Chapter 26
Jika ada kata-kata yang melukai hati, menunduklah dan biarkan ia melewatimu. (jangan dimasukkan hati agar tidak lelah hatimu).
Ali bin Abi Thalib.
// About Readiness //
"Loh ...."
Ayra menggaruk kepalanya yang tertutupi tudung hoodie, seraya menggigit bibir bawahnya. Gadis itu bisa melihat raut keterkejutan yang muncul di wajah keluarganya yang kini sedang duduk di meja makan.
"Kok buka lagi, sih, Cil? Jangan buat malaikat bingung deh," komentar Althaf pertama kali.
Ayra mendelik kesal ke arah Althaf. "Siapa juga yang mau buat malaikat bingung, sih, Kak ...?"
Sebelum banyak kalimat yang keluar dari mulut Ayra, Farhan sudah lebih dulu memotongnya dengan menyuruh Ayra untuk duduk di tempatnya. Mau tidak mau Ayra menurut, lalu melotot kesal ke arah Althaf.
"Jadi, Ayra bisa dijelasin, kenapa jilbabnya dilepas lagi?" tanya Farhan yang membuat atensi Ayra segera menoleh ke arahnya.
"Maaf, Pa. Tapi, aku masih malu buat make jilbab ke sekolah, takut dicerita yang nggak-nggak, sama temen-temen," cerita Ayra pelan, tetapi masih mampu didengar oleh anggota keluarga lainnya.
Farhan tampak mengangguk beberapa kali seraya tersenyum. Hal itu juga dilakukan oleh Aina, sementara Aditya hanya diam sembari fokus dengan sarapannya.
"Ngapain harus malu coba? Lo nggak lagi ngelakuin hal buruk kali. Terus, omongan temen-temen lo yang nggak enak yaudah biarin aja. Nggak usah didengerin, apa susahnya?" Sepertinya Althaf memang pemicu dari segala perdebatannya dengan Ayra. Lihatlah lelaki itu berkata demikian dengan raut wajah yang sangat songong di mata Ayra.
"Aku tahu, kok make jilbab bukan hal yang buruk. Tapi berusaha nggak dengerin omongan jelek orang tentang kita itu susah, Kak. Hati perempuan sama laki-laki itu beda ... mungkin kalau orang lain ngomong yang nggak-nggak tentang Kak Al, Kak Al bakalan biasa aja dan bersikap bodo amat. Nah sementara aku ...?" Mata Ayra tampak berkaca-kaca saat mengucapkan perkataannya barusan.
Karena memang sedari subuh otak dan hatinya saling menyerukan pendapat yang berbeda, hingga Ayra sendiri pusing dibuatnya. Dia bimbang antara ingin berhijab ke sekolah ataukah tidak. Dan pada akhirnya gadis bermata bulat itu menuruti keinginan pikirannya.
"Althaf." Teguran tegas itu keluar dari mulut Aditya, setelah mendengar nada suara Ayra yang terdengar pelan dan sedikit bergetar.
"Okay. Maaf." Hanya itu yang bisa Althaf ucapkan, lalu setelahnya dia mulai fokus pada sarapannya.
"Ya udah, nggak apa-apa kalau memang kamu belum siap buat make hijab ke sekolah. Tapi kalau udah pulang sekolah dan mau ke mana-mana kecuali ke sekolah, boleh dong ya jilbabnya dipake lagi?"
"Niatnya gitu, Ma. Tapi kalau aku kayak gitu, nggak mainin jilbab kah namanya?" tanya Ayra pelan.
"Nggak, dong. Kan, biar kamu jadi kebiasaan pake jilbabnya. Kan, kalau kita udah biasa make jilbab, terus pas dibuka tuh perasaan kita kayak gelisah, kan? Jadi siapa tahu karena itu akhirnya kamu mutusin buat berani pake jilbab ke sekolah," jawab Aina, "lagian niat awal kamu pake jilbab emang bukan karena ingin main-main, kan?" lanjut Aina dengan pertanyaan yang kemudian diangguki oleh Ayra.
"Nah, jadi kamu nggak perlu takut dan mikir kalau kamu lagi mainin jilbab karena masih buka tutup. Karena niat kamu dari awal emang bukan kayak gitu."
Ayra mengangguk beberapa kali. Seolah dia sangat paham dengan apa yang baru saja dijelaskan oleh mamanya. "Jadi, nggak apa-apa, ya kalau aku nggak make jilbab? Tapi aku bawa jilbab di tas, kok. Nanti kalau udah pulang sekolah aku bakalan pake lagi," ujar Ayra.
"Iya, nggak apa-apa, Sayang." Tanpa sengaja Farhan dan Aina mengucapkan kalimat berbarengan hingga membuat senyum di wajah Ayra terlihat.
// About Readiness //
"Ra, ini lagi panas banget loh. Ngapain pake hoodie segala sampe tudungnya pun lo pake juga? Sakit lo?" tanya Bintang seraya menatap Ayra dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Terus, ngapain juga lo make baju panjang sama rok panjang kayak gitu? Tapi jilbabnya nggak dipake."
Ayra menepis pelan tangan Bintang yang hendak menempel di dahinya. "Aku nggak sakit, kok. Aku sengaja kayak gini, karena nyembunyiin sedikit aurat aku, walaupun masih ada yang kelihatan," jelas Ayra, "Sebenarnya aku pengen pake jilbab, tapi malu, Bi. Takut diomongin yang nggak-nggak sama anak-anak yang lain, makanya aku tutup kepala pake topi hoodie aja."
"Lah, ngapain lo harus malu coba? Lo make jilbab juga kebaikan, kan? Jadi nggak perlu malu lah, Ra. Terus, kalaupun memang ada yang ngomong nggak-nggak tentang lo, yaudah biarin aja nggak usah lo masukin di hati," nasihat Bintang. Ucapan sepupunya itu sangat mirip dengan apa yang Althaf ucapkan tadi pagi saat sarapan. Hanya saja, intonasi yang Bintang gunakan lebih santai dan tidak sinis, beda dengan Althaf.
"Berusaha bodo amat sama omongan orang nggak semudah itu, Bi," balas Ayra.
"Iya, sih. Yaudahlah terserah lo aja. Tapi gue doain deh, semoga lo secepatnya, ya bisa make jilbab dan nggak ngerasa malu lagi."
Ayra mengangguk seraya tersenyum. "Makasih, Bintang. Semoga kamu juga, ya. Yuk, ke kantin aku yang traktir," ajak Ayra seraya merangkul lengan Bintang dan mengajak sepupunya itu bangkit dari bangku tempat mereka duduk.
"Ya, doain aja. Lo habis ngerampok Bang Adit lagi, ya, Ra?" tanya Bintang dengan mata yang memicing.
Ayra tidak menjawab, melainkan gadis bermata bulat itu hanya menunjukkan cengirannya lalu menarik tangan Bintang untuk keluar kelas menuju kantin.
"Kak Akhtar ...."
Bintang menatap Ayra, kemudian mengikuti arah pandangan gadis bermata bulat itu. Detik berikutnya decakan pelan keluar dari mulutnya. "Lo, ya bener-bener ... di sana bukan cuman ada Kak Akhtar doang, tapi Kak Althaf juga ada. Terus lo cuman nyebut nama Kak Akhtar doang, seolah-olah di sana Kak Akhtar nggak ada. Padahal dia kakak kandung lo," omel Bintang tidak habis pikir.
"Ayo, Bi kita gabung makan bareng mereka aja." Setelah mengatakan itu Ayra langsung pergi menghampiri meja Akhtar dan Althaf, dia bahkan meninggalkan Bintang yang hanya bisa menggeleng pelan melihat tingkah laku Ayra jika sudah berhubungan dengan Akhtar.
"Cinta oh cinta ... kesian gue sebenarnya sama lo, Ra. Sampai sekarang lo masih aja terus harapin cintanya Kak Akhtar, tapi kalau diliat-liat kayaknya Kak Akhtar sama sekali nggak ada perasaan apa-apa sama lo. Miris banget, Ra," gumam Bintang, kemudian mulai melangkah mengikuti langkah Ayra yang sudah duduk di meja yang sama dengan Akhtar dan Althaf.
"Kak Akhtar, ngapain ke sekolah? Bukannya harusnya udah libur, ya?Kan udah selesai ujian."
"Jilbabnya kok nggak dipake lagi, Ay?" Bukannya menjawab pertanyaan Ayra, lelaki bertubuh tinggi itu justru ikut bertanya, tetapi dengan topik yang berbeda.
Ayra menggigit bibir bawahnya, kemudian menatap Akhtar. "Eum ...."
"Malu dia, Tar. Takut juga diomongin yang nggak-nggak sama anak-anak, makanya lepas jilbab. Kan kasian, malaikat dibuat bingung sama nih bocil. Bentar-bentar make jilbab, bentar-bentar lagi lepas jilbab." Althaf langsung memotong ucapan Ayra dan kembali mengucapkan kalimat yang berhasil membuat Ayra kesal.
Sebenarnya Ayra ini pusing dengan tingkah laku Althaf. Kata Althaf dia menyanginya, tapi kenapa lelaki itu selalu mendebatnya, ucapannya pun selalu saja sinis. Apa itu yang dinamakan kakak sayang sama adiknya? Beda dengan Adit, tanpa dipertanyakan pun Ayra tahu jika abangnya satu itu sangat sayang kepadanya.
"Benar begitu, Ayra?" tanya Akhtar dan mendapat anggukan pelan dari Ayra.
"Padahal kamu nggak perlu malu, loh. Kan kamu ngelakuin hal yang mulia dan juga kewajibannya seorang perempuan muslim. Dan untuk omongan jelek orang-orang ke kamu itu belum tentu terjadi, karena itu hanya ada di pikiran kamu yang terlampau takut dicerita yang nggak-nggak."
Ayra terdiam beberapa saat. Berusaha mencerna ucapan Akhtar. Dan, ya ucapan lelaki itu ada benarnya juga, tetapi tetap saja dia masih merasa malu dan belum siap berjilbab ke sekolah.
// About Readiness //
Malaaam epriwan .... Cuman mau ngucapin makasih udah stay sama cerita ini. Seehhu di Chapter 27!!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro