Chapter 11
Usaha yang dibarengi dengan doa, insya Allah akan segera diijabah oleh pencipta bumi besrta isinya ini.
// About Readiness //
Saat tiba di rumah sakit Ayra segera turun dari mobil dan berlari memasuki area rumah sakit. Gadis itu bahkan tidak menunggu Akhtar, Fiya, dan Oya, saking paniknya. Namun, saat sudah memasuki rumah sakit, dia seketika menghentikan langkah, lantaran tidak tahu papanya berada di ruangan apa.
Saat gadis itu mengambil ponsel, hendak melepon Adit atau Althaf, tetapi tidak jadi saat ponselnya mati, karena lowbat. Raut kegelisan dan juga ke khawatiran yang terlalu kentara di wajahnya membuat beberapa orang yang melewatinya menatapnya dengan berbagai ekspresi.
Baru saja dia hendak berbalik untuk bertanya pada Akhtar, tetapi terurungkan saat suara Akhtar tiba-tiba terdengar di sampingnya, yang memberi tahu ruangan papanya berada di mana.
"Ay jangan lari ...." Terlambat, bahkan sebelum ucapan Akhtar selesai Ayra sudah kembali berlari. Namun, nahas karena tidak berhati-hati Ayra menabrak suster yang sedang membawa nampan stainlis yang berisi beberapa alat medis.
Suara nyaring antara lantai dengan alat medis dan nampan yang berdentum menghasilkan suara nyaring yang memekakkan telinga, hingga membuat beberapa orang di sana terkejut lantaran suara nyaring itu.
"Astagfirullah, Ayra."
Akhtar segera menghampiri Ayra dan refleks membantunya berdiri lantaran orang-orang di sana hanya memandangi Ayra begitu saja yang sedang ditegur oleh suster yang tadi ditabraknya.
"Maaf, Sus. Temen saya lagi panik soalnya papanya baru aja masuk rumah sakit," ujar Akhtar pasalnya Ayra hanya terdiam dengan tatapan kosongnya.
"Ya sudah tidak apa-apa. Lain kali jangan lari-larian di rumah sakit, bahaya kamu bisa terluka begitu juga dengan orang lain." Setelah mengatakan hal itu suster tersebut pun pergi setelah Akhtar membantunya memungut barang-barang yang tadi dibawanya.
"Kamu nggak apa-apa, Ay?" tanya Akhtar saat Ayra menatapnya dengan tatapan sendu sarat akan kesedihan.
Mendengar papanya masuk rumah sakit adalah hal yang paling tidak ingin dia dengar. Dia takut, sangat takut jika saja kejadian beberapa tahun lalu terjadi. Dia tidak bisa membayangkan jika saja papanya benar-benar pergi meninggalkannya.
"Kak Akhtar, papa nggak akan kenapa-kenapa, kan?" tanya Ayra parau.
Akhtar menggeleng pelan. "Berdoa aja, Ay. Semoga Om Farhan tidak kenapa-kenapa. Sekarang kita ke ruangannya, tapi kamu harus fokus sama jalanmu biar kejadian tadi nggak terulang lagi," ujar Akhtar sekaligus memperingati Ayra.
Ayra hanya mengangguk, kemudian berjalan bersisihan dengan Akhtar. Di tengah pikirannya yang sedang kalut karena ada berbagai persepsi yang muncul di kepalanya, gadis itu juga berusaha memfokuskan pandangan agar tidak menabrak orang lain untuk kedua kalinya.
Tak berselang lama keduanya tiba di depan sebuah ruangan VIP. Langsung saja Ayra masuk dan langkahnya seketika melambat saat berjalan menuju brankar yang digunakan oleh Farhan. Hatinya tiba-tiba terasa teremas, saat melihat ada banyak kabal yang menempel ditubuh Farhan.
"Papa ...," lirihnya saat tiba tepat di samping brankar Farhan. "Katanya Papa udah sehat, udah nggak sakit lagi. Tapi ini apa? Papa bohong sama aku! Kalau Papa udah sehat dan nggak ngerasa sakit lagi, nggak mungkin Papa balik lagi ke sini," gumamnya seraya terisak pelan.
Aina, yang tidak tega melihat putri semata wayangnya menangis seperti itu, lantas memeluknya dan menyelipkan sebuah kecupan di kepala gadis yang masih mengenakan jilbab itu.
"Udah, Sayang. Papa nggak apa-apa, kok. Cuman lagi istirahat aja. Udah, ya jangan sedih, kalau Papa tahu anak kesayangannya nangis gini pasti Mama sama kedua kakak kamu akan diomelin. Udah ya, Nak," ujar Aina dengan perasaan yang sebenarnya juga merasa sedih, tetapi dia menyembunyikan semua itu agar Ayra tidak lagi menangis.
"Kalau nggak apa-apa, kalau lagi istirahat, kenapa harus pakai kabel-kabel itu lagi? Kenapa juga istirahatnya harus di rumah sakit? Mama jangan bohong, aku bukan anak kecil lagi, Ma yang akan percaya aja sama omongan Mama setelah lihat kondisi papa kayak gini," ujar Ayra sembari mendongak menatap Aina dengan tatapan kecewa lantaran Aina pasti sedang menyembunyikan sesuatu tentang kondisi papanya.
"Jadi, papa kenapa, Ma? Apa jantungnya makin parah?" tanya Ayra sembari menatap intens kedua netra yang memiliki warna yang sama dengan netra miliknya.
Mendapat tatapan seperti itu dari Ayra, Aina segera mengalihkan pandangan. "Mama nggak bohong, Ra. Pa ...."
"Mama jangan bohong," pekik Ayra tertahan dengan air mata yang semakin deras menganak sungai di kedua pipinya.
"Papa lagi kritis, dan papa butuh donor jantung secepatnya."
"Adit!"
Adit mengabaikan teguran Aina. Pria dewasa itu menarik Ayra dan membawanya keluar dari ruangan Farhan. Saat tiba di depan ruangan dan setelah mendudukkan tubuh Ayra di kursi tunggu, Adit berjongkok di hadapan gadis bermata bulat itu.
"Kamu boleh nangis, tapi jangan berlarut-larut. Dibanding terus menangis, kamu seharusnya membantu dokter untuk mendapatkan donor jantung buat papa," ujar Adit penuh dengan pengertian sembari menghapus air mata Ayra yang masih membanjiri kedua pipinya.
"Gimana caranya?" tanya Ayra sesegukan. "Atau jantung aku aja yang didonorin ke papa?" Pertanyaan yang spontan Ayra keluarkan itu membuat Adit menggeleng keras.
"Bukan gitu, Ra. Papa pasti nggak akan seneng kalau kamu donorin jantung kamu buat papa."
"Ya terus gimana caranya buat dapetin donor jantung secepatnya, Bang? Aku nggak mau papa pergi ninggalin kita semua," tanya Ayra frustrasi, dan detik berikutnya air mata kembali mengalir di pipinya.
"Abang nggak suruh kamu buat cari pendonor buat papa. Tapi Abang minta kamu bantu dokter mencari pendonor buat ayah dengan doa, Ra. Kamu tahu, kan usaha tanpa doa itu hasilnya akan sia-sia, begitupun sebaliknya. Ngerti?"
Ayra terdiam beberapa saat untuk mencerna penjelasan Adit barusan. Setelah mengerti barulah gadis bermata bulat itu mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. "Ngerti, Bang."
Adit tersenyum, kemudian bangkit dari duduknya dan sedikit membungkuk untuk mengecup kepala Ayra. "Jangan nangis lagi, ya. Kita semua sedih liat kamu nangis kayak tadi, apalagi kalau papa tahu, pasti dia yang bakalan paling sedih."
Ayra hanya mengangguk, lalu memeluk pinggang Adit. "Makasih, Bang. Aku bakalan berdoa dan minta sama Allah biar secepatnya papa dapatin donor jantung," ujarnya masih berada di dalam pelukan Adit.
Adit hanya mengangguk, kemudian mengusap pelan kepala Ayra. Di balik netra tajam milik pria itu ada sebuah kesedihan yang sedang dia tutup rapat. Siapa yang merasa tidak bersedih saat orang yang dia sayangi terbaring lemah di atas brankar rumah sakit? Hanya saja, pria itu tidak ingin menunjukkan kesedihannya lantaran jika dia bersedih siapa yang akan menguatkan anggota keluarganya yang lain?
// About Readiness //
"Buat kamu."
Ayra terlonjak, lalu mengerjap pelan saat mendapati sekotak susu cokelat terulur tepat di depan wajahnya. Gadis itu sontak mendongak, hingga pandangannya mendapati persensi Akhtar yang sedang berdiri di sampingnya.
"Makasih, Kak." Ayra menerima susu itu, lalu langsung menancapkan sedotannya dan detik berikutnya dia meminumnya.
Akhtar hanya mengangguk, kemudian duduk sedikit jauh dari Ayra. "Kamu tahu nggak, kenapa Allah kasih penyakit buat hambanya?" tanya Akhtar seraya menatap lurus ke arah depan.
Ayra yang tadinya fokus dengan minumannya, sontak menoleh ke arah lelaki itu. "Memangnya ada?"
Akhtar mengangguk. "Ada. Allah kasih penyakit buat hambanya agar dosa-dosanya berguguran selagi yang dikasih penyakit ikhlas menerimanya. Demam aja, dosa-dosa kita berguguran, apalagi kalau penyakitnya serius kayak Om Farhan," jelas Akhtar.
"Gitu, kah?" tanya Ayra dan Akhtar hanya menanggapinya dengan anggukan pelan. "Tapi, tetep aja aku takut, Kak. Takut kalau aja papa nggak dapatin donor jantung," lirih Ayra kembali sendu.
"Kan ada Allah, Ay. Apa kamu ragu dengan kuasa Allah? Allah kalau udah ngucapin kalimat 'kun fayakun' maka yang nggak mungkin akan jadi mungkin di dunia ini. Jadi, minta aja sama Allah, jangan capek berdoa sama Allah buat kesembuhan papa kamu."
//About Readiness//
Halaaaau, malam semua. Aku balik lagi buat update cerita ini hehehe. Makasih yah udah setia baca cerita ini. Seehhuu di Chapter 12.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro