Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 25

Jika jilbab adalah mahkotanya wanita muslimah, lantas mengapa beberapa wanita muslim tidak memakai jilbab?

Ayra.

// About Readiness //

Ayra tampak menyiram tanaman milik Aina di halaman rumah sembari mulutnya yang sibuk melantunkan lagu salawat yang belakangan ini sering dia putar setelah pulang dari pesantren kemarin sore.

Rambut yang biasanya terurai atau dicepol asal, kini sudah tidak terlihat lagi lantaran ada sebuah kain yang bernama jilbab--yang menutup sempurna kepalanya.

Sepulang dari pesantren kemarin sore, Ayra sama sekali belum pernah melepas jilbabnya kecuali saat dia tidur atau berada di dalam rumah. Saat keluar rumah maka dia akan kembali memasang jilbabnya sama seperti apa yang sering dia lakukan di pesantren kemarin.

Jangan tanya bagaimana respons keluarganya, karena tentu saja mereka sangat bahagia dengan keputusan Ayra yang kini mulai mengenakan hijab. Apalagi Farhan dan Aditya, kedua pria itu bahkan dengan sangat antusias ingin langsung mengajak Ayra ke mal untuk membeli pakaian baru dan beberapa jilbab buat Ayra.

Namun, Ayra menolak dengan alasan bahwa dia sudah memiliki cukup baju gamis atau lengan panjang untuk dipakai hari-hari. Ayra sangat terharu mendapat respons yang sangat antusias dari keluarganya, bahkan kemarin gadis bermata bulat itu sempat meneteskan air mata kebahagiaannya.

"Assalamualaikum, Ayra."

Ayra yang sedang fokus menatap tanaman mamanya, seketika menoleh ke arah gerbang, di mana asal suara yang baru saja memanggil namanya berasal.

"Waalaikumsalam ... Tante Fiya?" Ayra segera meletakkan selang yang dipakainya untuk menyiram tanaman, kemudian mematikan keran. Setelah itu, dia menghampiri Fiya yang berada di luar pagar.

"Tante Fiya, ada apa?" tanya Ayra setelah membuka pagar rumahnya, karena kebetulan satpam rumahnya sedang pulang kampung.

"Ini, Tante mau balikin rantang mama kamu." Fiya menyerahkan rantang bertingkat tiga itu pada Ayra.

"Oh ... mau masuk dulu, Tante? Kebetulan cuman ada aku dan mama yang ada di rumah, yang lain pada keluar," tawar Ayra seraya menunjuk rumahnya dengan jempol.

Fiya tampak menggeleng dengan mata yang menyipit lantaran sedang tersenyum di balik cadarnya. "Besok-besok saja, Ayra. Ini Tante mau pergi udah ditunggu itu," ujar Fiya seraya menunjuk ke belakang.

Ayra mengikuti arah telunjuknya dan tatapannya langsung tertuju pada Akhtar yang baru saja keluar dari pagar rumahnya. "Kalau boleh tahu, Tante mau ke mana? Itu, Kak Akhtar ikut juga, ya, Tan?" tanya Ayra penasaran.

Fiya tidak langsung menjawab pertanyaan Ayra, justru wanita bercadar itu tampak terdiam sembari menatap Ayra dengan tatapan yang sulit untuk didefinisikan.

"Tante ...?" panggil Ayra pelan lantaran Fiya masih terus menatapnya dengan tatapan sebelumnya.

"Ah ... ini. Kita mau silaturahmi ke rumah sahabatnya Abi Kayla," jelas Fiya seraya kembali tersenyum.

"Kak Akhtar ikut, Tante? Tumben, biasanya dia paling nggak mau ikut, kan, Tante? Kecuali kalau lebaran," tanya Ayra lagi. Jangan heran kenapa Ayra bisa tahu semua tentang, Akhtar. Karena memang gadis bermata bulat itu sangat bucin pada anak lelaki Fiya.

"Karena dia juga mau ketemu sama teman kecilnya, Ra. Makanya dia ikut," jawab Fiya lagi yang kemudian mendapat anggukan paham dari Ayra.

"Oh gitu, ya, Tan. Ya udah Tante sama keluarga hati-hati di jalan, ya."

Fiya tampak mengangguk masih dengan senyumnya. "Iya, Ayra. Kamu cantik pake jilbab, semoga bisa istiqama, ya. Dan semoga kamu bahagia serta mendapat jodoh yang baik dan saleh. Assalamualaikum."

"Aamiin. Waalaikumsalam, Tante," jawab Ayra, lalu setelah Fiya pergi Ayra kembali menutup pagar rumahnya.

"Dan semoga jodohku Kak Akhtar, ya, Tan," gumam Ayra sembari memperhatikan mobil Abi Kayla yang mulai melaju.

// About Readiness //

"Mama ... Mama di mana?" teriak Ayra saat dia baru saja turun dari lantai dua.

"Di samping kolam, Ra," balas Aina dengan teriakan juga.

Mendengar itu, Ayra mulai berjalan ke arah pintu yang terhubung dengan kolam renang. Saat melihat mamanya duduk di gazebo yang berada di samping kolam, gadis itu segera menghampiri mamanya.

"Mama lagi ngapain?" tanya Ayra setelah tiba di gazebo dan mendudukkan dirinya di samping Aina.

"Lagi kupas nanas, Ra. Abang kamu ngerequest kepengen dibuatin kue nastar," jawab Aina seraya melirik sekilas ke arah Ayra.

Ayra mengangguk paham. "Bahan-bahannya udah ada belum, Ma?"

"Belum, Ra. Nanti kalau kakak kamu udah dateng, tolong minta dia temenin kamu ke supermarket, ya buat beli bahan-bahannya," ujar Aina lagi yang kemudian mendapat anggukan setuju dari Ayra.

"Okay, Ma. Papa sama Kak Althaf masih lama pulangnya?" tanya Ayra lagi.

"Bentar lagi juga pulang, kok."

Ayra mengangguk lagi, kemudian mulai memainkan ponselnya dan membiarkan Aina fokus mengerjakan pekerjaannya. Bukannya Ayra tidak ingin membantu hanya saja, dia tahu Aina tidak akan mau mengizinkannya karena memang Ayra paling tidak tahu mengupas buah nanas.

"Mama seneng deh, akhirnya kamu bisa mulai pake jilbab," ujar Aina tiba-tiba yang membuat kegiatan Ayra berhenti karena kini atensinya beralih menatap Aina.

"Alhamdulillah, Ma. Doain Ayra terus, ya Ma biar bisa istiqama."

"Pasti, Sayang," ujar Aina, "kamu tahu, nggak kalau sebenarnya jilbab itu mahkotanya wanita muslimah?"

"Gitu, ya, Ma? Tapi kalau jilbab adalah mahkotanya wanita muslimah, kenapa masih banyak wanita muslim yang belum menggunakan jilbab?" tanya Ayra penasaran.

"Mama juga nggak tahu pasti, tapi kemungkinan karena mereka nggak tahu, atau kalaupun mereka tahu, tapi mereka masih belum siap dan dapat hidayah makanya mereka belum menggunakan jilbab," jawab Aina yang kemudian mendapat anggukan paham dari Ayra.

"Tapi, Ma sebenarnya aku masih takut. Takut kalau nanti aku di-judge 'udah make jilbab, tapi kelakuan masih mines', aku takut kalau ada yang bilang kayak gitu ke aku, Ma," cerita Ayra seraya menunjukkan wajah memelasnya.

"Sayang ...." Aina mengelus kepala Ayra dengan sayang setelah dia selesai dengan pekerjaannya. "Kenapa harus takut? Kalau ada yang ngomong gitu ke kamu, ya berarti bagus. Omongan mereka itu bisa kamu buat sebagai acuan untuk memperbaiki atitude kamu."

"Gitu, ya, Ma?" tanya Ayra dan mendapat anggukan dari Aina.

"Iya, Sayang."

Ayra mulai tersenyum, lalu kdetik berikutnya langsung memeluk mamanya dengan erat, dia juga menyelipkan kecupan di pipi kanan Aina. "Makasih, karena udah jadi mama yang terbaik buat aku, Bang Adit, dan Kak Althaf, ya, Ma."

"Iya, Sayang. Sama-sama"

"Ada apa ini? Kenapa pada pelukan dan papa nggak diajak?"

Ayra melepas pelukannya, kemudian menoleh dan langsung beranjak dari duduknya kemudian langsung memeluk Farhan dengan erat. "Nih, aku peluk Papa juga," ujar Ayra sembari mengecup pipi papanya.

"Kak Al mana, Pa?" tanya Ayra setelah melepas pelukannya.

"Tadi katanya mau ke kamar ...." Belum sempat Farhan menyelesaikan ucapannya Ayra sudah langsung memotongnya.

"Ya udah aku samperin Kak Al, dulu. Papa di sini aja temenin mama. Okeee!"

Setelah itu Ayra langsung pergi menuju kamar Althaf. Saat tiba di sana, seperti kebiasaannya Ayra langsung membuka pintu dengan pelan tanpa mengetuknya lebih dulu.

"Gue mohon sama lo, Ayra nggak usah dikasih tahu. Oke!"

Ayra mengernyit bingung saat mendengar ucapan Althaf barusan. Lelaki itu sepertinya sedang berbicara dengan seseorang yang berada di seberang telepon.

"Aku nggak usah dikasih tahu apa, Kak?" Ayra langsung masuk ke kamar Althaf dan menghampiri kakaknya itu.

"Ayra." Althaf tampak terkejut mendapati kehadiran Ayra yang tiba-tiba tanpa dia sadari.

// About Readiness //

Malaaaam. Cuman mau ngucapin, makasih karena udah setia sama cerita ini. Seehhu di Chapter 26!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro