantong plastik yang baru saja dia letakkan. "Kayaknya Tante lagi sibuk banget, ya?"

"Iya, Ra. Tante lagi buat brownis untuk dibawa ke pondok. Karena habis Magrib nanti ada acara di sana," jawab Fiya, "oh iya ... setoran hapalannya besok aja gimana, Ra? Atau kamu mau setorannya sama Akhtar aja?"

"Eh, nggak usah sama Kak Akhtar. Ya udah besok aja, Tan aku setorannya. Lagian, kayaknya Tante butuh karyawan. Gimana kalau aku bantuin Tante buat brownisnya?" jawab Ayra cepat.

Dia bukannya tidak ingin menghabiskan waktu dengan Akhtar sembari menyetor hapalannya. Hanya saja gadis itu malu jika Akhtar yang harus menyimaknya. Selama ini jika dia sedang menyetor hapalan atau sekadar mengaji dengan Fiya, Akhtar tidak pernah mendengarnya.

Setelah mendapat anggukan setuju dari Fiya, Ayra lebih dulu membuka mukenanya, dan menggantinya dengan jilbab instan milik Kayla. Lalu, mulai membantu Fiya membuat brownis.

"Nanti kamu mau ikut nggak ke pondok?" tanya Fiya sembari memecahkan telur.

"Memangnya boleh, Tante?" tanya Ayra penasaran.

"Boleh dong."

Ayra mengangguk semangat. "Mau, Tante," jawab Ayra cepat.

// About Readiness //

Ayra keluar dari kamarnya dengan ragu, pasalnya gadis itu merasa malu dan kurang percaya diri dengan pakaian yang saat ini sedang digunakannya. Namun, saat mendengar pintu kamar sebelahnya terbuka, Ayra kembali berlari masuk ke dalam kamarnya, lalu tak lupa menguncinya.

"Ya Allah, kok aku malu banget, ya?" tanya Ayra seraya menutup wajahnya dengan kedua tangan.

"Cil. Buruan, entar keluarganya Akhtar nunggu lama!" Gedoran serta teriakan Al dari luar kamar membuat Ayra segera berlari menuju depan cermin.

Untuk Kedua puluh kalinya, dia menatap pantulan dirinya di depan cermin. Abaya hitam dengan jilbab panjang sepaha tanpa pet berwarna senada melekat sempurna di tubuhnya. Pakaian itu pemberian Kayla, yang Fiya berikan beberapa hari lalu.

Sebenarnya tidak ada yang aneh, justru Ayra terlihat sangat cantik dengan pakaian yang tertutup seperti itu. Belum lagi warna kulitnya yang putih begitu kontras dengan warna abaya yang dia kenakan. Hanya saja, Ayra merasa belum terbiasa maka dari itu dia menganggap aneh dirinya yang memakai pakaian seperti itu.


"Woi, Cil. Buruan!"

"Iya, Kak. Bentar!" teriak Ayra, dengan mata yang masih fokus menatap dirinya di dalam cermin.

"Buruan, Cil! Buruan!"

"Haisssh." Ayra berdecak sebal, kemudian mulai melangkah menuju pintu untuk membukanya.

"Lo ngapain aja, sih di dalam? Lama ba ...." Ucapan Al seketika terhenti setelah Ayra keluar dari kamarnya. Kedua netra milik lelaki itu melihat penampilan Ayra dari atas sampai bawah dengan amat intens. "Masya Allah, adek gue banget, nih!" lanjut Al seraya berdecak kagum.

"Nggak kelihatan aneh, kan, Kak? Jujur aja aku nggak PD," tanya Ayra sembari menunduk melihat abayanya.

"Nggak aneh, Cil! Lo malah kelihatan cakep. Udah, mending hari-hari lo pake kayak ginian aja. Makin cantik lo, Cil!" puji Al dengan mata berbinarnya.

"Kak Al, apaan, sih? Pasti ngejek, kan?" tuding Ayra sembari menatap kesal ke arah Al.

"Ayra, Al. Kalian kenapa lama sekali? Keluarga Mbak Fiya sudah menunggu itu." Teriakan dari lantai dasar membuat keduanya segera berjalan cepat menuju ke bawah.

"Mama, lihat deh. Anak Mama satu ini kalau pake pakaian kayak gini makin cakep, kan?" teriak Al setelah mereka tiba di ruang tamu untuk pamitan kepada orang tuanya juga Adit.

"Masya Allah, anak Papa cantik sekali. Mama kamu aja kalah, loh," ujar Farhan dengan tatapan yang penuh kekaguman.

Bukan hanya Farhan, Aina dan Adit pun sama halnya dengan Farhan yang menatap Ayra dengan kagum. Sampai-sampai Ayra dibuat malu sendiri.

"Aaa, udah dong. Jangan liat aku kayak gitu, malu tahu!" ujar Ayra setengah merengek. "Udah, ah. Kita pamit dulu. Assalamualaikum."

Ayra menghampiri satu-satu keluarganya, lalu menyaliminya, yang kemudian diikuti oleh Al. Setelah itu mereka pun pergi dan ternyata keluarga Akhtar sudah menunggunya di depan rumah.

"Kak Al, ayo buruan!" Ayra menarik tangan Al, lalu gadis itu berjalan berdempetan di belakang Al, agar tidak terlihat. Karena dia masih merasa malu apalagi jika dilihat oleh Akhtar. Walau Ayra yakin Akhtar tidak akan menatapnya lebih dari lima detik.

"Maaf, ya, Om, Tan kita telat," ujar Al setelah tiba di depan Fiya juga Rasyid yang sedang menggendong Oya.

"Nggak apa, Al. Loh, Ayra kenapa sembunyi gitu?" tanya wanita yang sedang mengenakan abaya hitam, jilbab hitam panjang, plus dengan cadarnya. Karena memang jika sedang di luar rumah Fiya mengenakan cadar.

"Nggak tahu, nih, Tan. Si Ayra aneh, masih aja nggak PD sama penampilannya padahalkan, dia pake kayak gitu makin cantik," adu Al, seraya menarik Ayra untuk berdiri di sampingnya.

"Kenapa harus malu? Yang seharusnya malu itu perempuan yang dengan sengaja mengumbar auratnya," ujar Akhtar yang baru saja tiba dan ikut bergabung dengan mereka.

Deg!

// About Readiness //

Malaam. Cuman mau bilang makasih sama yang masih terus ngikutin cerita ini. Seeehuuu di Chapter 6.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro