Selamat Malam, Pembaca Setia🥰
Udah di posisi nyaman belum?
Kalau belum, posisikan diri kalian senyaman mungkin dan ... Happy Reading!!!
+++
Dinda yang baru saja duduk, menatap kedua sahabatnya penasaran. Pasalnya, mereka nampak tidak menghiraukannya yang baru saja datang bergabung, akibat terlalu asik berbincang yang entah tentang hal apa.
Hari ini, ketiganya membuat janji untuk berkumpul seperti rutinitas biasanya di salah satu kafe favorit mereka. Dan Dinda, terpaksa harus datang terlambat karena ada kelas tambahan tadi.
"Lo tau nggak, Din?"
Dinda yang tengah melihat-lihat menu-barangkali ada menu baru setelah hampir dua minggu dia tidak pernah ke kafe ini dikarenakan kesibukan-mengernyit mendapati pertanyaan yang menurutnya random itu.
"Tau apa?" Setelah memanggil pelayan dan menyebutkan pesanannya, Dinda balik bertanya.
"Soal Arsya." Hanum angkat suara menjawab.
Alis Dinda nyaris bertemu. "Arsya? Siapa? Mahasiswa baru?" tanyanya kemudian.
"Kalau kita tau, nggak bakal nanya lo, Adinda!" Nora membalas dengan tidak santai.
"Ini lho, Din. Waktu itu, kita nggak sengaja dengar Isya nyebut-nyebut nama 'Arsya' ke Alen. Wajahnya tuh cemas banget, Alen juga kayak panik gitu pas tau si Arsya-Arsya itu katanya masuk rumah sakit." Hanum akhirnya menjelaskan apa yang dia dan Nora tidak sengaja ketahui sewaktu di parkiran kampus tempo lalu. Sesuatu yang menurut mereka sedikit ganjil.
"Kerabatnya kali. Mereka 'kan sepupuan." Dinda menanggapi dengan santai. Lebih ke tidak berminat sebenarnya. Mood perempuan itu selalu terjun bebas ketika mulai membahas masa lalu termasuk tokoh di dalamnya. Tapi, hanya sebatas masa lalu yang menyangkut hubungan Dinda dan Alen. Selebihnya, selama tidak mengundang sakit hati, Dinda sama sekali tidak keberatan, bahkan jika harus mengungkit hingga ke akarnya sekalipun.
Nora berdecak mendengar sahutan Dinda yang benar-benar tidak memuaskan. Padahal, Nora berharap ia tahu sesuatu. Kali-kali saja, apa yang sempat menjadi asumsinya ternyata sebuah fakta, mengingat kembali isi cerita Dinda yang menjabarkan alasan spesifik kenapa perempuan itu akhirnya memilih putus dari Alen.
"Kalau ternyata setelah malam itu, Isya hamil-"
"Hust! Nggak boleh su'udzon, Num." Dinda menyela cepat. Berhasil membuat Hanum sontak beristighfar. Mulutnya memang terkadang tidak sinkron dengan bisikan hati.
"Gimana, kalau kita buktiin aja?" cetus Nora menyampaikan ide cemerlang yang seketika muncul di otak cerdiknya.
"Apaan sih?" Sayangnya, Dinda nampak tidak menyetujui usulan Nora. "Lagian, ini kenapa malah jadi bahas Isya sama Alen, sih?"
"Ya 'kan, supaya kitanya juga nggak mikir yang nggak-nggak." Nora mencebikkan bibir seraya menatap Dinda kesal.
"Aku setuju, sih." Hanum menggaruk sebelah pipinya seraya menampilkan cengiran ke arah Dinda yang memberikan tatapan protes.
"Terserah kalian aja, deh. Tapi, gue nggak mau ikut-ikutan. Malesin banget."
"Aman. Lo tinggal nyaksiin aja, gimana kita jadi detektif selama masa penyelidikan." Dengan gaya yang berhasil membuat Dinda bergidik geli, Nora berujar sambil mengibaskan rambut pendeknya seraya mengedipkan sebelah mata ke arah Dinda yang hanya mendelik.
"Oh iya, tadi gue-" Ucapan Dinda tiba-tiba terhenti. Mata perempuan itu memicing ke arah meja di pojok kafe. Fokusnya itu berhasil mengundang tanya, hingga dengan didorong rasa penasaran, Hanum dan Nora turut mengikuti arah pandang Dinda.
Setelah tahu apa yang menjadi fokus Dinda, Nora berdecak. "Tunangan kesayangan lo, tuh!" Ia berujar sebelum kembali menikmati makanannya.
Hanum menatap Dinda lama sebelum menghela napas panjang. "Lo kenapa sih, mau nerima perjodohan itu?" tanyanya kemudian. Merasa kasihan terhadap nasib Dinda yang harus terikat hubungan dengan seorang Nanda.
Mengedikkan bahu, Dinda menyuap potongan Red Velvet Cake ke dalam mulutnya. "Awalnya karena gue nggak mau bikin nyokap kecewa, karena dia tuh udah terlanjur klaim, kalau Nanda cowok baik-baik." Dinda menjeda penjelasan demi menelan kunyahannya. "Tapi, setelah dijalanin ternyata nggak buruk-buruk amat." Dinda menatap kedua sahabatnya yang menatap heran. "Nanda tuh, termasuk loyal deh, buat ukuran tunangan. Ke mana-mana, sekarang lebih sering dianterin dia. Beli apa-apa, dianya yang bayarin. Kalaupun misal dia lupa bawa dompet atau semacamnya, duit gue pasti dibayar. Meski belanjaan itu punya gue sendiri." Tanpa sadar, Dinda tersenyum samar. "Yaaa, pokoknya gue termasuk pihak yang diuntungkan, sih."
Nora dan Hanum dibuat melongo oleh penjelasan panjang kali lebar kali tinggi Dinda. Tidak menyangka, sahabat mereka sudah mulai masuk perangkap Nanda.
"Bagus kalau lo nggak rugi." Nora buka suara. "Tapi, jangan lupa kalau dia itu gila."
"Siapa yang gila?"
+++AL+++
Ada yang mau join sama Nora dan Hanum buat jadi detektif, nggak?
Yang berminat, bisa langsung mendaftar di kolom komentar, yap!!!
See You Next Part👋
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro