Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 24

Kenangan saja bisa hilang seiring dengan berjalannya waktu, berarti bisa jadi perasaan juga akan menghilang seiring dengan tidak adanya pertemuan antara aku dan kamu?

Ayra.

// About Readiness //

"Ternyata love story kita terlalu ribet, ya."

Perkataan Gus Yusuf semalam masih terngiang-ngiang di kepala Ayra sampai saat ini. Dia masih terus memikirkan apa maksud dari kalimat yang Gus Yusuf katakan semalam.

"Love story kita terlalu ribet ...," gumam Ayra seraya memperhatikan langit cerah melalu jendela kamar Kayla. "Gus Yusuf bilang gitu pas dia tahu kalau aku suka sama Kak Akhtar ... atau jangan-jangan Gus Yusuf suka sama aku, tapi akunya suka sama Kak Akhtar, itu kenapa dia bilang, kalau cerita cinta kita terlalu ribet?"

"Aaaaaa ... tahu ah! Pusing aku. Lagian aku juga nggak mau kegeeran. Mana mungkin Gus Yusuf suka sama aku, orang kita aja baru ketemu baru-baru ini," gumam Ayra gemas lantaran pikirannya yang sudah tidak waras karena berpikir jika Gus Yusuf menyukainya.

"Daripada mikirin yang nggak-nggak, lebih baik aku packing," ujarnya lagi, lalu beranjak dari kasur menuju lemari di mana pakaiannya tersimpan.

Hari ini adalah hari terakhir Ayra di pesantren. Karena lusa, dia sudah kembali bersekolah lagi, karena kakak kelasnya sudah selesai melakukan ujian. Dia juga sudah tidak akan ikut program lagi, karena program terakhir yang dia ikuti berlangsung pagi tadi sekitar pukul tujuh lewat.

Usai memasukkan semua barangnya ke dalam ransel, Ayra langsung keluar kamar untuk menuju asrama santriwati untuk berpamitan. Takutnya jika menunda, jemputannya sudah datang dan dia sudah tidak sempat lagi untuk pamitan kepada semua teman-teman barunya selama di pesantren.

"Mau ke mana, Ayra?" Ayra sontak menoleh ke arah ruang tamu, di sana tampak Nyai Aminah sedang duduk sembari memegang kitab yang sering Ayra lihat dibaca oleh Kayla.

"Mau ke asrama santriwati dulu, Nyai. Aku mau pamitan, mumpung jemputan aku belum dateng," jawab Ayra setelah tiba di hadapan Nyai Aminah.

"Oh ya sudah. Nanti kalau kamu lihat Jihan, tolong panggil ke sini, ya," ujar Nyai Aminah dengan lembut seraya tersenyum.

"Iya, Nyai. Insya Allah. Ya sudah kalau begitu saya ke asrama dulu, ya. Assalamualaikum." Ayra mengambil tangan Nyai Aminah untuk disalaminya kemudian setelah mendapat jawaban salam, Ayra pun bergegas pergi.

// About Readiness //

"Mbak, lihat Mbak Jihan nggak?" tanya Ayra pada salah satu santriwati yang sering dia lihat berjalan dengan Jihan.

"Mbak Jihan lagi ke koperasi, Mbak. Sebentar lagi juga dia dateng. Kenapa memangnya?" jawab gadis berjilbab maroon itu.

"Aku mau nyampein amanah dari Nyai Aminah, Mbak," jawab Ayra seraya tersenyum dan kemudian mendapat anggukan paham dari gadis yang ditanyainya tadi.

Ayra berpamitan setelah mengucapkan terima kasih. Gadis itu menghampiri sebuah bangku panjang yang ada di depan kamar Jihan dengan gadis yang ditanyainya tadi. Setelah mendudukkan dirinya, bertepatan dengan itu Jihan juga baru saja tiba dan langsung menghampiri Ayra ketika melihat gadis bermata bulat itu sedang duduk di depan kamarnya.

"Assalamualaikum, Ayra. Kamu ngapain di sini?" tanya Jihan seraya tersenyum.

Senyum Mbak Jihan manis, batin Ayra.

Ayra segera berdiri lalu menjawab salam Jihan. "Tadi abis pamitan sama yang lain, Mbak. Soalnya hari ini aku udah mau pulang, lusa udah masuk sekolah lagi," jelas Ayra yang kemudian mendapat anggukan paham dari Jihan.

"Aku ke sini juga mau nyampein amanah dari Nyai Aminah, kalau beliau manggil Mbak," lanjut Ayra.

"Ah begitu, ya. Ini kamu mau ke sana juga? Kalau begitu kita sama-sama aja ke sananya gimana?"

"Ya udah. Ayo, Mbak."

"Sebentar, aku mau bawa masuk ini dulu."

Ayra mengangguk, kemudian menunggu Jihan yang sedang membawa belanjaannya masuk ke dalam kamar. Tak membutuhkan waktu lama gadis itu sudah keluar sembari membawa sebuah jaket yang sangat familiar di indra penglihatan Ayra.

"Ayo, Ayra," ajak Jihan, tetapi Ayra justru tidak merespons karena pusat perhatiannya hanya tertuju pada jaket hitam yang ada di tangan Jihan.

"Ayra, kenapa bengong?" tanya Jihan seraya memegang pundak Ayra dengan lembut.

"Itu ... jaket siapa, Mbak?" tanya Ayra seraya menunjuk jaket yang ada di tangan Jihan.

Jihan ikut melihat jaket yang ada di tangannya, kemudian senyum gadis itu merekah. "Oh ... ini jaketnya Gus Akhtar. Sebenarnya aku mau minta tolong ke kamu buat balikin jaket ini. Nggak ngerepotin, kan?" tanya Jihan seraya memasang senyum tidak enak di wajahnya.

"Jaketnya Kak Akhtar kenapa bisa ada di Mbak Jihan?" tanya Ayra pelan seraya menatap lekat manik Jihan.

"Waktu itu aku dipenjemin pas di rumah sakit. Cuman aku nggak bisa kembaliin karena kita belum pernah ketemu lagi. Mumpung kamu mau pulang, ya udah aku titip ke kamu aja. Karena, kan rumah kalian berhadapan," jelas Jihan seraya tersenyum. Kemudian menyodorkan jaket itu.

Ayra terdiam. Seketika rasa iri langsung bercokol di dalam hatinya. Sekalipun Akhtar tidak pernah meminjamkan jaket kepadanya, bahkan waktu itu mereka hujan-hujanan pulang dari minimarket, Akhtar sama sekali tidak menawarkannya jaket, lalu kenapa pada Jihan lelaki itu berbeda?

Ayra tersenyum tipis, tetapi sarat akan rasa sedih yang dia rasakan. Nyatanya, belakangan ini hatinya kerap terluka jika hal itu berkaitan dengan Jihan dan Akhtar.

"Mbak Jihan aku boleh nanya? Tapi ini agar privacy sebenarnya. Boleh nggak?"

Sepertinya ini adalah waktu yang tepat untuk mengetahui yang sebenarnya--untuk mengetahui ada hubungan apa sebenarnya antara Akhtar dan Jihan.

"Boleh, Ayra. Mau nanya apa?" balas Jihan seraya tersenyum.

Ayra ikut tersenyum walau tidak selebar sebelum pembahasan jaket milik Akhtar. "Mbak Jihan, sebenarnya Mbak Jihan sama ...."

"Assalamualaikum. Mbak Ayra, itu orang tuanya Mbak Ayra sudah menunggu."

Lagi-lagi Ayra batal mengetahui hubungan Akhtar dan juga Jihan. Sepertinya semesta tidak ingin jika Ayra mengetahuinya. Namun, sampai kapan? Sampai kapan kepenasaran ini akan terus tertanam di dalam hati dan pikiran Ayra? Ayra sudah merasa lelah memikirkan semuanya.

"Waalaikumsalam, Mbak. Oke, makasih, ya, Mbak." Pada akhirnya Ayra kalah. Lagi-lagi pertanyaan itu akan dia simpan sampai pada akhirnya nanti semuanya terungkap.

Ayra yakin, akan ada masanya di mana dia akan mengetahui fakta-fakta yang selama ini dicarinya. Dia hanya perlu menunggu sampai waktu itu datang. Dia harus lebih memperbanyak sabar lagi. Karena seperti yang dia pelajari di dalam mata pelajaran Hadis yang berbunyi: 'innallaha ma'ashobrin' yang artinya 'sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang sabar'.

Setelah berpamitan pada Kiai Abyan, Nyai Aminah, dan juga Kayla. Ayra segera mengikuti langkah Aditya dan Aina untuk masuk ke dalam mobil. Saat Ayra sudah di dalam mobil dan melihat ke arah jendela, tatapannya langsung tertuju pada Gus Yusuf yang tampak sedang mengobrol dengan Jihan.

"Mereka dekat juga kah?" gumam Ayra penasaran.

// About Readiness //

Malaaaam, nggak kerasa udah sampai chapter 24 aja. Makasih udah bertahan sampai di Chapter ini. Seehuu di chapter 25!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro