Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 19

Semoga di umur ke 17 tahun ini, aku benar-benar bisa memantapkan diri dan istkamah menggunakan hijab.

Ayra.

// About Readiness //

Setelah melaksanakan salat Magrib, Ayra segera bersiap-siap. Saat dia membuka lemari, hendak memilih baju yang nanti dikenakannya, tatapannya justru langsung tertuju pada sebuah paper bag yang terletak di bawah di dalam lemari. Ayra tersenyum kemudian berjongkok untuk mengambil paper bag itu.

"Hadiah dari Kak Akhtar," gumam Ayra. Namun, sesaat gadis itu terdiam kemudian memutar ulang kejadian saat di kafe mall, tepatnya di mana saat Akhtar memberikannya hadiah yang belum Ayra ketahui apa isinya.

"Demi apa? Hari ini, kan hari ulang tahun aku! Kok bisa lupa begini?" pekiknya seraya menepuk jidat dengan telapak tangannya. Namun, dalam kurun waktu sedetik raut wajahnya berubah muram. "Tapi, kayaknya nggak ada yang ingat. Mama, papa, Bang Adit, sama Kak Al sama sekali nggak ngucapin apa-apa sama aku, beda sama tahun kemarin," gerutunya seraya mencembibkan bibir.

"Emang cuman Kak Akhtar yang terbaik. Nggak ada duanya!" ujarnya kemudian meletakkan paper bag pemberian Akhtar di atas tempat tidur. Kemudian dia mulai mencari pakaian yang ingin dikenakannya.

"Aku pake baju yang mana, ya?" tanyanya pada diri sendiri seraya mengabsen satu-satu bajunya yang tergantung di dalam lemari. Detik berikutnya tatapannya langsung tertuju pada gamis hitam pemberian Kayla dulu, yang pernah dia kenakan waktu ke pondok pesantren.

"Rasanya pengen pake itu lagi, tapi aku malu," gumamnya seraya memandang baju gamis itu. Malu yang dia rasakan lebih ke merasa tidak percaya diri, walaupun sebelumnya ia pernah menggunakan baju itu.

"Duh, aku pake yang mana, ya?" Ayra menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali lantaran pusing. Padahal ada begitu banyak baju yang berjejer rapi di hadapannya, tetapi ia tetap saja merasa bingung ingin menggunakan baju yang mana.

Dalam sekejap Ayra sudah menutup lemarinya, kemudian berbalik lalu tatapannya kembali tertuju pada paper bag yang sama sekali belum dia ketahui isinya apa. Karena rasa keingin tahuannya tiba-tiba muncul ke permukaan, Ayra segera duduk di atas kasur, lalu mengeluarkan barang yang ada di dalam paper bag pemberian Akhtar.

"Baju?" tanya Ayra setelah mengeluarkan isi paper bag itu.

Ayra membuka plastik yang membungkus barang pemberian Akhtar yang ternyata berupa gamis set dengan hijabnya. Gamisnya terlihat polos dan kalem dengan warna army. Senyum Ayra seketika terbit, lalu dia mengangkat gamis itu tinggi-tinggi.

"Kayaknya Kak Akhtar kepengen banget kalau aku pake hijab. Sampai-sampai dia beliin aku kayak gini," gumam Ayra seraya mencoba baju itu juga dengan jilbabnya.

Ayra berjalan menuju cermin besar yang ada di dalam kamarnya, kemudian mulai memandangi penampilannya. Cantik dan gamis itu cocok di tubuhnya. Ayra memutar dirinya beberapa kali, entah mengapa dia sangat menyukai dirinya yang berpakaian seperti ini, ada rasa bahagia yang amat sangat besar dia rasakan.

"Masya Allah, anak Mama cantik sekali."

Seruan yang terdengar tiba-tiba itu membuat Ayra seketika menoleh dan mendapati persensi Aina yang tengah menatapnya dengan kagum. Melihat tatapan itu membuat Ayra malu, lalu menghampiri mamanya dan menutup mata mamanya dengan sebelah tangan.

"Ma, jangan liatin aku kayak gitu dong, malu tau!" rengeknya seraya menghentakkan kakinya.

"Kenapa malu, sih? Mama bukan lagi godain kamu, memang bener kok kamu lebih cantikan pake hijab gini, mama aja pangling liat kamu," ujar Aina, seraya menyingkirkan tangan Ayra yang menutup kedua matanya.

"Beneran keliatan cantik, Ma?" tanya Ayra pelan seraya menatap tepat ke manik Aina.

"Iya, Sayang. Kamu pikir Mama bohong?" tanya Aina balik, lalu mendapat gelengan pelan oleh Ayra.

"Tapi aku malu, Ma. Aku baru diliatin Mama terus dapat pujian kayak gitu aja malunya udah anu banget, gimana sama yang lain nanti pas liat aku pake kayak ginian," cerita Ayra, lalu hendak membuka hijabnya.

"Eh, kok dibuka? Jangan dong! Kamu pake ini aja, pasti papa sama kedua kakak kamu seneng liat kamu pake pakaian kayak gini." Aina menahan tangan Ayra yang hendak membuka hijabnya.

"Tapi, Ma. Aku malu, beneran, deh. Aku ngerasa kurang percaya diri aja gitu."

"Kenapa harus malu, sih? Yang harusnya malu itu mereka yang dengan sengaja ngumbar-ngumbar auratnya," jelas Aina seraya menangkup pipi berisi milik Ayra.

"Jadi, aku pake ini aja, Ma? Beneran?" tanya Ayra menatap Aina dengan sungguh-sungguh.

"Iya, Sayang. Kamu kenapa kayak mau ngeyakinin Mama gitu? Harusnya kamu yakinin diri kamu, biar mantap pake hijabnya, nggak ditunda-tunda mulu."

Ayra memasang wajah murung setelah mendengar kalimat terakhir mamanya. "Ya, namanya juga belum siap, Ma," bela Ayra.

Aina tertawa, lalu mengangguk paham. Kemudian sebelah tangannya mengelus kepala Ayra dengan sayang. "Iya, iya. Semoga disegerakan ya pake hijabnya, kasian tuh papa kamu tiap hari makin dekat ke neraka karena anaknya nggak pake hijab." Walaupun ucapan Aina terdengar bercanda, tetapi Ayra tahu kalau hal itu benar adanya, buka hanya candaan semata.

"Makanya Mama harus doain aku biar bisa mantapin diri buat berhijab."

"Selalu, dong. Tiap salat Mama selalu minta sama Allah biar kamu dikasih hidayah secepatnya. Ya udah, yuk kita turun sekarang, yang lain udah kelamaan nunggu pasti," ajak Aina dan Ayra mengangguk menyetujui. Sebelum benar-benar keluar dari kamar, Ayra mengambil sling bag juga ponselnya yang sedang di-charger.

// About Readiness //

Setelah Adit memarkirkan mobilnya, Ayra, Aina, Farhan, juga Aditya segera keluar, lalu berjalan menuju kafe. Kening Ayra mengernyit, lalu gadis itu juga tampak celingukan seperti sedang kebingungan.

"Ada apa, Sayang?" tanya Farhan karena lebih dulu sadar dengan gerak-gerik putri semata wayangnya itu.

"Ini loh, Pa. Kok kafenya sepi gini? Nggak kayak biasanya rame banget. Malah di parkiran tadi cuman ada beberapa mobil doang, bahkan nggak lebih dari tiga sama mobil kita," jelas Ayra mengeluarkan kepenasaran yang muncul di benaknya.

"Nggak tahu juga Papa, Ra. Mungkin, emang lagi sepi pengunjung kali," jawab Farhan dan mendapat anggukan mengerti terkesan ragu oleh Ayra.

"Loh, kok lampunya mati?" tanya Ayra lagi, tepat setelah pintu kafe dibuka. "Jangan-jangan kafenya udah tutup," lanjutnya.

"Nggak, kok. Kan tadi siang Papa udah  pesan tempat, jadi nggak mungkin tutup."

"Tapi ...."

"HAPPY BRITHDAY, AYRA!!!" Bersamaan dengan teriakan nyaring yang dibarengi dengan terompet itu lampu kembali menyala.

Ayra yang tadinya ingin mengatakan sesuatu jadi gagal dan malah melupakan hal apa yang ingin dikatakannya tadi lantaran terlalu terkejut dengan semua ini. Di sana tepat di depannya Bintang, Althaf, Daniyal, dan dua teman Althaf Sean dan Dimas menatap Ayra dengan senyuman yang mengembang sempurna.

Bintang dan Daniyal meniup terompet, Althaf membawa kue ulang tahun dengan angkat 17, serta Dimas dan Sean yang memegang baleho dengan tulisan 'Barakallah fii umrik, Ayra (Bocil) yang ke 16 tahun', tetapi angkat enam di sana sudah dicoret dan diubah menjadi angka 7. Ciri khas seorang Althaf yang sangat pandai menyimpan barang dan juga irit.

Ayra yang semula terdiam dengan keterkejutan, kini mulai mengembangkan senyum dengan mata yang mulai berkaca-kaca lantaran terharu. Dia pikir tidak ada yang mengingat hari ulang tahunnya, tetapi ternyata dia salah.

"Kenapa diam aja, Sayang? Sana samperin kakak kamu," tegur Aina seraya tersenyum geli.

"Bentar, Mama. Aku masih speechless ini," ujar Ayra, tetapi detik berikutnya tungkainya melangkah menghampiri Althaf.

"Kak Althaf ...," gumam Ayra seraya menatap Althaf dengan sendu. "Nggak marah lagi sama aku?"

"Gimana? Ekting gue tadi pagi cakep, kan? Udah cocok belum jadi aktor terkenal kayak Reza Rahardian?" tanya Althaf seraya menaik turunkan alisnya, belum lagi senyum yang lelaki itu tunjukkan terlihat mengesalkan.

Namun, alih-alih merasa kesal, Ayra justru menangis dan langsung memeluk Althaf dengan tiba-tiba. Untung saja Althaf dengan cepat membaca gerakan Ayra, jadi dia bisa menjauhkan sebelah tangannya yang memegang kue agar tidak jatuh atau mengenai bajunya juga baju Ayra.

"Maaf, Kak Al. Dan terima kasih ...." Ayra menangis di dalam pelukan Althaf.

"Udah, ya acara peluk-pelukannya dilanjut nanti aja sekarang kita foto-foto dulu, abis itu makan-makan!" seru Bintang yang membuat Ayra dan Althaf mengurai pelukannya.

Setelah itu semuanya mulai mengambil posisi untuk berfoto. Karena memang kafenya sudah di-booking oleh Farhan, jadi mereka tidak perlu malu jika menjadi pusat perhatian, karena hanya ada mereka di sana, selain pegawai kafe.

Setelah berfoto-foto, dilanjut dengan memotong kue, minus meniup lilin. Acara makan-makan pun dimulai. Di tengah-tengah acara party kecil-kecil itu Ayra diam-diam kembali menangis haru, apalagi jika mengingat kembali ucapan-ucapan yang diberikan kepadanya. Ternyata ada banyak orang yang mendukungnya untuk segera memantapkan hati untuk berhijab.

Ayra membuka ponselnya, lalu meng-upload salah satu foto yang tadi di status Whatsaap-nya. Tidak lama kemudian setelah status itu terkirim, notifikasi ponselnya berbunyi dan itu ternyata dari Akhtar.

Kak Akhtar.

Aku senang kamu pakai baju itu. Barakallah fii umrik, Ayra.

Padahal hanya sebuah pesan yang singkat, tetapi mampu memporak-porandakan hati Ayra. Senyumnya kian mengembang sempurna setelah membaca pesan itu. Rasanya kebahagiaannya berkali-kali lipat hari ini.

Terima kasih, ya, Allah. Aku bahagia banget.

// About Readiness //

Malaaaam. Makasih udah setia sampai di sini. Dan sehhhu di Chapter 20!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro