Chapter 30 (Ending)
Di balik rasa sedih yang Allah kasih akan ada kebahagiaan yang menanti. Karena yang baik menurut manusia belum tentu baik menurut Allah, begitupun sebaliknya yang buruk menurut manusia belum tentu buruk menurut Allah.
// About Readiness //
Ayra dan Akhtar tampak duduk di sebuah bangku yang berada di halaman rumah lelaki itu. Keduanya duduk di bangku tanpa sandaran yang di tengah-tengah mereka terdapat meja bundar kecil. Di saat Akhtar sibuk memperhatikan Oya yang sedang bermain ayunan, maka lain halnya dengan Ayra yang menatap sendu ke arah Akhtar.
"Kak Akhtar beneran udah ngelamar perempuan lain, ya?"
Pertanyaan Ayra berhasil membuat lelaki itu refleks menoleh ke arahnya. Raut wajahnya yang seolah mengatakan 'bagaimana kamu tahu?' tergambar jelas dan sangat mudah untuk Ayra baca.
"Jadi beneran, ya, Kak?" lirih Ayra seraya menundukkan kepalanya, memutus kontak mata dengan Akhtar yang lebih lama dari biasanya.
"Siapa yang kasih tahu kamu?"
"Penting, ya, Kak Akhtar tahu yang ngasih tahu aku berita ini siapa?" tanya Ayra pelan seraya meremas kedua tangannya. "Apa selama ini Kak Akhtar nggak sadar, ya sama sikap aku ke Kak Akhtar ...?"
Akhtar mengerutkan dahinya bingung, lantaran tidak mengerti dengan maksud pertanyaan Ayra barusan. "Maksud kamu apa?"
Gadis yang tidak menggunakan jilbab itu mendongak, kemudian menatap tepat ke netra Akhtar. "Maaf, Kak ... aku nggak bisa kayak Sayidah Fatimah yang bisa tahan dengan cinta diam-diamnya kepada Ali bin Abi Thalib. Aku juga tidak seberani Bunda Khadijah yang melamar Rasulullah lebih dulu ... yang kubisa hanya menjadi seperti Zulaikha yang dengan terang-terangan menunjukkan jika dia mencintai Yusuf ...."
"Maksud kamu ...."
"Apa selama ini Kak Akhtar nggak benar-benar sadar kalau sebenarnya aku suka dan cinta sama Kakak?" Ayra memotong ucapan Akhtar dengan mengucapkan kalimat frontal yang membuat Akhtar seketika terdiam. "Selama ini aku berusaha jadi Zulaikha yang terus-terus mengejar Yusuf, lelaki yang dia cintai. Aku pikir, tanpa aku ungkapin perasaan aku ke Kakak, Kak Akhtar bakalan tahu kalau sebenarnya aku ada rasa sama Kak Akhtar," lanjutnya dengan mata yang memerah.
"Ayra, maaf ... tapi tidak sepantasnya kamu bicara seperti itu sama lelaki yang sudah memiliki calon istri."
Nada yang diucapkan Akhtar memang pelan dan penuh pengertian, tetapi tetap saja perkataannya itu bagaikan bilah tajam yang menyayat hati Ayra. Perih sekali rasanya.
Ayra menunduk saat merasakan air matanya yang sudah ingin menetes. "Maaf, Kak ... tapi aku cuman mau ngasih tahu perasaan aku ke Kak Akhtar sebelum Kak Akhtar jadi milik perempuan lain, walaupun udah terlambat. Tapi sebelum aku memutuskan sesuatu, aku mau nanya sama Kak Akhtar, tapi aku harap Kak Akhtar mau menjawabnya dengan jujur."
Akhtar hanya diam sembari kembali menatap Oya yang masih sibuk dengan ayunannya. Jujur saja, Akhtar tidak kuat jika harus melihat seorang perempuan menangis, apalagi jika itu karenanya.
"Apa Kak Akhtar pernah ngerasain perasaan yang sama kayak yang aku rasain, walaupun itu cuman sebentar?"
Akhtar kembali menoleh dengan raut keterkejutan. Namun, detik berikutnya raut wajahnya berubah diiringi dengan embusan napas kasar yang keluar dari hidungnya. "Ayra ... maaf kayaknya aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu." Akhtar bangkit dari duduknya.
Ayra pun ikut bangkit. "Kak Akhtar aku mohon, jawab pertanyaan aku ini," pinta Ayra dengan pelan.
"Aku tidak mau membuatmu sakit hati, Ay ...," ujar Akhtar seraya menatap Ayra dengan serius.
Sebuah senyuman tipis sarat akan keterlukaan muncul di wajah Ayra. "Kenapa? Karena jawaban Kak Akhtar 'nggak pernah', kan?" Ayra mengangguk-angguk pelan dengan kesimpulan yang dia buat sendiri dan dia yakini jika seratus persen benar.
"Maaf, Ayra ... aku tidak nyaman dengan pembahasan ini. Aku masuk dulu, titip Oya, ya?" Setelah itu Akhtar melangkah pergi hendak memasuki rumah. Akan tetapi langkahnya tiba-tiba berhenti saat Ayra ikut berbalik menatap punggungnya sembari melontarkan sebuah pertanyaan.
"Kalau boleh tahu siapa perempuan beruntung yang menjadi calon istrinya Kak Akhtar?" tanya Ayra dengan suara yang dinaikkan beberapa oktaf karena Akhtar sudah agak jauh di depannya, tetapi sialnya nada suara Ayra terdengar bergetar, karena memang dia berusaha menahan air matanya yang ingin mengalir deras.
"Jihan."
Ayra terdiam setelah mendengar jawaban Akhtar. "Jihan? Mbak Jihan yang di pondok pesantren, kah?" gumamnya pelan.
"That's right. Calonnya memang Jihan, perempuan yang juga aku sukai ...."
Ayra refleks menoleh saat mendengar suara itu. "Gus Yusuf."
// About Readiness //
Satu minggu setelah kejadian patah hati yang Ayra alami, gadis itu mulai konsisten dengan keputusannya yang ingin menjauhi dan melupakan lelaki yang beberapa tahun belakangan ini mengisi ruang hatinya. Awalnya memang berat, bahkan sampai hari ini pun Ayra terkadang masih memikirkan Akhtar, tetapi dia juga selalu berhasil mengalihkan pikirannya dengan membaca beberapa buku yang diberikan oleh guru mengajinya yang baru.
Tiga hari yang lalu Ayra memutuskan untuk tidak lagi berada di ruangan yang sama dengan Akhtar, termasuk berhenti belajar mengaji dengan Fiya. Perihal keputusannya itu, tidak banyak dipertanyakan oleh Fiya dan keluarganya yang lain, lantaran mereka mengerti mengapa Ayra memutuskan untuk seperti itu.
Ayra menggigit bibir bawah sembari menatap sendu foto-foto Akhtar yang tersimpan rapi di dalam laptopnya. Dia ingin menghapus semua foto milik lelaki itu, karena tidak ada gunanya lagi dia menyimpan semua foto lelaki yang sebentar lagi akan menikah dengan perempuan lain.
"Terima kasih karena udah pernah singgah di hati aku. Terima kasih juga karena Kak Akhtar ngebuat aku sadar untuk nggak pernah lagi berharap sama yang namanya manusia." Usai mengucapkan kalimat itu Ayra segera menghapus semua foto akhtar yang tersimpan di laptopnya.
Ayra menyeka air mata yang sempat menetes di pipinya, kemudian dia mengembangkan senyumnya. "Aku harus bisa lupain perasaan ini. Kalau Kak Akhtar bahagia sama pilihannya, berarti aku juga harus bahagia dengan pilihanku."
Setelah menggumamkan kalimat itu, Ayra berjalan menuju meja riasnya dan membuka sebuah kotak yang sengaja dia keluarkan dari lemari beberapa jam yang lalu. Tangannya mulai mengambil isi kotak itu yang ternyata berisi sebuah jilbab segitiga yang salah satu sudutnya terdapat seperti sebuah merk dengan bahan emas murni yang berbentuk huruf KFF.
Ayra sangat ingat, jilbab ini merupakan hadiah ulang tahun yang diberikan oleh papanya setelah acara malam itu selesai. Hanya saja Ayra tidak pernah memakainya, lantaran dulu dia belum siap untuk menggunakan jilbab.
Namun, kini sepertinya tekadnya sudah bulat bahwa mulai saat ini dia akan memutuskan untuk berjilbab tetap, tanpa membukanya lagi. Dia juga sudah tidak merasa malu lagi menggunakan jilbab ke sekolah setelah mendengar cerita dari guru ngaji barunya.
Dia ingin menjadi wanita muslimah yang sesungguhnya, karena gadis bermata bulat itu baru sadar jika bukan sekarang dia mulai menutup aurat dan membuat dirinya yakin, terus kapan lagi? Dia juga takut, takut kalau saja dia belum sempat berjilbab, tetapi dia sudah dipanggil lebih dulu menghadap Allah.
Ayra mulai membentangkan jilbab yang berukuran 130x130 itu, kemudian mulai membentuknya dengan bentuk segitiga. Sebelum memasang jilbab itu, Ayra lebih dulu mengikat rambutnya, lalu memasang ciput yang kemudian mulai memasang jilbab itu di kepalanya berbarengan dengan ucapan basmalah yang terucap dari bibirnya.
"Ya Allah, tolong bantu aku untuk istiqama menjaga auratku ...," lirihnya setelah memasang jarum pentul ke jilbabnya.
Sebuah kurva terbentuk di bibir kecilnya. Air matanya tampak menggenang seiring dengan hatinya yang terasa bergetar, dia merasa terharu, bahagia, dan juga tidak menyangka. Setelah menunda-nunda dengan alasan belum siap walau di dalam hatinya sudah ada keinginan untuk berjilbab, kini dia sudah mantap dan merealisasikan niat yang selama ini dia miliki.
"Pasti papa bahagia banget kalau aku pake jilbab kayak gini," lirihnya dengan setetes air mata yang jatuh ke pipinya, tetapi senyum di bibirnya masih terus bertahan.
Selesai.
Alhamdulillah. Akhirnya cerita ini selesai juga. Bersyukur banget bisa konsisten sama cerita ini, dan tentu aja berkat WDT, aku bisa selesain cerita ini dengan cepat. Makasih buat kalian semua yang udah setia ngikutin kisah Ayra. Maaf kalau ada kata-kata yang buat kalian tersinggung. Daaan sehhu di Epilog!!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro