Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 21

Hidayah itu dijemput, bukan ditunggu. Karena sebenarnya hidayah yang Allah kasih sudah ada di depan mata, sisa kita yang melangkah maju untuk mengambil hidayah itu.

// About Readiness //

"Habis ini, masih ada program lagi nggak?" tanya Ayra setelah keluar dari kelas yang baru saja selesai.

Naya--salah satu teman baru Ayra di pesantren menggeleng pelan. "Nggak ada lagi, Mbak. Kalau jam segini kita disuruh istirahat, tidur siang. Nanti bakda Zuhur baru program lagi," jelas Naya seraya memperbaiki jilbabnya yang diterpa angin.

Ayra mengangguk paham. Setelah itu berpamitan pada Naya untuk kembali ke rumah Kiai Abyan, karena memang selama lima hari menuntut ilmu di pesantren ini Ayra akan tinggal dengan Kayla di rumah Kiai Abyan.

Saat berjalan menuju rumah Kiai, Ayra sesekali menunduk sesekali juga menatap ke depan untuk menyapa beberapa santriwati yang berpapasan dengannya, walaupun Ayra tidak mengenal mereka. Namun, saat sudah dekat dengan rumah Kiai Abyan, Ayra segera mempercepat langkahnya agar bisa tiba dengan cepat, pasalnya ada banyak santri yang berlalu-lalang di sekitar pekarangan rumah Kiai Abyan.

Tidak heran memang, mengapa bisa ada banyak santri yang berlalu-lalang di sekitar rumah Kiai, karena memang rumah Kiai Abyan berada di antara kawasan santri dan santriwati. Namun, kejadian nahas menimpa Ayra saat sedikit lagi langkahnya mendekat ke tangga rumah Kiai Abyan. Karena tidak berhati-hati dan melihat ke arah bawah, Ayra sampai menginjak genangan air yang becek sehingga mengakibatkan sebelah kakinya menjadi kotor. Untung saja, rok yang dikenakannya tidak terciprat, jadi dia tidak perlu khawatir jika roknya akan kotor.

"Ya Allah, gara-gara pengen cepat sampai di rumah Kiai, sampai nggak merhatiin jalan. Kan, kakiku jadi kotor," omel Ayra pada diri sendiri sembari memperhatikan kakinya yang kotor. Tidak heran jika Ayra sangat suka mengomeli orang lain terlebih pada Althaf, karena pada dirinya sendiri pun dia juga suka mengomel.

Ayra mengurungkan niat untuk melanjutkan langkah ke rumah Kiai Abyan, ia berbelok dan berjalan di samping rumah untuk menuju sumur yang ada di belakang, yang biasanya ditempati untuk mencuci baju. Karena tidak mungkin dirinya masuk rumah dalam keadaan kaki yang kotor seperti ini. Yang ada dirinya bisa dicap tidak tahu diri oleh orang rumah Kiai. Sudah diizinkan menginap dan belajar secara gratis, malah tidak tahu diri. Walau pada nyatanya hal itu hanya ada di pikiran Ayra yang belum tentu akan terjadi.

Untung saja, Ayra bukan anak mami yang tidak tahu atau tidak kuat menimba air di sumur, pasalnya jika sedang liburan ke Bandung--di rumah neneknya hampir setiap hari dia menimba air di sumur jika sedang mati listrik. Jadi Ayra sudah terbiasa. Setelah menimba air, Ayra segera mencuci kakinya yang kotor sampai bersih.

Usai mengembalikan timba pada tempatnya, Ayra hendak meninggalkan sumur itu, tetapi langkahnya seketika terhenti ketika ada sebuah kaleng minuman kosong yang mengenai kepalanya. Sontak saja Ayra meringis, kemudian berbalik dan mendongak untuk melihat dari mana asal kaleng bekas itu yang baru saja mengenai kepalanya.

Ternyata tepat di atas pohon yang tidak jauh dari sumur ada seorang lelaki yang duduk santai sembari memakan pisang, sepertinya lelaki itu tidak sadar jika ulahnya barusan membuat Ayra kesakitan karena bekas minuman kalengnya yang mengenai kepala gadis bermata bulat itu.

Baru saja Ayra ingin meneriaki lelaki yang jika ditebak bukan santri di pesantren ini--terbukti dengan pakaian yang dia kenakan, sama sekali tidak mencerminkan jika lelaki itu adalah anak santri, tetapi terurungkan saat lagi-lagi kulit pisang mengenai wajahnya karena lelaki itu membuangnya begitu saja tanpa melihat ke arah bawah.

"Woi!" teriak Ayra dengan suaranya yang melengking. Dia tidak peduli, jika saja teriakannya barusan didengar oleh orang-orang. Yang dia pedulikan saat ini adalah menegur dan mengitrogasi lelaki yang ada di atas pohon sana.

"Siapa kamu? Penyusup, ya? Sini turun!" ujar Ayra setelah lelaki itu melihatnya dengan alis yang dinaikkan.

Ayra memundurkan tubuhnya saat lelaki itu menghampirinya dan berdiri tepat di depannya setelah tadi dia turun dari pohon dengan sangat lincah, sudah seperti monyet saja. Eh, atau memang dia satu spesies dengan monyet? Selain karena gerakannya yang sangat lincah turun dari pohon, dia juga sepertinya suka makan pisang dan yang makin mendukung adalah dia makan pisang di atas pohon. Benar-benar seperti monyet bukan?

"Why?" tanyanya dengan wajah kelihatan santai sama sekali tidak ada raut bersalah yang wajahnya tunjukkan.

"Kamu masih nanya kenapa?" tanya Ayra tidak percaya. "Lihat, karena kamu kepala aku jadi sakit gara-gara kaleng bekas minumanmu mengenai kepalaku, terus kulit pisang yang kamu buang sembarangan juga mengenai mukaku. Apa kamu nggak merasa bersalah? Atau apa kamu pikir tubuhku ini tempat pembuangan sampah? Iya?" tanya Ayra tidak santai. Gadis itu tanpa sadar berkacak pinggang dengan mata yang melotot, sudah menjadi kebiasannya di saat dia lagi kesal atau marah dengan seseorang.

"Take it easy. Lagian gue juga nggak tahu kalau sampah makanan dan minuman gue kena lo," ujar lelaki itu. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah, ditambah tidak ada ucapan maaf yang keluar dari mulutnya, melainkan alibi yang menyatakan jika dirinya tidak bersalah sepenuhnya.

Hal itu justru semakin membuat Ayra tersulut emosi. "Emang dasar ya kamu ... bukannya minta maaf, malah ngebela diri!" semprot Ayra, "eh tapi ... kamu ngapain di sini? Kalau diliat dari penampilan kamu, sepertinya kamu bukan santri di sini. Penyusup, ya? Aah ... atau jangan-jangan kamu maling?" Mata Ayra langsung menyipit--mengitrogasi lelaki asing yang berada di hadapannya.

"Menurut you?"

Ayra membulatkan matanya. "Jadi kamu benaran maling?" Jelas saja Ayra terkejut karena lelaki yang di depannya ini benar-benar maling, dan lewat mana dia bisa masuk ke sini? Sedangkan pintu gerbang pesantren dijaga dengan ketat.

"Tunggu di sini, jangan ke mana-mana. Aku mau laporin kamu ke Kiai dulu. Awas aja kalau kamu kabur." Saking paniknya Ayra sampai tidak berpikir panjang jika lelaki itu bisa saja kabur setelah dia pergi memanggil Kiai Abyan.

// About Readiness //

Ayra berjalan sembari menunduk dalam. Perkataan Ustaza Hikma tadi sebelum kelas selesai, memukul telak relung batinnya. Dia amat merasa saat Ustaza Hikma berkata demikian.

"Jika kalian menunggu hidayah yang Allah kasih maka percuma saja, karena sebenarnya hidayah itu dijemput bukan ditunggu. Jika di hati kalian sudah terbesit ingin berubah ke jalan Allah, maka segerakanlah jangan ditunda-tinda lantaran dengan alasan belum siap. Jika tidak dimulai, terus kapan lagi? Kita tidak tahu, beberapa jam ke depan apakah kita masih bisa bernapas atau sudah dijemput oleh Malaikat Izrail? Jangan sampai kita sudah dijemput untuk menghadap Allah, tetapi niat kita untuk berubah ke jalan-Nya belum tersampaikan, lantas siapa yang rugi?"

Ayra menghentikan langkah, kemudian mendongak lalu mengedarkan pandangan ke segala arah. Saat netranya menemukan sebuah bangku panjang yang ada di bawah pohon, gadis bermata bulat itu segera melangkahkan sepasang tungkainya ke arah bangku tersebut. Setelah tiba di sana dan mendudukkan dirinya, Ayra kembali merenungi semua ucapan Ustaza Hikma.

Sebenarnya keinginan Ayra untuk berjilbab itu sudah sangat-sangat bulat, hanya saja kata 'belum siap' yang menjadi boomerang untuk dirinya merealisasikan keinginannya itu. Lantas, gadis itu harus bagaimana, agar kata 'belum siap' di dalam dirinya hilang hingga dia bisa berjilbab sepenuhnya seperti apa yang dia, keluarga, dan orang terdekatnya inginkan? Sungguh, Ayra benar-benar selalu dibuat pusing akan hal itu.

// About Readiness //

Malaaaaam. Yeeey, udah Chapter 21 aja, ya. Yang setia baca sampai sini bener-bener best pokoknya, hehehe. Makasih banyak, ya udah bertahan ngikutin cerita yang biasa aja ini, mwehehe. Seehhhuu di Chapter 22!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro