Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 28

Manusia itu milik Allah dan sudah pasti tempat berpulangnya juga kepada Allah.

// About Readiness //

Ayra menatap dokter spesialis jantung--Abi Akhtar yang ada di depannya dengan mata sembab dan pipi yang dipenuhi dengan air mata. Tatapannya penuh dengan kecemasan juga harapan baik tentang apa yang akan disampaikan dokter Rasyid kepadanya dan juga keluarganya.

"Maaf ... nyawa Pak Farhan tidak bisa kami selamatkan. Allah berkehendak lain dengan mengambil Pak Farhan lebih cepat."

Perkataan dokter Rasyid barusan bagaikan godam yang menghantam telak dada gadis bermata bulat itu. Bahkan tiba-tiba persendiannya terasa lemas begitu saja, hingga pada akhirnya dia terjatuh dan terduduk di lantai. Napasnya tampak naik turun tidak beraturan, sorot matanya yang sering terlihat ceria kini redup dengan kesakitan yang mendalam.

"Mama!" Ayra menoleh dan mendapati tubuh Aina yang sudah tidak sadarkan diri di pelukan Althaf. Hati Ayra kian tersayat, bahkan bergerak dari posisinya sekarang pun dia tidak kuat, apalagi menghampiri mamanya yang sedang pingsan itu.

Pada akhirnya Ayra hanya bisa melihat mamanya yang dibawa oleh suster dan dokter Rasyid dengan air mata yang kian deras membasahi pipinya. Ayra ingin bersuara, tetapi tenggorokannya terasa tercekat. Sungguh hal ini benar-benar menyakitkan dan mengguncang batinnya.

Allah kenapa harus papa? Kenapa bukan aku aja? batin Ayra berteriak nelangsa.

"Ayra ...." Panggilan dengan nada pelan itu masuk ke rungu Ayra, hingga membuatnya refleks menoleh.

Ayra hanya terdiam dengan sorot keterlukaan yang begitu mendalam saat netranya bertemu dengan netra milik Aditya. Saat Aditya berjongkok di hadapannya kemudian langsung merengkuh tubuhnya barulah isakan Ayra terdengar itupun teredam karena dia menyembunyikannya di dada Aditya.

Aditya memejamkan mata erat saat mendengar tangis Ayra yang seperti menyayat hati. Sembari mengelus pelan punggung Ayra, Aditya pun berkata. "Yang sabar, Ra. Jangan nangis, pasti papa nggak akan kenapa-kenapa, kok," ujar Aditya sepelan mungkin.

Mendengar itu tangis Ayra kian menjadi. Sembari mendongak menatap wajah Aditya, Ayra akhirnya bersuara. "Pa ... papa udah nggak ada, Bang."

Secara otomatis gerakan tangan Aditya yang mengelus punggung Ayra berhenti seketika, otak pria dewasa itu tampaknya sedang mencerna ulang perkataan Ayra barusan.

Ayra kembali menenggelamkan wajahnya di dada Aditya. "Papa udah pergi ninggalin kita semua," gumamnya sangat pelan yang masih bisa didengar jelas oleh Aditya.

Rasanya dunia Aditya runtuh seketika usai mendengar kabar dari Ayra barusan. Netranya tampak menatap nanar pintu ruang UGD yang ada di hadapannya. Anak mana yang tidak sedih mengetahui berita jika papanya sudah tidak ada? Namun, sebagai anak pertama dan tertua, Aditya tidak boleh lemah, dia harus kuat agar bisa membuat anggota keluarga lainnya ikut kuat juga, apalagi adik perempuannya yang sedang berada di pelukannya saat ini.

Aditya tahu jika Ayra sangat terpukul akan kepergian Farhan. Karena Aditya juga tahu seberapa dekat antara Ayra dan juga papanya. Dia memang sangat merasa sedih, bahkan ingin menangis, tetapi dia menahannya karena yang terpenting saat ini adalah menenangkan Ayra yang sedang menangis pilu di dalam pelukannya, dan tanpa Aditya tahu jika mamanya juga sedang tidak sadarkan diri.

// About Readiness //

Ayra menatap nanar pusara yang masih terlihat sangat basa di hadapannya. Wajahnya terlihat sangat lesu dan sedikit pucat lantaran belum menyentuh makanan sedikit pun. Karena hal itu kesedihan yang mendalam makin terlihat jelas di wajahnya.

Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya setelah pulang dari rumah sakit sampai saat ini. Beberapa keluarga terdekat bahkan Akhtar sekalipun Ayra tidak menanggapi mereka semua, dia hanya terus membisu dengan tatapan yang selalu terlihat kosong.

"Ayra ayo kita pulang. Kasian mama nunggu di mobil kelamaan."

Kegiatan Ayra yang sedang mengelus papan bertuliskan nama papanya berhenti seketika saat mendengar ucapan Althaf barusan. Dia menoleh kemudian menatap Althaf dengan tatapannya yang redup.

"Aku masih mau di sini. Kak Al pulang aja sama mama dan Bang Adit," ujarnya nyaris tidak terdengar, untung saja Althaf masih bisa mendengarnya walau agak samar.

Althaf mengembuskan napas dengan berat. Kemudian meninggalkan Ayra sendirian. Ayra kembali menatap pusara papanya, lagi-lagi air matanya kembali menetes saat kenangan demi kenangan bermunculan di dalam ingatannya.

"Nanti setelah lulus SMA kamu mau kuliah ambil jurusan apa?" tanya Farhan saat mereka sedang duduk di gazebo tepat di samping kolam berenang.

"Dokter spesialis jantung dong, Pa. Biar nanti aku bisa ngerawat dan obatin papa sampai sembuh."

"Aamiin, semoga cita-cita kamu kesampaian ya, Sayang," ujar Farhan seraya menarik Ayra ke dalam pelukannya.

"Ya harus dong, Pa. Biar nanti aku bisa jadi dokter pribadinya Papa 24 jam full dan tanpa dipungut biaya apa pun pastinya."

Ayra tersenyum miris saat kenangan itu terlintas bersama kenangan-kenangan lain dengan papanya. "Andai papa masih bertahan sampai aku udah jadi dokter spesialis jantung, mungkin aku udah ngerawat dan sembuhin papa sampai benar-benar sembuh total. Tapi sekarang papa udah pergi. Itu artinya aku udah nggak punya alasan lagi untuk kuliah kedokteran, kan?" lirih Ayra dengan kesesakan yang memenuhi rongga dadanya.

"Papa ...." Ayra menggigit kuat bibir bawahnya saat merasa dadanya sangat-sangat sesak. "Aku pengen dipeluk papa. Biasanya kalau aku nangis kayak gini pasti papa langsung nenangin aku, tapi sekarang kenapa nggak?" racau Ayra dengan sesegukan.

"Ayra, ayo pulang kasihan mama butuh istirahat. Mama nggak mau pulang kalau lo juga nggak pulang. Please, kali ini dengerin omongan gue." Althaf ternyata kembali datang dan juga kembali membujuk Ayra agar pulang.

Pada akhirnya Ayra mengangguk, dan memutuskan untuk mengikuti langkah Althaf untuk ke mobil. Sebelum benar-benar menjauh dari pusara Farhan, Ayra kembali menoleh dan menatap sedih ke arah pusara papanya. "Bahkan, belum cukup sehari papa pergi, tapi aku udah sekangen ini. Gimana nanti kalau udah berhari-hari bahkan bertahun-tahun?" batinnya bertanya.

// About Readiness //

Ayra duduk di balkon kamarnya sembari memegang pas foto berukuran kecil yang selalu terpampang di atas meja nakas samping tempat tidurnya. Wajah pucat sarat akan kesedihan yang mendalam membuatnya terlihat tidak bergairah menjalani hidupnya.

Sepulang dari kuburan tadi, Ayra langsung masuk ke kamar dan tidak pernah keluar sampai saat ini. Untuk sekadar minum pun Ayra tidak pernah apalagi makan. Sudah beberapa kali juga Aditya, Althaf, dan Aina mengetuk pintu kamar dan menyuruhnya untuk keluar, tetapi Ayra tidak menggubris, dia terlalu asyik hanyut ke dalam kenangan indah yang realitanya membuat dia semakin merasa sesak lantaran masih sangat berharap jika papanya masih hidup.

"Ayra gue masuk, ya ...."

Ayra tidak bergerak sedikit pun dari posisinya setelah mendengar suara Bintang di balik pintu kamarnya yang terkunci rapat. Tak lama kemudian suara kenop pintu terdengar hingga membuat Ayra refleks menoleh dan menemukan Bintang yang kini berdiri di belakangnya sembari menatapnya dengan sorot yang tidak bisa Ayra artikan.

Ayra kembali menatap lurus ke depan, tepatnya ke jendela kaca yang tertutupi gorden hitam milik Akhtar saat Bintang berjalan ke arahnya kemudian mendudukkan diri tepat di sampingnya.

"Gue tahu lo pasti sedih banget kehilangan Om Farhan, tapi lo juga harus tahu kalau bukan cuman lo yang ngerasa kehilangan. Tante Aina, Bang Adit, dan Kak Al juga ngerasain hal yang sama kayak lo, tapi mereka tetap tegar dan berusaha ngikhlasin kepergian Om Farhan. Kenapa lo nggak kayak mereka, Ra? Coba deh lo ikhlasin kepergian Om Farhan, biar lo nggak akan terlalu larut sama kesedihan lo saat ini," ujar Bintang sepelan mungkin seraya menatap wajah pucat dan sembab milik Ayra dari samping.

"Kamu nggak akan ngerti, Bi gimana rasanya kehilangan orang yang paling kita sayangi. Ngikhlasin kepergian papa itu nggak semudah yang kamu pikir, Bi ...," balas Ayra dengan nada sendu.

"Iya gue tahu. Tapi lo juga harus mikirin perasaan keluarga lo yang khawatir sama keadaan lo sekarang ini. Mereka juga sedih ditambah lo yang nggak mau makan makin ngebuat mereka kepikiran dan terbebani," tutup Bintang seraya beranjak dari duduknya. "Gue ngomong gini bukan karena marah atau nggak ngertiin perasaan lo. Cuman, gue ngomong gini biar pikiran lo terbuka kalau di dunia ini lo masih punya mama dan dua orang kakak itu aja, Ra."

Ayra tetap bungkam, tetapi Bintang tahu jika Ayra sedang memikirkan semua ucapannya.

"O mih iya satu lagi yang harus lo tahu ... sebenarnya gue nggak mau bilang ini sama lo karena waktunya nggak pas. Tapi cepat atau lambat lo memang udah harus tahu berita ini ...." Bintang menarik napa dalam, kemudian mengembuskannya dengan pelan.

"Tadi gue nggak sengaja denger obrolan Kak Althaf sama Kak Akhtar. Ternyata tiga hari yang lalu Kak Akhtar habis ngelamar perempuan lain dan lamarannya diterima ...." Ada sekitar jeda beberapa detik sebelum Bintang kembali melanjutkan ucapannya dengan berkata. "Saran gue, sebaiknya lo move on aja sama Kak Akhtar, Ra."

Deg ....

// About Readiness //

Malaaaam. Makasih udah bertahan sampai sejauh ini dan seehhu di Chapter 29!!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro