Chapter 3
Sebaik-baiknya seorang wanita adalah yang mampu menjaga auratnya dari lelaki yang bukan mahramnya.
// About Readiness //
Saat bel pulang sekolah berbunyi, Ayra buru-buru memasukkan semua alat tulisnya ke dalam tas, bahkan salah satu pulpennya jatuh ke lantai akibat terlalu tergesa-gesa. Bintang yang memang duduk tepat di samping Ayra hanya bisa menggeleng pelan melihat tingkah sahabatnya itu.
"Santai aja, sih, Ra. Lo nggak akan ketinggalan buat nonton Kak Akhtar latihan futsal," tegur Bintang seraya ikut memasukkan buku juga pulpennya ke dalam tas.
"Aku tahu, tapi sebelum ke lapangan nanti, kita harus ke kantin dulu beliin minum buat Kak Akhtar," ujar Ayra sembari memasang ranselnya setelah semua alat tulisnya masuk ke dalam tas.
Bintang ikut berdiri saat Ayra juga berdiri. "Buat Kak Akhtar doang? Kak Al lo nggak beliin?" tanya Bintang seraya memakai ranselnya juga, tetapi hanya satu yang ia sampirkan di bahunya, ciri khas seorang Bintang.
"Kak Al, kan bisa beli sendiri," jawab Ayra acuh.
Bintang memutar bola matanya malas. "Lo pikir Kak Akhtar nggak bisa beli minum sendiri juga?"
"Ya udah, sih, Bi. Udah ah, ayo! Nggak usah banyak ngomong." Ayra segera meraih tangan Bintang dan menariknya untuk keluar kelas menuju kantin.
Setelah membeli satu air minum botolan di kantin, Ayra dan Bintang segera menuju lapangan futsal. Saat tiba di sana bertepatan juga dengan itu semua pemain futsal sudah mulai latihan. Karena memang minggu depan ada sparing antara SMA Nusa Bangsa dengan SMA Garuda.
"Ayo buruan, Bi kita ke depan. Entar keburu banyak orang!" seru Ayra begitu bersemangat, lalu kembali menarik tangan Bintang untuk berlari kecil menuju salah satu tempat yang memang selalu mereka tempati untuk menonton kakak kelasnya itu latihan futsal.
Walau hanya latihan, tetapi lapangan futsal cukup ramai, bahkan kebanyakan penontonnya lebih dominan kaum hawa. Tentu saja ada banyak siswi yang menyempatkan diri untuk menonton, karena bisa dibilang hampir semua pemain futsal memiliki ketampanan di atas standar.
Di saat Ayra sibuk bersorak meneriaki nama Akhtar seperti beberapa siswi lainnya, maka lain halnya dengan Bintang yang justru duduk santai sembari memainkan ponselnya. Sekalipun atensi wanita bermata sipit itu tidak teralihkan dari ponselnya. Karena memang Bintang tidak terlalu tertarik menonton, dia hanya sekadar menemani Ayra untuk menonton.
Ayra segera mengambil air mineral yang tadi dibelinya setelah melihat para pemain futsal melipir ke pinggir lapangan. Dengan semangat Ayra pergi begitu saja meninggalkan Bintang yang masih fokus dengan ponselnya. Gadis bermata bulat itu bahkan berlari kecil melewati lapangan agar cepat tiba di sana.
"Kak Akhtar!" serunya dengan senyum yang merekah sempurna di bibir kecilnya.
Akhtar menoleh. "Kenapa, Ay?"
Senyum yang tadinya merekah di bibir Ayra, seketika tergantikan dengan senyum yang sengaja dia tahan lantaran mendengar Akhtar menyebut namanya dengan kata 'Ay'. Lalu, detik berikutnya tanpa dia sadari pipinya mulai bersemu.
"Ini air minum buat Kak Akhtar," ujar Ayra dengan pipi yang masih terlihat bersemu, seraya menyodorkan air mineral itu.
Akhtar menatap air mineral yang Ayra sodorkan. "Terima kasih. Padahal kamu nggak perlu repot-repot, Ay," ujar Akhtar, lalu menyambut air mineral yang Ayra sodorkan.
"Nggak repot, kok, Kak. Justru aku suka ngasih minum ke Kak Akhtar kalau abis latihan," jawab Ayra seraya memamerkan giginya yang rapi.
"Si Akhtar pura-pura nggak peka atau gimana? Ayra selalu ngasih sesuatu dan perhatian itu tandanya ada sesuatu. Iya nggak, Ra?" tanya Dimas, salah satu pemain futsal sekaligus kakak kelas Ayra juga.
"Tar, kapan lo nembak si Ayra? Keburu gue duluan nih yang nembak dia," lanjut Sean saat melihat Ayra hanya mereapons ucapan Dimas tadi dengan senyuman.
"Ih, Kak Sean jangan ngomong gitu! Kak Akhtar, kan nggak mau pacaran. Maunya langsung nikah aja, dan pacarannya nanti setelah halal biar dapet pahala," sela Ayra cepat seraya menabok pelan pundak Sean.
"Oh, jadi lo nggak mau jadi pacarnya Akhtar, tapi mau langsung jadi istrinya?" goda Sean seraya tersenyum jenaka. Namun, senyuman itu tidak bertahan lama di bibir Sean lantaran, dengan tiba-tiba saja Al menggeplak kepala Sean dari belakang, yang berhasil membuat lelaki bertubuh jangkung itu mengumpat kesal.
"Nikah, nikah. Sekolah dulu yang bener baru nikah. Ayo, Cil kita pulang!" Al langsung merangkul pundak Ayra dan mengabaikan Sean yang terus saja mengomelinya. Setelah berpamitan pada semua teman futsalnya, Al segera menyeret Ayra meninggalkan gerombolan lelaki itu.
"Dadah, Kak Akhtar. Sampai ketemu di rumah Kakak lagi!" teriak Ayra di sela-sela dirinya diseret oleh Al.
// About Readiness //
"Assalamualaikum." Ayra mengetuk pintu rumah bercat cokelat itu seraya mengucapkan salam.
Beberapa saat kemudian pintu pun terbuka berbarengan dengan jawaban salam yang terdengar cadel. Langsung saja Ayra berjongkok dengan senyum semringah, lalu kedua tangannya terulur untuk mencubit pipi gembul seorang gadis kecil berumur 4 tahun yang barusan menjawab salamnya.
"Halo, Oya! Ih, pipinya makin hari makin gembul, ya. Kamu kasih makan apa?" tanya Ayra masih menjawili pipi gembul milik gadis kecil yang dia panggil Oya itu.
"Makan nasi," jawab Oya.
"Kakak juga makan nasi, kok. Walaupun jarang, sih. Tapi pipi Kak Ay kok nggak berubah-ubah?" ujar Ayra seraya menekan kedua pipinya. "Tetep aja tirus," lanjutnya seraya mengerucutkan bibir, pura-pura kesal.
Namun, beberapa detik berikutnya gadis bermata bulat itu tertawa karena melihat respons yang Oya berikan hanya kedipan mata beberapa kali dengan dahi yang tampak berkerut.
"Ayra, kenapa malah jongkok di depan pintu? Kenapa nggak langsung masuk aja? Oya, nih nggak ajak Kak Ay-nya masuk."
Ayra yang sedang berjongkok seketika berdiri setelah melihat seorang wanita setengah baya yang sedang mengenakan abaya hitam juga jilbab hitam sepaha tanpa pet muncul di belakang Oya. Sementara gadis kecil itu berbalik untuk melihat sang empu suara.
"Afwan, Ummi," ujar gadis kecil itu.
"Assalamualaikum, Tante," salam Ayra seraya mengangguk sopan. Setelah wanita yang dipanggil tante oleh Ayra itu menjawab salam. Ketiganya lalu masuk ke dalam rumah.
"Kata mama tadi, Tante manggil aku. Ada apa, ya? Atau Tante manggil aku buat setoran hafalan, ya? Tapi, kan setorannya hari Rabu dan sekarang masih Senin," tanya Ayra setelah duduk di sofa.
Fiya atau yang sejak tadi dipanggil Tante oleh Ayra hanya menggeleng pelan seraya tersenyum saat mendengar pertanyaan beruntun yang keluar dari mulut Ayra. Selalu seperti itu dan sepertinya sudah menjadi ciri khas seorang Ayra.
"Tante manggil kamu bukan buat setoran, tapi Tante cuman mau nyampein amanah dari Kayla. Sebentar, ya Tante ke kamar dulu."
Setelah mendapat anggukan dari Ayra, Fiya segera ke kamarnya. Tak lama kemudian wanita yang memiliki sifat lemah lembut itu kembali dengan sebuah paper bag di tangannya.
"Ini apa, Tante?" tanya Ayra saat Fiya menyodorkan paper bag itu ke hadapannya.
"Buka aja. Hadiah dari Kayla."
Walau ragu Ayra akhirnya menerima paper bag itu kemudian melihat isinya. "Padahal aku nggak lagi ulang tahun, Tante. Eum ... aku boleh buka sekarang nggak, Tan? Aku penasaran sama isinya," izin Ayra seraya tersenyum canggung.
Setelah mendapat anggukan dari Fiya, Ayra pun membukanya dan betapa terkejutnya dia saat melihat isinya. Sebuah abaya hitam, dengan jilbab hitam panjang tanpa pet plus cadarnya.
"Tante cerita ke Kayla kalau kamu udah punya niat buat berjilbab, dan respons Kayla sangat senang dan dia langsung belikan itu buat kamu," ucap Fiya setelah melihat Ayra hanya terus menatap pemberian dari Kayla, anak pertamanya.
"Semoga kamu secepatnya, ya mantapin diri buat berjilbab," ucap Fiya lagi saat Ayra masih terus terdiam.
Ayra sontak mendongak dan menatap Fiya dengan senyuman. Jujur saja hati Ayra terasa bergetar saat mendengar harapan yang Fiya ucapkan barusan. "Tante aku boleh cobain bajunya nggak? Sekalian sama jilbab dan cadarnya juga?"
Fiya mengangguk mantap. "Boleh banget, Ra."
Setelah mendapat persetujuan dari Fiya, Ayra segera mengenakan pemberian Kayla. Setelah semuanya terpasang di tubuhnya, Senyum Fiya kian merekah.
"Gimana, Tante? Kelihatan aneh, nggak?" tanya Ayra di balik cadar yang menutupi permukaan wajahnya selain kedua mata bulat miliknya.
"Masya Allah. Cantik sekali, Ra. Dan sama sekali nggak kelihatan aneh, semoga kelak kamu bisa istikamah, ya," ujar Fiya lalu mendekati Ayra dan detik berikutnya wanita setengah baya itu mengusap kepala Ayra.
"Kak Ay, cantik sekali. Kayak Kak Kay," seru Oya yang sedari tadi diam di sofa singel.
"Makasih, Oya."
"Sebaik-baiknya seorang wanita adalah yang mampu menjaga auratnya dari laki-laki yang bukan mahram untuknya."
Ayra, Fiya, juga Oya segera menoleh ke sumber suara yang berada di tangga terakhir. Tampak seorang laki-laki yang masih mengenakan baju kaos putih yang dipadukan dengan sarung, bahkan sebuah peci masih melekat di atas kepalanya.
"Kak Akhtar."
"Aku doain, semoga Allah secepatnya menggerakkan hatimu, agar segera menutup aurat dengan sempurna," lanjut lelaki itu.
Dalam hati Ayra mengaminkan doa Akhtar sembari tersenyum haru. Ya, semoga saja dia bisa secepatnya memantapkan diri buat berjilbab. Bukan, karena Akhtar ataupun tuntunan dari orang-orang terdekatnya, melainkan karena dirinya sendiri.
// About Readiness //
Haluu, kita ketemu lagi, wkwkw. Aku nggak akan bosan-bosan buat ucapin makasih buat kalian yang udah ngikutin cerita ini. Makasih banyak, ya. Dan sampai ketemu lagi di hari Kamis dengan Chapter 4.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro