Chapter 1
"Assalamualaikum. Papa!" Ayra berseru senang ketika memasuki salah satu ruangan PIV yang ada di sebuah rumah sakit. Yang kemudian disusul oleh seorang pria berusia 29 tahun di belakangnya.
Dengan langkah penuh semangat gadis bermata bulat itu menghampiri papanya yang sedang duduk di atas brankar rumah sakit. "Papa beneran udah sehat? Yang nyuruh Papa pulang dokter sendiri, kan? Bukan Papa yang maksa dokternya biar bisa dipulangin?" cerocosnya seraya berdiri tepat di hadapan papanya--Farhan.
Sebuah kekehan kecil keluar dari mulut Farhan. "Sayang, nanyanya satu-satu bisa?"
Yang ditegur hanya bisa menampilkan cengirannya. "Maaf, Pa. Kebiasaan."
"Mama ke mana, Pa?" tanya pria berusia 29 tahun itu setelah ikut bergabung dengan mereka.
"Mama kamu lagi urus administrasi. Sebentar lagi juga datang," ujar Farhan kepada anak pertamanya itu--Aditya.
Tak lama setelah Farhan menyelesaikan ucapannya, suara salam dari sosok yang dicari keberadaannya oleh Adit tadi memasuki ruangan. "Loh, kalian sudah datang? Sudah lama kah?" tanyanya seraya menghampiri mereka.
"Baru aja kami dateng, Ma. Oh, iya, Ma. Papa udah beneran dibolehin pulang kah sama dokter?" Pertayaan yang tadi dia berikan pada Farhan, kini dia tanyakan lagi pada mamanya--Aina.
Aina tampak mengangguk kecil. "Iya. Ya udah yuk, kita pulang sekarang!" ajak Aina, lalu mengambil tas yang berisi keperluannya dengan Farhan setelah tinggal hampir satu minggu di rumah sakit.
"Biar aku aja, Ma yang bawa tasnya," tawar Ayra seraya mengambil alih tas yang sempat dipegang oleh Aina. Kemudian atensinya beralih menatap Farhan. "Papa kalau nggak kuat jalan, digendong sama Bang Adit aja, ya?" ujarnya.
Farhan menggeleng pelan yang diiringi dengan tawa ringan. "Papa bukannya lumpuh, Ra. Papa masih kuat kok jalannya. Lagian Papa ini berat, kasian abangmu kalau harus menggendong Papa," jelas Farhan.
"Bang Adit tuh kuat, Pa. Masa dia bisa gendong aku, tapi buat gendong Papa dia nggak kuat?"
"Menurut kamu lebih berat papa atau kamu sendiri, Ra?" Kali ini Aina ikut dalam obrolan papa dan anak itu, sementara yang jadi objek obrolan sejak tadi hanya diam mengamati interaksi keduanya.
"Beratan papa, sih, Ma." Setelah mengatakan hal itu, Ayra kembali menunjukkan cengirannya.
"Ayo, Pa aku bantuin," ujar Adit lalu memegang tangan kanan Farhan. Setelah Farhan turun dari brankar, mereka pun berjalan keluar dari ruangan menuju parkiran.
Tak membutuhkan waktu lama, mereka pun tiba di mobil, kemudian detik berikutnya mobil milik Adit melesat meninggalkan rumah sakit. Setelah memakan waktu beberapa saat, akhirnya mobil berwarna hitam itu tiba di pekarangan sebuah rumah mewah yang dominan catnya berwarna putih.
"Assalamualaikum, papa pulang," seru Ayra setelah membuka pintu rumah lebih dulu, yang kemudian disusul oleh yang lainnya.
"Welcome, Papa hebatku!" Teriakan itu terdengar saat Ayra dan yang lainnya tiba di ruang tamu. Tampak seorang lelaki berumur 17 tahun sedang memegang baleho dengan tulisan 'selamat datang kembali papa hebatku' seraya tersenyum amat bahagia ke arah Farhan.
"Ih, Kak Al kurang modal banget, masa pake baleho itu lagi. Dasar pelit!" ujar Ayra pada seorang lelaki yang merupakan saudara kandungnya selain Aditya.
"Ini bukan pelit, Ra. Tapi irit. Kata mama, kalau barang-barangnya masih bisa dipakai, nggak usah dignti dulu. Iya kan, Ma?" ujar Al, seraya meminta dukungan dari Aina yang kini sudah mendudukkan diri di sofa, begitupun juga dengan Adit dan Farhan.
"Tumben, Kak omongan Mama kamu dengerin?" Bukannya menjawab pertanyaan dari putra keduanya itu, Aina justru melemparkan sebuah pertanyaan.
"Ya Allah, Ma. Anak tampanmu ini senantiasa, kok dengerin omongan Mama. Mama nggak boleh suuzan begitu," ujar Al membela diri.
Ayra yang mendengar ucapan Al, hanya bisa memutar bola matanya malas. Kakaknya itu terlalu percaya diri. "Papa harus istirahat. Ayo aku anter ke kamar," ujar Ayra seraya berdiri dari duduknya.
"Eiiits ... biar gue aja. Tadi, kan lo udah jemput papa dari rumah sakit. Sekarang giliran gue yang anterin papa ke kamarnya."
"Hish, Kak Al apaan, sih? Aku duluan kok yang mau anterin papa. Kak Al jangan ikut-ikutan deh," ujar Ayra seraya mendorong pelan Al agar menjauh dari hadapan papanya yang kini sudah berdiri.
"Heh, Bocil! Siapa yang ikut-ikutan, sih? Salah, kalau gue mau nganterin papa ke kamarnya?"
"Kalian kalau mau bertengkar harusnya liat kondisi juga! Ini papa masih lemas loh dan kalian dengan tidak pengertiannya malah bertengkar di depan papa. Cuman perkara siapa yang mau nganterin papa ke kamar kalian seribet ini. Kan, kalian bisa mengantar papa ke kamar sama-sama."
Ayra dan Al seketika bungkam setelah Adit bersuara. Jujur saja, Adit ini tipe kakak yang kalau marah bisa sangat menyeramkan dan tentu saja Ayra dan Al sangat takut dengan kemarahan seorang Adit. Walau dia orangnya terlihat pendiam, tetapi di balik itu dia adalah seorang kakak yang tegas, disiplin, dan keras dalam mendidik kedua adiknya.
"Ya udah. Ayo, Pa kita anterin ke kamar," ujar Ayra, lalu mengkode Al lewat matanya untuk ikut mengantar Farhan ke kamar.
Sementara itu Farhan dan juga Aina hanya bisa menggeleng pelan seraya tersenyum tipis. Kedua orang itu tahu jika Ayra dan Al sangat takut kepada anak pertamanya.
// About Readiness //
"Ayra." Panggilan serta ketukan dari luar kamarnya membuat gadis yang sedang fokus menatap layar laptopnya mengalihkan pandangan ke arah pintu kamar.
"Iya, Ma," jawab Ayra lalu beranjak dari kasurnya untuk membukakan pintu untuk sang mama. "Kenapa, Ma?" tanyanya setelah pintu terbuka.
"Mama mau minta tolong boleh?"
"Memangnya Kak Al sama Bang Adit mana?" Bukannya menjawab pertanyaan Aina, Ayra justru melemparkan sebuah pertanyaan.
"Mereka lagi sibuk."
"Lah kalau gitu sama dong, Ma. Aku juga lagi sibuk," ujar Ayra.
"Sibuknya kamu sama abang dan kakak kamu beda, Ra. Kamu pikir Mama nggak tahu kamu lagi ngapain?" tanya Aina seraya melipat kedua tangannya di depan dada.
Ayra hanya bisa menyengir. "Ya udah, sih, Ma. Kan, nonton juga kesibukan. Nanti sore aja, ya, Ma. Dramanya lagi asik-asiknya tuh, sayang kalau dilewatin," pinta Ayra seraya memasang wajah memelasnya.
"Kamu beneran nggak mau nolongin Mama? Padahal Mama mau nyuruh kamu balikin rantang makanan milik Tante Fiya yang ketinggalan di rumah sakit dua hari yang lalu. Ya sudah kalau kamu nggak mau biar Mama aja ...."
Belum sempat Aina melanjutkan ucapannya, Ayra sudah lebih dulu memotongnya. "Eh ... jangan, Ma! Biar aku aja, Mama istirahat aja di rumah. Pasti Mama capek, kan habis jagain Papa di rumah sakit. Ya udah aku berangkat sekarang, rantangnya mana, Ma?" seru Ayra begitu bersemangat. Wajah yang tadinya ia pasang selesu mungkin, kini sudah tergantikan dengan wajah yang penuh dengan kegembiraan.
"Loh, katanya lagi sibuk nonton drama? Ya udah kamu lanjutin aja, lagian rumah Tante Fiya dekat, kok. Biar Mama aja yang balikin rantangnya," ujar Aina, sengaja menggoda putri semata wayangnya itu.
"Ih, Mama ngambekan deh. Asal Mama tahu, ya akutuh rela tinggalin drama aku kalau untuk ketemu sama Kak Akhtar. Apa pun kesibukanku, nggak ada yang penting lagi kalau udah mau ketemu sama Kak Akhtar," ujar Ayra seraya tersenyum semringah.
Mendengar ucapan sang anak. Aina hanya bisa menggeleng pelan. Sudah bukan rahasia lagi jika Ayra mencintai Akhtar. Hampir semua keluarga dan orang terdekat Ayra tahu jika gadis itu tengah bucin-bucinnya pada Akhtar yang notabenenya adalah tetangga, kakak kelas, sekaligus sahabat Al.
"Kamu jangan genit, ya! Mama tuh nyuruh kamu balikin rantangnya Tante Fiya bukan untuk ketemu sama Akhtar." Peringat Aina seraya menyentil pelan kening putrinya.
"Ya, kan sekalian ketemu, Ma sama Kak Akhtar. Kalau kata orang nih ya, Ma. Menyelam sambil minum air," ujar Ayra kemudian tertawa.
// About Readiness //
Halau semua, jangan lupa tinggalin jejak, ya! Dan sampai ketemu lagi di Chapter 2. Terima kasih sudah menyempatkan diri untuk membaca cerita ini ;)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro