Chapter 13
Mengapa harus ada rasa sakit jika seseorang sudah merasakan jatuh cinta?
// About Readiness //
"Papa aku mau curhat ...." Ayra menarik napas dalam, lalu menatap lesu ke arah Farhan yang masih terbaring di brankar rumah sakit dalam keadaan mata yang senantiasa tertutup.
"Masa, ya pas pulang sekolah tadi, pas di koridor rumah sakit aku ketemu sama Mbak santri yang namanya Jihan." Ayra memulai sesi curhatnya sembari kedua tangannya mengelus lembut tangan Farhan yang tidak terinfus. "Dia orangnya saleha, berjilbab, keliatan kalem, dan wajahnya tuh adem gitu kalau diliat. Kalau Papa lihat Mbak Jihan, pasti Papa akan sepemikiran sama aku."
"Tapi, Pa aku kok kayak sakit hati ... malah cemburu kalau Kak Akhtar lagi ngobrol sama Mbak Jihan. Kenapa kayaknya Kak Akhtar akrab banget sama dia? Malah kayak peduli juga. Sikapnya Kak Akhtar ke Mbak Jihan itu beda banget, Pa, nggak kayak ke cewek-cewek lain yang deketin Kak Akhtar. Sebenarnya Kak Akhtar sama Mbak Jihan ada hubungan apa, sih, Pa?" Ayra terus saja bercerita, menyuarakan segala rasa penasaran akan hubungan Akhtar dan Jihan yang kembali bercokol di dalam hatinya setelah insiden tadi siang saat mereka bertemu dengan gadis berjilbab itu di koridor rumah sakit.
"Aku, kok kayak ngerasa ada sesuatu gituloh di antara mereka berdua, Pa Kalau aku lihat tatapan Kak Akhtar juga beda banget kalau ngeliatin Mbak Jihan. Tatapannya nggak kayak kalau dia ngelihat aku atau cewek-cewek lainnya," gumam Ayra seraya menatap jendela yang menampakkan langit yang tampak cerah. Tatapan matanya seolah menerawang kejadian di mana saat Akhtar menatap Jihan ketika mereka sedang berinteraksi.
"Apa karena Mbak Jihan berjilbab makanya tatapan Kak Akhtar ke dia beda gitu, ya, Pa?" tanya Ayra lagi, seolah pertanyaannya itu akan dijawab oleh Farhan yang sama sekali tidak pernah merespons apa pun ucapannya sedari tadi. "Kalau semisalnya aku pake hijab, apa Kak Akhtar akan natap aku kayak gitu juga? Tatapan Kak Akhtar yang beda waktu ngelihat Mbak Jihan itu kelihatan spesial dan aku juga mau, Pa ada di posisinya Mbak Jihan. Tapi ...."
Ayra menggeleng keras, kemudian kedua mata bulatnya menatap Farhan dengan serius. "Nggak! Aku nggak akan berhijab hanya karena ingin ditatap spesial juga kayak Mbak Jihan. Aku udah janji sama diri aku sendiri, kalau aku akan berhijab hanya karena tekad dan keputusanku sendiri, bukan karena Kak Akhtar ataupun tuntutan dari orang-orang terdekatku."
Ayra menghela napas panjang, lalu detik berikutnya tatapannya berubah sendu tatkala kedua mata bulat itu menatap lamat ke wajah Farhan. "Papa kok betah tidur, sih? Bangun, kek Pa. Aku kangen, tahu," ujar Ayra sambil menggenggam kuat tangan Farhan yang sedari tadi dielusnya.
"Papa harus bertahan pokoknya. Insya Allah secepatnya dokter dan Bang Adit akan nemuin donor jantung buat Papa. Papa nggak boleh nyerah, ya. Papa juga harus berjuang untuk kembali bangun," ujar Ayra kemudian berdiri dari duduknya, lalu sedikit membungkuk ke arah Farhan, dan detik berikutnya sebuah kecupan lembut mendarat di kening pria yang masih terus menutup matanya itu, tanpa tahu kapan netra di balik kelopak matanya akan terbuka kembali.
Aina tersenyum getir sembari menatap Ayra yang sedang memeluk papanya yang masih terbaring lemah di atas brankar. Wanita paruh baya itu mendengar semua apa yang Ayra katakan pada papanya, tetapi tidak ada niatan untuk menghampiri putrinya itu. Dia takut jika saja kehadirannya membuat waktu Ayra yang sedang mengeluarkan keluh kesahnya pada Farhan akan terganggu, walau pada kenyataannya tidak seperti itu, sebab selain pada Farhan Ayra juga sangat terbuka kepada dirinya.
"Ma, ngapain?" Aina tersentak, lalu seketika menoleh ke arah putra keduanya yang kini sedang menatapnya dengan bingung.
"Kakak, ngagetin mama aja. Udah berapa kali mama bilang, kalau mau masuk harus salam dulu, biar orang di dalam nggak kaget liat kedatangan kamu yang tiba-tiba," omel Aina pada Althaf.
"Ya, maaf, Ma. Lupa," ujar Althaf seraya meringis pelan.
"Loh, Mama sama Kak Al baru dateng?" Ayra yang mendengar suara mama dan kakaknya seketika berbalik dan berjalan menghampiri kedua keluarganya itu.
"Nggak. Gue baru aja nyampe. Kalau mama gue nggak tahu, soalnya pas masuk sini mama juga udah ada di sini," jelas Althaf kemudian berjalan menghampiri Farhan.
Ayra menatap Aina dengan tatapan meminta penjelasan. Bukannya langsung menjawab pertanyaan Ayra. Aina justru merangkul putrinya itu lalu memberikan kecupan singkat di pelipisnya.
"Kalau kamu ngerasa cemburu itu wajar, kok. Tapi kalau kamu ngelarang Akhtar untuk menjauhi perempuan yang kamu maksud itu, baru nggak wajar," ujar Aina sembari mengacak pelan rambut Ayra yang kini menatapnya.
"Jadi Mama denger semuanya?"
"Menurut kamu?" tanya Aina balik seraya tersenyum. "Udah, nggak usah galau-galau lagi. Kamu belum salat Asar, kan? Gih ke musala, sekarang gantian Mama sama Kak Althaf yang jagain papa," titah Aina yang langsung mendapat anggukan mengerti dari Ayra.
// About Readiness //
Setelah melaksanakan salat Asar beberapa menit yang lalu. Kini, gadis yang tengah mengenakan celana jeans hitam yang dipadukan dengan baju kaos berwarna abu-abu itu tengah duduk di taman rumah sakit ditemani sebungkus somay porsi lima belas ribu.
Suasana taman rumah sakit di sore hari itu, begitu tentram sehingga ada banyak orang yang juga bersantai di sana. Ayra hanya ingin menyendiri untuk sementara waktu, guna memulihkan mood-nya yang agak buruk setelah kejadian siang tadi di koridor rumah sakit.
Dengan kaki yang diayun-ayunkan pelan, Ayra masih sibuk menikmati somaynya yang sisa sedikit. Namun, saat tangannya akan memasukkan satu somay lagi ke dalam mulut, tiba-tiba saja terurungkan saat rungunya tidak sengaja mendengar suara tawa yang terdengar tidak asing di indra pendengarnya.
Gadis itu mulai mengedarkan pandangan, guna mencari sang empu tawa yang sangat dikenalinya, walau tawa tersebut jarang dia dengar. Namun, untuk tawa itu Ayra paling tidak bisa melupakannya.
"Kak Akhtar ... Mbak Jihan?" guman Ayra ketika mata bulatnya sudah menemukan suara tawa yang tadi didengarnya. "Kenapa mereka bisa di sini?"
Ayra terdiam, mengamati interaksi keduanya yang terlihat sangat akrab. Akhtar kelihatannya sangat terbuka dengan gadis itu, beberapa kali juga lelaki bertubuh tunggi itu tersenyum, yang membuat gadis bersamanya juga ikut mengembangkan senyum.
"Sebenarnya Kak Akhtar sama Mbak Jihan ada hubungan apa?" Lagi-lagi pertanyaan Ayra hanya akan didengar oleh semesta tanpa bisa memberinya jawaban yang membuat rasa penasarannya hilang.
Ayra bangkit dari bangku taman yang sedari tadi didudukinya, kemudian meraih botol minuman bersoda yang tadi dia letakkan di sampingnya. Dengan membawa somay yang belum habis dia makan juga minumannya, Ayra menghampiri mereka.
"Kak Akhtar ...," panggilnya setelah tiba di hadapan Akhtar dan juga Jihan yang sedang duduk di bangku taman, tetapi ternyata bukan hanya ada mereka berdua di sana, Oya pun juga ada dan duduk di tengah-tengah keduanya sembari menikmati susu kotak rasa stroberi kesukaannya.
Akhtar dan Jihan sontak menatap Ayra, begitu juga dengan Oya.
"Ayra. Kamu kenapa di sini ...." Mulut Akhtar yang masih ingin kembali bersuara, seketika terkatup rapat saat Ayra langsung memotong ucapannya.
"Memangnya nggak boleh, ya? Atau aku ganggu Kak Akhtar sama Mbak Jihan? Aku ke sini cuman sekedar mau nyapa Kak Akhtar aja, tapi kayaknya Kakak keganggu sama kedatangan aku. Ya udah, kalau gitu aku ke ruangan papa dulu, ya," ujar Ayra tanpa membiarkan Akhtar berbicara. "Oya, mau ikut Kakak nggak?"
Ayra beralih menatap Oya, dan gadis kecil itu pun mengangguki pertanyaan Ayra. "Mau, Kak Ay."
"Ayo!" Ayra mengulurkan tangannya pada Oya. Setelah Oya menyambutnya, Ayra langsung menggenggam tangan gadis kecil yang sedang mengenakan gamis hitam juga jilbab berwarna senada.
"Kak Akhtar, aku bawa Oya, ya. Nanti kalau anu, jemput aja di kamar papa. Duluan, Kak, Mbak." Setelah berpamitan kepada Akhtar dan Jihan Ayra dan Oya pun langsung meninggalkan mereka.
Aku nggak boleh sedih apalagi nangis. Ingat kata mama Ay, kalau kamu udah siap jatuh cinta itu tandanya kamu juga udah siap buat ngerasain yang namanya sakit dan patah hati, batin Ayra seraya menatap lurus ke arah depan.
// About Readiness //
Malaaam. Mau ngucapin makasih banyak yang udah setia bertahan sampai di chapter ini. Semoga ceritanya nggak buat kalian bosan, ya. Seehhu di Chapter 14.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro