Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 18

Khawatir itu boleh dan juga manusiawi, asal khawatir itu tidak membuat kita egois dengan membatasi ruang gerak sosok orang yang kita sayangi.


// About Readiness //

"Woy, Cil! Jam tangan gue mana? Sendal gue juga lo taro di mana?"

Padahal jam dinding masih menunjukkan pukul tujuh pagi, tetapi di kediaman keluarga Farhan sudah sangat rusuh akibat teriakan juga gedoran tidak santai yang dilakukan oleh Althaf. Lelaki itu masih terus saja meneriaki nama Ayra sembari menggedor-gedor pintu kamar dengan kuat. Bahkan teriakan berupa teguran dari Aina dari lantai bawah tidak diindahkan oleh lelaki itu.

"Woy, Bocil buruan buka pintunya! Waah, lo masih ngebo, ya? Gue aduin ke mama lo!" Bertepatan setelah Althaf menyelesaikan ucapannya, pintu kamar Ayra terbuka.

"Kak Althaf apaan, sih! Ini tuh masih pagi banget udah buat rusuh aja," hardik Ayra seraya menatap kesal ke arah Althaf yang bermuka biasa saja.

"Ya, habis lo sih! Nyahut, kek," ujar Althaf seraya mengulurkan tangannya untuk memperbaiki handuk yang ada di atas kepala Ayra karena sedikit miring.

"Ya, menurut Kak Althaf kalau aku teriak di kamar mandi bakalan kedengeran sampai keluar gitu?" tanya Ayra sewot.

"Udahlah, lupain tentang kamar mandi dan teriakan lo itu. Sekarang langsung aja, jam tangan sama sendal gue yang lo pinjem kemarin mana? Buruan, gue mau pergi." Althaf mengulurkan tangannya di depan wajah Ayra yang masih menatapnya dengan kesal.

"Bentar, aku ambil dulu," ujar Ayra malas, kemudian masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil kedua barang Althaf yang sudah dipinjamnya.

Saat Ayra sampai di meja riasnya, jam tangan Althaf tidak ada di sana, kemudian gadis itu membuka salah satu laci yang isinya jam tangan juga case ponselnya, tetapi tetap saja jam milik Althaf tidak ada di sana.

"Mana buruan, Cil! Lama banget." Suara Althaf tiba-tiba terdengar di belakanganya, yang membuat gadis bermata bulat itu seketika menoleh.

"Bentar, Kak aku masih cari ini. Kayaknya ada di dalam tas aku deh. Bentar ...." Ayra kembali berjalan dan menuju tas yang kemarin di pakenya.

"Awas aja kalau jam itu hilang. Gue akan marah dan nggak nganggap lo lagi sebagai adik gue," ancam Althaf seraya mengikuti langkah Ayra.

Ayra sendiri tidak menyahut, dia sedang sibuk menggeledah tasnya guna mencari jam tangan kesayangan milik Althaf itu. Raut wajah Ayra seketika berubah, saat dia tidak menemukan keberadaan jam Althaf di dalam tasnya.

"Buruan, Cil! Telat nih gue ...." Ucapan Althaf terdengar menggantung saat Ayra berbalik memandangnya dengan raut wajah yang sulit dibaca plus tidak enak dipandang itu. "Kenapa lo? Jangan bilang jamnya beneran lo hilangin," lanjut Althaf dengan mata menyipit.

Ayra bergeming dengan kepala yang perlahan mulai menunduk. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, sementara kedua tangannya saling menggenggam erat di belakang punggungnya.

"Jawab gue, Ayra!" Perkataan Althaf memang bukan bentakan, tetapi tetap saja ucapan itu begitu menyeramkan di indra pendengar Ayra, hingga membuat gadis itu tersentak.

"Maaf, Kak Al ...."

"Jadi, jam gue beneran lo hilangin?" tanya Althaf dengan nada suara yang naik beberapa oktaf.

Ayra memejamkan kedua matanya dengan erat sembari mengangguk pelan.

"Lo, ya bener-bener nggak amanah! Lo kan tahu, jam itu tuh jam kesayangan gue, dan lo malah ngilangin gitu aja. Kalau nggak bisa jagain barang yang lo pinjem dengan baik, mending nggak usah minjem! Nyessel gue udah minjamin jam itu ke lo!"

Ayra makin menunduk dalam dengan mata yang mulai berkaca-kaca, lantaran untuk pertama kalinya Althaf semarah ini kepadanya. Emosi lelaki itu begitu meledak-ledak hingga membuat Ayra ketakutan, terbukti dengan kedua tangannya yang saling mencekeram dengan erat.

"Ma ... maaf, Kak Al. Nanti aku gan ...." Belum sempat Ayra menyelesaikan ucapannya, Althaf sudah lebih dulu memotongnya.

"Memangnya lo punya duit? Nggak usah sok-soan mau ganti kalau lo aja belinya pake uang orang tua!" sarkas Althaf, "sendal gue di mana?"

Ayra memejamkan matanya, lalu tanpa bisa dia cegah air mata mulai jatuh membasahi kedua pipinya. Ucapan Akhtar entah mengapa begitu melukai hatinya. "Di belakang pintu ...," jawab Ayra sepelan mungkin dengan suara yang agak bergetar.

"Maaf, Kak Al ...." Ayra mendongak saat Althaf sudah berjalan membelakanginya karena ingin mengambil sandalnya yang tadi dia tunjukkan.

Setelah Althaf mengambil sandalnya, lelaki itu langsung keluar dan menutup pintu kamar Ayra dengan kasar hingga menimbulkan suara debaman yang membuat Ayra berjengkit kaget.

// About Readiness //

"Ayra, tumben sore-sore gini kamu bengong di sini? Biasanya kalau jam segini kamu udah ke rumah Akhtar." Aina mendudukkan diri di samping Ayra yang sedang rebahan di sofa sembari melamun.

"Mama," ujar Ayra, lalu memperbaiki posisi berbaringnya dengan berbantalkan paha Aina. "Aku lagi nunggu Kak Althaf, kok jam segini belum pulang juga, ya, Ma?"

"Kalian lagi berantem, ya?" Karena terlalu terbiasa dengan gaya berantem kedua anaknya, Aina jadi bisa menebak jika Ayra dan Althaf sedang ada masalah.

Ayra mengangguk pelan, lalu menatap kedua netra yang mirip dengan netra miliknya. "Aku nggak sengaja hilangin jam kesayangannya Kak Althaf dan sekarang dia lagi marah banget, Ma sama aku," cerita Ayra dengan wajah memelas.

"Kamu udah cari bener-bener belum jamnya?" tanya Aina dan mendapat anggukan dari Ayra. "Ya udah nggak apa-apa. Jangan sedih gini, kamu udah minta maaf, kan?" tanya Aina lagi dan kembali mendapat anggukan dari Ayra.

"Biarin aja dulu kakak kamu nenangin diri. Nanti kalau mood-nya udah baik, kamu bicara baik-baik sama dia," ujar Aina seraya mengusap pelan rambut hitam milik Ayra. "Lebih baik, sekarang kamu mandi, abis itu nunggu salat magrib, setelah itu siap-siap dan dandan yang rapi, karena papa ngajak kita makan di luar."

Ayra segera bangkit dari berbaringnya, kemudian menatap Aina tidak percaya. "Kok makan di luar? Tumben? Tapi, kan papa belum pulih beneran, Ma. Nanti kalau papa ada salah makan dan kenapa-kenapa gimana? Aku nggak mau, ya kalau papa sampai kembali dirawat di rumah sakit, Ma," cerocos Ayra dengan wajah yang terlihat amat khawatir.

Aina tersenyum tipis saat melihat kekhawatiran Ayra yang begitu besar kepada papanya. "Alhamdulillah, kondisi papa, kan udah membaik. Nggak apa-apa kita juga keluarnya cuman bentaran, kok. Setelah makan kita langsung pulang. Ini juga kemauan papa kamu," jelas Aina seraya menggenggam kedua tangan Ayra.

"Tapi, Ma ...."

"Ra, nggak kasian sama papa kamu? Udah beberapa hari belakangan ini loh dia nggak keluar rumah. Mama tahu kalau kamu khawatir banget sama keadaan papa, mama juga gitu ... tapi kita nggak boleh egois dong."

Ayra mengembuskan napas kasar. "Ya udah, nggak apa-apa. Kalau gitu aku ke kamar dulu, ya, Ma. Nanti kalau Kak Al udah pulang, langsung panggil aku, ya, Ma."

Aina mengangguk, kemudian mengelus kepala Ayra dengan sayang. Setelah itu, Ayra pergi ke kamarnya menyisakan Aina yang memandang punggung belakang Ayra dengan haru dan sendu.

"Nggak kerasa, ya anak perempuan mama udah 17 tahun aja. Semoga kamu selalu dalam lindungan Allah, ya, Nak," lirih Aina seraya tersenyum tipis.

// About Readiness //

Malaaaaam. Kita ketemu lagi, wkwkw. Makasih, ya udah setia baca sampai di sini, seehhuu di Chapter 19!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro