Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 16

Setidaknya sampai saat ini aku masih bisa tahan dengan cinta sepihak yang aku rasakan. Aku tidak ingin mengeluh karena ini memang sudah menjadi risikonya.

Ayra.

// About Readiness //

"Loh, Mbak Jihan ke mana? Padahalkan, aku cuman pergi sebentar," gumam Ayra saat tiba di bangku taman, di mana sebelumnya dia duduk bersama dengan Jihan. Ayra mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru taman, tetapi sosok yang tengah dicarinya sama sekali tidak terlihat di indra penglihatannya.

Helaan napas berat keluar begitu saja dari mulutnya, lantaran gagal mendapatkan jawaban akan hubungan Akhtar dan Jihan yang sebenarnya. Ini semua gara-gara Althaf yang menelpon dan menyuruhnya untuk ke ruangan Farhan secepatnya, katanya ada hal penting yang ingin disampaikan, tetapi saat tiba di sana ternyata zonk.

Padahal, sebelumnya Ayra juga sudah memberitahu Jihan jika dia hanya pergi sebentar dan menyuruh gadis itu untuk menunggunya, tetapi saat tiba di taman sekembalinya dari ruangan Farhan sosok gadis berwajah ayu itu sudah tidak ada di tempat sebelumnya. Apa mungkin, ada urusan mendesak sehingga Jihan pergi begitu saja tanpa menunggunya?

Ayra langsung mendudukkan dirinya begitu saja di bangku taman. Tiba-tiba tubuhnya terasa lemas karena gagal mendapatkan informasi mengenai hubungan Jihan dan Akhtar. Lalu, sampai kapan dia akan terus dihantui dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai Jihan dan Akhtar? Rasanya kepalanya ingin pecah jika memikirkan hal itu terus menerus.

"Atau aku langsung tanya aja, ya ke Kak Akhtar? Tapi, kalau jawabannya buat aku sakit hati nanti, apa aku siap?" gumamanya seraya menatap ke atas langit yang mulai menggelap.

"Tapi, Kak Akhtar nggak mungkin pacaran sama Mbak Jihan. Mereka berdua, kan sangat paham. Tapi kenapa mereka dekat sekali? Ya Allah ...." Pada akhirnya Ayra hanya bisa menggaruk kepalanya yang mulai gatal akibat terlalu memikirkan Jihan dan Akhtar.

// About Readiness //

Ayra sedikit membungkukkan tubuhnya setelah turun dari mobil Aditya. "Bang Adit nanti nggak usah jemput, ya. Aku ada tugas kelompok yang mau dikerjain pulang sekolah nanti soalnya," ujar Ayra pada Aditya.

"Kamu bisa telepon Abang setelah tugas kelompok kamu selesai, biar nanti langsung Abang jemput," balas Aditya, tetapi mendapat gelengan oleh Ayra.

"Nggak usah, Bang. Kan aku satu kelompok sama Bintang, nanti bisa nebeng sama dia. Udah sana Abang ke kantor, aku juga mau masuk, bentar lagi bel udah bunyi." Setelah mengatakan hal itu, Ayra melambaikan tangan pada Aditya, kemudian mulai melangkah meninggalkan mobil Aditya untuk masuk ke dalam area SMA Nusa Bangsa.

Saat berjalan di koridor sekolah, Ayra mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok yang dia ingin lihat sebelum masuk ke dalam kelas dan memulai pelajaran pertama. Karena menurut Ayra sumber semangatnya untuk mulai belajar agar semangat yaitu hanya melihat seorang Kakak kelas yang sudah sangat lama dia cintai itu. Siapa lagi kalau bukan Akhtar?

Bahkan saat sudah tiba di depan kelasnya pun, Ayra masih berusaha mencari, tetapi sosok itu belum juga terlihat di matanya. Bahu Ayra seketika merosot, semangat yang dia bawa dari rumah tadi seketika habis begitu saja saat tidak menemukan sosok Akhtar. Ayra ingin ke kelas lelaki itu, tetapi jam pelajaran pertama akan segera dimulai dan pasti dirinya tidak akan sempat sampai di kelas jika dia ke kelas Akhtar lebih dulu.

Helaan napas panjang keluar begitu saja dari mulutnya, dia bahkan menunduk dalam dan berjalan lemas masuk ke kelas sembari kedua tangannya yang memegang tali ransel miliknya. "Ya udahlah, nanti jam istirahat aja liat Kak Akhtar-nya," gumamanya sangat pelan.

"Ayra?"

Langkah Ayra yang hendak memasuki kelas seketika terhenti saat mendengar suara yang begitu familiar masuk ke dalam indra pendengarnya. Sontak saja gadis bermata bulat itu membalikkan badan dan detik berikutnya senyum semringah merekah di bibirnya.

"Kak Akhtar! Kenapa, Kak?" tanya Ayra tampak kegirangan. Semangatnya juga seketika berkobar setelah melihat sosok yang sedari tadi dicarinya kini berdiri tegap di hadapannya. Belum lagi, lelaki itulah yang pertama kali menghampirinya di pagi hari ini, walau Ayra yakin jika pasti ada suatu hal sehingga Akhtar sendiri yang mendatanginya saat ini.

"Apa benar Althaf sakit?" tanya lelaki bertubuh tinggi itu.

"Benar, Kak. Semalam Kak Al dirawat, karena gejala typus," jawab Ayra seraya mengangguk membenarkan pertanyaan Akhtar.

"Kamu bawa surat keterangan dokternya, kan? Tahu sendiri guru-guru di sini nggak ada yang percaya kalau surat sakitnya ditulis sendiri."

"Astagfirullah, hampir aja. Iya aku bawa, kok, Kak. Bentar ...." Ayra membuka tasnya, kemudian mulai mencari surat keterangan sakit dari dokter milik Althaf.

"Loh, kok nggak ada? Aku yakin banget, tadi aku masukin kok ke dalam tas," ujar Ayra seraya kembali mencari surat milik Althaf.

"Coba kamu cari di sela-sela buku, siapa tahu keselip di sana," usul Akhtar.

Ayra mengangguk paham. "Bentar, Kak ...." Karena merasa tidak leluasa, Ayra meletakkan tasnya di lantai, kemudian ia menumpukkan kedua lututnya di atas lantai dan mengeluarkan satu per satu bukunya untuk mencari surat itu.

Akhtar menggeleng pelan, melihat tingkah Ayra yang tidak terduga itu. Belum lagi saat ini mereka berdiri tepat di depan pintu kelas milik Ayra. Untungnya saja tidak ada orang yang keluar atau masuk, jadi mereka tidak terhalangi dengan Ayra dan dirinya sendiri.

"Coba sini aku bantuin ...." Akhtar ikut berjongkok, kemudian mengambil buku yang ada di dalam tas Ayra kemudian ikut mencarinya.

Sekitar satu menit telah berlalu, mereka berdua belum juga mendapatkan surat itu. Ayra sendiri mulai panik dan menatap Akhtar dengan wajah memelas.

"Kok nggak ada, ya, Kak? Perasaan aku yakin banget, deh tadi pagi pas dikasih Bang Adit aku langsung masukin ke dalam tas, tapi kok ini malah nggak ada?" Ayra mengacak rambutnya yang terurai.

"Coba kamu cari di saku baju atau nggak rok kamu. Siapa tahu aja kamu salah, kan?" usul Akhtar pelan seraya menatap wajah Ayra yang mulai panik.

"Kalian ngapain jongkok di situ?"

Sontak Ayra dan Akhtar menoleh bersamaan ke arah sumber suara.

"Bintang ...." Ayra segera merapikan buku-bukunya kemudian memasukkannya kembali ke dalam tas, lalu kembali berdiri. Akhtar pun melakukan hal yang sama.

"Ini, loh ... Kak Akhtar mau ngambil surat keterangan dokter milik Kak Althaf tapi suratnya nggak ada di dalam tas aku. Padahal, aku inget banget tadi aku masukin langsung ke tas pas Bang Adit ngasih suratnya ke aku," ujar Ayra sembari merogoh saku roknya. "Kalau di saku pasti nggak bakalan ad ... loh kok ada di sini?" Baru saja Ayra ingin mengatakan jika suratnya sudah pasti tidak ada di sakunya, tetapi terurungkan saat dia menemukannya di saku seragam.

"Dasar lo remaja jompo. Udah, buruan kasih suratnya ke Kak Akhtar dan kita masuk, karena Bu Mega udah jalan ke sini," ujar Bintang, kemudian mengambil surat yang masih ditatap bingung oleh Ayra dan memberikannya pada Akhtar.

"Kak kita masuk dulu, ya." Setelah berpamitan, Bintang segera menarik tangan Ayra, karena jika tidak, maka gadis itu masih akan terus berlama-lama di depan kelas.

"Hish, Bintang! Aku, kan belum pamitan sama Kak Akhtar," protes Ayra seraya menatap kesal punggung Bintang yang berjalan selangkah di depannya.

"Kan, tadi aku udah wakilin." Bintang menatap Ayra dengan wajah tidak bersalah sama sekali, dan hal itu membuat Ayra mendengkus kasar, kemudian memukul lengan Bintang.

// About Readiness //

Malaaaam. Terima kasih sudah bertahan di cerita ini. Seehhuu di Chapter 17.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro