Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 20

Baik  buruknya sifat seseorang biasanya tergantung darimana lingkungnnya berada.

// About Readiness //

Suara riuh tepuk tangan terdengar lantang di lapangan SMA Nusa Bangsa. Beberapa teriakan juga terdengar, tetapi kericuhan itu tidak berlangsung lama lantaran Pak Abraham--Kepala Sekolah SMA Nusa Bangsa dengan cepat menegur mereka dengan ancaman berupa. "Mohon tenang! Jika saya masih mendengar ada suara maka libur kalian saya batalkan."

Setelah itu hening, suasana yang tadinya ricuh seketika berubah senyap sedetik setelah Pak Abraham menyelesaikan kalimat ancamannya.

"Alah paling si Bapak cuman ngancem doang," ujar Dion--teman sekelas Ayra.

"Memang, sih. Orang kita libur juga karena Kakak kelas mau ujian. Tapi, nggak tau deh, lo tau sendiri, kan Pak Abraham kadang-kadang suka aneh dan nekat. Jadi ... ya nggak ada yang nggak mungkin kalau itu semua berasal dari Pak Abraham," balas Bintang yang memang berdiri tepat di samping Dion.

Ayra yang mendengar obrolan Bintang dan Dion hanya biasa saja. Tidak memiliki niat sama sekali untuk ikut nimbrung dengan obrolan mereka. Pasalnya kini kedua netra bulatnya sedang memperhatikan sosok pemimpin upacara yang berdiri satu meter di depannya, walau sosok itu--Akhtar membelakanginya, tetap saja tatapan Ayra tidak pernah lepas dari punggung tegap milik lelaki itu.

"Waktu jalannya cepat banget, ya. Perasaan baru kemarin deh kita naik kelasnya. Eh, sekarang kakak kelas udah mau ujian lagi, habis itu tamat dan aku ...." Ayra tidak melanjutkan ucapannya karena Bintang tiba-tiba memotongnya.

"Dan aku nggak akan bisa lagi liat Kak Akhtar main futsal," cibir Bintang, "itu, kan yang mau lo bilang?"

"Yah, kan emang gitu nyatanya, Bi." Ayra tidak mengelak, karena memang hal itu yang tadinya ingin dia katakan.

"Alah, Bucin dasar! Padahal situ sama Kak Akhtar nggak ada hubungan apa-apa," cibir Bintang lagi tanpa menatap Ayra.

"Bodo amat! Yang bucin, kan aku. Jadi terserah aku dong!" Setelah mengatakan hal itu, Ayra segera menabok lengan Bintang, lalu meminta bertukar posisi dengan teman di belakanganya. Setidaknya dia bisa berlindung dari panasnya matahari di belakang teman sekelasnya itu.

Orang pendek mah bebas!

// About Readiness //

"Ra, lo beneran nggak mau ikut gue ke  Korea?" tanya Bintang pada Ayra yang sibuk berselancar di laman Instagram miliknya.

"Nggak, Bintang. Aku, kan dari tadi udah jawab nggak, masih aja ditanya," ujar Ayra dengan kesal sembari menghentikan kegiatannya, lalu menatap sepenuhnya ke arah Bintang yang sedang duduk bersila di sampingnya.

"Yaelah. Ayolah, Ra. Kapan lagi coba kita liburan bareng ke Korea? Apalagi sekarang di sana lagi musim salju. Kan, dulu lo pernah bilang kalau pas libur panjang terus musim salju juga kita harus pergi ke Korea. Tapi, kok sekarang malah berubah pikiran, sih. Ah, nggak asik lo!"

"Ya gimana, ya, Bi. Aku, udah terlanjur janji ke Kak Kayla kalau liburan nanti bakalan ke pesantren buat belajar."

"Belajarnya, kan bisa kapan-kapan, Ra." Bintang masih terus saja memaksa, agar Ayra berubah pikiran.

"Andai ini pelajaran sekolah, Bi. Mungkin aku bisa tunda. Tapi, ini tentang agama. Aku mau segera jemput hidayah aku, Bi. Siapa tahu aja tinggal lima hari di pesantren bisa buat aku langsung mantapin diri buat berjilbab, kan?"

Bintang seketika terdiam setelah mendengar ucapan Ayra barusan. Bintang memang tahu keinginan Ayra yang belum terealisasikan itu, dan bagaimana giatnya sepupunya itu memperdalam ilmu agama agar segera berjilbab seperti mamanya. Namun, karena belum adanya kesiapan sampai sekarang Ayra masih maju mundur untuk mengenakan hijab.

"Ya udah. Nggak papa, Ra. Lo ke pesantren aja. Liburan ke Koreanya bisa kapan-kapan kalau kita masih dikasih umur panjang sama Allah." Pada akhirnya Bintang mengalah dan ucapannya barusan sontak membuat Ayra tersenyum dan langsung duduk dari tengkurapnya untuk memeluk Bintang.

"Makasih, Bintang. Kamu emang sepupu sekaligus sahabat aku yang paaaaaliiiiing pengertian," ujar Ayra yang diakhiri dengan kecupan di pipi Bintang.

"Sama-sama, Ra. Apa pun itu, asal perbuatan yang baik, gue akan selalu dukung lo, kok," balas Bintang ikut mengeratkan pelukannya seperti yang Ayra lakukan.

"Gimana, kalau kamu ikut aku ke pesantren juga? Pasti papi sama mami ijinin lo deh," ajak Ayra setelah melepas pelukannya dan menatap Ayra dengan tatapan berbinar yang penuh dengan harapan.

Bintang menggeleng kemudian menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal sama sekali. "Nggak deh, Ra lo aja," ujar Bintang seraya cengengesan. "Kayaknya gue mau ke Bandung aja. Rindu banget sama nenek," lanjut Bintang.

Ayra mengangguk paham. Dia juga tidak ingin memaksa Bintang, karena dia juga paling tidak suka jika dipaksa. "Ya udah. Kalau lo sampai di sana, sampein salam aku ke nenek, ya. Bilangin kalau aku kangen gitu."

Bintang mengangguk kemudian mengacungkan jempolnya di depan wajah Ayra. "Okay!"

"Heh, Binatang. Papi sama mami udah nungguin lo tuh di bawah. Buruan, kalau lo nggak mau ditinggal."

Atensi Bintang dan Ayra seketika teralihkan ke pintu kamar saat suara Althaf terdengar tiba-tiba. Bintang menatap kesal ke arah Althaf lantaran kakak sepupunya itu memplesetkan namanya. Padahal Bintang sudah memperingatkan untuk menyebut namanya dengan baik dan benar, tetapi yang namanya Althaf memang sangat jahil, jadi lelaki itu mengabaikan tiap kali Bintang menegurnya.

"Dasar, Kakak sepupu nggak ada akhlak! Udah berapa kali gue bilang nama gue Bintang bukan Binatang. Jadi panggilnya jangan Binatang tapi BINTANG!" ujar Bintang seraya berjalan menghampiri Althaf yang diakhiri dengan teriakan di kuping lelaki itu.

"Telinga gue rusak, ganti rugi lo!" Althaf menatap kesal ke arah Bintang kemudian mengusap telinganya yang terasa pengang akibat teriakan Bintang barusan.

"Bodo amat. Siapa suruh suka ngesellin!" Bintang menjulurkan lidahnya ke arah Althaf, kemudian detik berikutnya menatap ke arah Ayra yang sedang duduk di atas kasur seraya memperhatikan perdebatan kecil antara Bintang dan Althaf. "Ra, gue balik dulu, ya."

Setelah mendapat anggukan dari Ayra Bintang segera pergi dari kamar sana, tetapi sebelum itu, Bintang menyempatkan untuk menginjak dengan keras sebelah kaki Althaf yang berhasil membuat lelaki itu berteriak kesakitan.

"Rasain!"

"Wah, parah! Tunggu pembalasan gue, ya!" Althaf mengejar Bintang dan meninggalkan Ayra sendirian yang sedang menggeleng beberapa kali persis seperti apa yang mamanya lakukan saat dia dan Althaf bertengkar.

"Jadi gini rasanya jadi mama kalau misalnya ngeliat aku sama Kak Althaf berantem?" gumamnya yang kemudian terkekeh pelan lantaran geli dengan ucapannya sendiri.

Saat netra bulat gadis itu melihat ke arah jendela yang gordennya masih terbuka, dia seketika berdiri dan berjalan cepat menuju jendela, kemudian mendudukkan dirinya di meja belajar setelah itu bertopang dagu dengan tatapan lurus ke depan.

"Kak Akhtar," gumamnya seraya menatap Akhtar yang sedang duduk di balkon kamarnya dengan sebuah buku di tangannya.

"Apa nanti kita bisa sama-sama seperti apa yang sering aku bayangin? Apa Kak Akhtar yang benar-benar akan menjadi jodohku kelak? Aku takut, Kak. Aku takut kalau misalnya hati ini udah terlalu berharap sama Kak Akhtar, tapi pada akhirnya bukan Kak Akhtar yang akan jadi imam aku nantinya," gumamnya lagi dengan tatapan yang berubah sendu.

Jelas, ketakutan itu kerap kali menghantui pikiran Ayra. Namun, dia berusaha mengalihkannya agar tidak merasa sedih dan galau memikirkan hal itu. Apakah mencintai sendirian seperti ini dia merasa capek? Tentu saja Ayra akan menjawab 'iya' dengan suara yang lantang, hanya saja dia terlalu pandai mengalihkan rasa capek itu sehingga dia terlihat biasa-biasa saja dan selalu bahagia. Padahal nyatanya dia juga bisa capek seperti kebanyakan orang pada umumnya.

// About Readiness //

Malaaam. Yey, kita ketemu lagi hehehe. Betewe makasih banyak udah menyempatkan diri untuk membaca cerita ini. Seehhhuu di Chapter 21.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro