Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 14

Ketika Allah menuntunmu untuk mengingat-Nya, itu adalah tanda bahwa Allah mencintaimu.

Ali bin Abi Thalib.

// About Readiness //

Ayra tampak termenung sendirian di taman rumah sakit, di sebuah bangku yang sore tadi dia tempati menyantap somaynya sebelum pada akhirnya gadis itu menemukan keberadaan Akhtar dan Jihan, dan sialnya berhasil membuat hatinya seperti dibakar api, lebih tepatnya api cemburu.

Membahas tentang Akhtar dan Jihan, Ayra semakin dibuat penasaran, sebenarnya ada hubungan apa mereka berdua, mengapa bisa sampai sedekat itu? Apa mereka sepupuan? Atau malah saudara sepersusuan, itu makanya kenapa sikap Akhtar kepada Jihan berbeda daripada sikapnya pada perempuan lainnya, termasuk dirinya sendiri?

Ayra tampak mengembuskan napas dengan kasar, memikirkan apakah Akhtar dan Jihan memiliki hubungan yang spesial membuat kepalanya serasa ingin pecah saja. Ayra ingin bermasa bodo, dan menganggap sama jika Jihan seperti halnya dia dan perempuan lainnya yang ingin mendekati Akhtar, tetapi hati kecilnya menolak hal itu pasalnya Akhtar tampak welcome dengan Jihan, selain itu Jihan juga berbeda dengan perempuan lainnya.

Ayra sontak menggaruk kepalanya yang tiba-tiba saja terasa gatal karena terus berpikir dari sore tadi. "Ya Allah, kenapa mencintai Kak Akhtar harus seribet dan sepusing ini, sih? Rasanya aku mau nyerah aja, tapi masalahnya hati aku nggak bisa, karena semua ruangnya udah dipenuhi dengan Kak Akhtar."

"Aduuuh ...." Ayra meringis saat rambutnya ditarik kuat oleh seseorang dari belakang. Sontak saja gadis bermata bulat itu berbalik dan seketika melotot horor saat mengetahui siapa pelaku yang baru saja menarik rambutnya dengan tidak berperasaan. "Bintaaang ...!"

Baru saja Ayra akan mengomel, tetapi tidak jadi saat Bintang langsung membekap mulutnya. Mata Ayra, makin melotot, tetapi bukannya Bintang takut, gadis itu justru memutar bola mata malas. "Diem dulu! Ngomelnya lo pending dulu, karena di dalam ada yang lagi nyariin lo," ujar Bintang.

Kening Ayra tampak berkerut dan gadis itu segera mengempaskan tangan Bintang yang masih setia membekap mulutnya. "Siapa? Kak Akhtar?" tanya Ayra cepat. "Kalau Kak Akhtar aku nggak mau ketemu dulu, masih kesal aku sama dia," lanjutnya seraya bersedekap dada.

"Dih, atas dasar apa sampai lo bisa kesal sama dia?"

"Masa, ya tadi sore dia lagi ngobrol sama Mbak Jihan, terus mereka kelihatan akrab banget dan sikap Kak Akhtar ke Mbak Jihan beda sama kalau Kak Akhtar ke cewek lain. Terus, pas aku ngehampirin mereka, kan Kak Akhtar malah bilang gini, 'Ayra, kenapa kamu ada di sini?'. Ya, aku langsung kesal lah pas Kak Akhtar ngomong gitu, kesannya tuh Kak Akhtar nggak suka kalau aku ngehampirin dia dan ngeganggu waktu dia ngobrol sama Mbak Jihan," jelas Ayra berapi-api.

Bukannya simpati mendengar cerita sahabat sekaligus sepupunya itu, Bintang justru memberi respons dengan memutar bola matanya. "Ayra ... Ayra ... kenapa lo harus kesal? Cemburu? Kalau lo cemburu, sih yah wajar ya, walaupun lo nggak ada hubungan apa-apa sama Kak Akhtar, tapi kalau lo kesal cuman karena itu, ya nggak berhaklah. Sekali lagi gue tegasin karena lo nggak ada hubungan apa-apa sama Kak Akhtar," tegas Bintang yang membuat Ayra mendengkus kesal karena ucapannya.

"Jahat banget, sih Bi. Kayaknya aku salah, cerita sama kamu. Kamu sama Daniyal sama-sama aja. Pantessan cocok," ujar Ayra.

"Ya maaf. Gue, kan cuman mau ngingetin ke lo, biar lo nggak ngelewatin batas. Udaaah, kita masuk sekarang, kasian sama orang yang nungguin lo di dalam," ujar Bintang seraya merangkul pundak Ayra dan hendak berjalan masuk, tetapi niatnya terurungkan saat Ayra justru menahan tubuhnya agak tidak melangkah.

"Jadi, yang cariin aku beneran Kak Akhtar?"

Bintang kembali memutar bola mata malas, entah sudah keberapa kalinya dia melakukan hal itu semenjak mengobrol dengan Ayra di sini. "Bukan, Ra. Udah, ayo jalan. Nanti juga lo bakalan tahu sendiri."

Ayra hanya mengangguk. Kemudian keduanya mulai berjalan menuju ruangan Farhan. Namun, saat di tengah perjalanan, Ayra menghentikan langkahnya dan mau tidak mau, Bintang juga ikut berhenti melangkah dan menatap Ayra dengan tatapan meminta penjelasan.

"Kenapa lagi?" tanya Bintang.

"Aku lupa, belum salat Isya. Kamu juga belum, kan? Ayo kita ke musala dulu aja, nanti abis salat baru kita ke ruangan papa," ajak Ayra.

"Lo aja, gue lagi nggak salat," tolak Bintang seraya melepaskan rangkulannya.

"Kenapa? Lagi halangan, ya? Eh, tapi kan kamu baru aja selesai halangan minggu kemarin, masa sekarang udah halangan lagi, sih?"

Bintang menggeleng pelan. "Emang nggak halangan. Cuman kayak biasa, tadi subuh gue nggak bangun," ujarnya.

Ayra menggeleng beberapa kali. "Kan aku udah sering bilang, nggak salat Subuh bukan berarti Salat Duhur, Asar, Magrib, Isya nggak dikerjain juga. Justru, kalau kamu ninggalin keempat salat itu dosa kamu malah makin bertambah dan jadi banyak. Kamu nggak tahu, ya ninggalin satu salat wajib aja kita bisa dapat dosa yang besar, gimana kalau semuanya?"

"Iya, iya, Ra gue salat. Tapi besok," ujar Bintang seraya menyengir. "Udah sana buruan lo ke musala, abis itu langsung susul gue ke ruangan Om Farhan. Jangan lupa doain gue juga, ya." Setelah mengatakan hal itu Bintang langsung meninggalkan Ayra.

"Dasar, Bintang!"

// About Readiness //

Ayra yang baru saja keluar dari musala, seketika melambatkan langkahnya saat dia mendapati punggung seseorang yang sangat familiar di indra penglihatannya.

"Kak Akhtar, ngapain berdiri di sini?" Ayra memanggil seseorang itu yang memang Akhtar, dan yang dipanggil pun segera menoleh dan menatap Ayra.

"Lagi nungguin kamu. Tadi, pas mau keluar aku nggak sengaja ngelihat kamu di dalam."

Senyum Ayra seketika merekah, kekesalannya akan lelaki itu menguap begitu saja. "Tumben, Kak Akhtar nungguin aku. Ada yang mau diomongin, ya?" tebak Ayra. Pasalnya tidak biasanya Akhtar mau mengobrol dengannya jika bukan karena ada suatu hal yang ingin lelaki itu sampaikan.

"Benar. Tapi, kamu udah ketemu sama Om Farhan, kan? Tadi beliau cariin kamu," ujar Akhtar dan sontak mendapat raut terkejut dari wajah Ayra.

"Cariin aku? Maksudnya papa udah sadar?" tanya Ayra dengan mata yang mulai berkaca-kaca karena terharu dan bahagia.

"Loh, kamu belum ketemu?"

Bukannya menjawab pertanyaan Akhtar, Ayra justru langsung berpamitan dan segera berlari menuju ruangan papanya. Dia sudah tidak sabar ingin memeluk papanya dan menceritakan banyak hal yang telah terjadi saat pria paruh baya itu terbaring dengan mata tertutup beberapa hari belakangan ini. Demi papanya, di bahkan rela meninggalkan Akhtar yang sebelumnya menunggunya. Karena memang cinta pertamanya ada pada papanya, lalu setelah itu barulah ke Akhtar.

Selama berlari di sepanjang koridor rumah sakit untuk sampai di ruangan papanya, air mata Ayra terus saja berjatuhan, tetapi kedua sudut bibirnya saling menarik hingga menghasilkan kurva yang indah dipandang.

Allah, terima kasih banyak karena sudah mendengar doa-doa aku selama ini. Semoga aja, ini terakhir kalinya papa koma, batin Ayra di tengah-tengah dirinya berlari menuju ruangan Farhan.

// About Readiness //

Malaaam, setelah liburan lebaran, aku kembali lagi hehehe. Oh iya, aku mau ngucapin minal aidzin walfaizin buat semua pembaca cerita-ceritaku. Aku minta maaf, ya kalau ada buat kalian kesal karena cerita aku, hehehe. Dan terima kasih karena masih setia baca cerita ini. Seehuu di Chapter 15.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro