X
Selamat siang para reader(s) yang semoga sudah menyiapkan mental untuk pemanasan sebelum mencapai part panas nanti ….
Ups! Jangan salfok lho yaaa sama kata "part panas"🤭
+++++
"Kita nggak maksa, Sayang …."
"Ya, tapi … kenapa harus pakai acara jodoh-jodohin?" Dinda menatap sang ibu dengan tampang memelas.
Setelah mendengar kabar mengejutkan dari Nanda di parkiran kampus tadi, keduanya langsung pulang ke rumah Nanda di mana Wirna juga tengah berada di sana, demi mendapatkan jawaban yang akurat.
"Kenapa nggak?" sahut Arman yang tengah duduk di sofa seberang sambil membaca majalah bisnis. Laki-laki paruh baya tersebut melirik Dinda yang terdiam dengan wajah nelangsa. "Nanda laki-laki dan kamu perempuan. Cocok, 'kan?" sambungnya santaj tanpa menatap lawan bicara.
"Ya nggak gitu juga konsepnya, Pa …," sahut Nanda seraya menatap sang ayah jengah. Masih menjadi tanda tanya, bagaimana bisa sosok hangat yang nyaris selalu bercanda di depannya ini dikenal sebagai pengusaha berdarah dingin.
"Jalani aja dulu. Siapa tau jodoh," kata Sari menimpali seraya menatap Dinda dengan tatapan lembut. "Kalaupun nggak berjodoh, ya udah. Anggap aja kayak kalian pacaran. Nggak mungkin dong, dari sekian banyak pacar kalian, semua bakal jadi jodoh kalian?" jelasnya kemudian sembari melirik sinis ke arah Nanda. Jangan kira Sari tidak tahu tabiat buruk anaknya itu. Hanya saja, sifat Nanda yang keras kepala sekaligus masa bodoh tentu membuat segala nasihatnya menjadi angin lalu bagi laki-laki itu.
Sejenak, Dinda dan Nanda kompak bertatapan. Dinda yang nampak enggan, sedangkan Nanda yang nampak seperti mendapatkan permainan baru.
"Tapi …." Arman sengaja menjeda ucapannya sambil melarikan tatapan ke arah Nanda setelah sebelumnya menatap Dinda sekilas. "Bukan berarti kamu bisa memperlakukan Dinda sesuka hati. Jangan sampai Papa dengar kamu nyakitin Dinda atau semacamnya, kalau masih mau menyandang marga Abbasy di belakang namamu." Begitu serentet wejangan yang lebih terdengar seperti peringatan yang diucapkan Arman dengan nada tegas penuh penekanan.
Seketika, tubuh Nanda menegang. Laki-laki itu meneguk saliva berat sebelum mengangguk pelan kemudian.
Di sampingnya, dalam diam Dinda tersenyum samar. Meski tidak dipungkiri, rasa kesal karena keputusan kedua keluarga ini yang terkesan tiba-tiba dan memaksa tetap melingkupi hatinya. Setidaknya, sebelum perang dimulai, ia sudah memiliki benteng kokoh yang tidak lagi diragukan kekuatannya.
Sedangkan Wirna dan Sari saling berpandangan dengan bibir yang sama-sama mengukir senyum penuh makna.
+++
Dinda tengah memasukkan barang-barangnya ke dalam tas, saat salah seorang temannya datang menghampiri. "Nih, catatan lo. Thanks, ya!" katanya dengan nada riang sebelum berlalu keluar kelas. Berikut para mahasiswa lainnya.
"Minjem lagi dia?" tanya Nora yang baru saja masuk ke kelas sambil menoleh ke belakang sekilas. Perempuan itu berjalan menghampiri Dinda yang sudah berdiri dari duduknya sambil menyampirkan tas di bahu.
Mengangguk, Dinda menghampiri Nora. "Kemarin dia nggak masuk–"
"Lagi?! Niat kuliah nggak, sih? Kalau gini 'kan, jadinya nyusahin orang. Keenakan banget hidup dia!" cecar Nora kesal. Perempuan itu berdecih malas mendapati respon Dinda yang terlalu santai. Sahabatnya satu ini, entah memang terlalu baik atau terlalu masa bodoh dengan polah teman-temannya. Yang jelas, untuk beberapa hal, Nora kurang suka dengan sikap Dinda yang membiarkan orang lain memanfaatkan kebaikannya begitu saja.
Mengibaskan tangan, Dinda merangkul Nora dan menariknya keluar kelas. Ketika memasuki pertengahan dosen 'berceramah' tadi, cacing di perut Dinda memulai aksi. Belum lagi, tadi pagi ia hanya makan sebuah apel akibat bangun kesiangan yang dikarenakan begadang menamatkan satu buah novel yang minggu lalu ia beli dan baru semalam sempat dibaca.
Dan bayangan akan lezatnya mie ayam berpadu es teh lemon di kantin seketika lenyap, saat sebuah suara yang tidak terlalu asing di telinga menginterupsi langkah keduanya.
Isya. Perempuan itu tengah berdiri di dekat pintu kelas, ketika Dinda dan Nora baru saja dua langkah keluar dari kelas. "Hai, Din … Ra," ucapnya menyapa dengan nada ringan. Tidak lupa, bibirnya turut menyunggingkan senyuman.
Nora hanya menanggapi dengan senyuman tipis. Berbeda dengan Dinda yang langsung bertanya tujuan Isya. Perempuan itu nampaknya sudah terlalu malas dengan basa-basi busuk yang selalu Isya lakukan. Jadi, dia lebih memilih bertanya inti dari tujuan perempuan itu sampai repot-repot menghampirinya secara langsung seperti ini. Bahkan, menunggu Dinda.
"Bisa kita bicara?" tanya Isya yang ditujukan untuk Dinda. Tatapan perempuan itu lantas beralih ke arah Nora yang memicingkan mata ke arahnya. "Berdua."
Dinda tidak langsung menjawab. Ditatapnya Isya yang belum juga melunturkan lengkungan di bibir. Sampai akhirnya, ia mengangguk. Memberikan isyarat kepada Nora yang tidak langsung disetujui sahabatnya itu. Dinda menganggukkan kepala. Meyakinkan Nora, jika ia baik-baik saja.
"Buruan ke kantin tapi! Sebelum jatah makan lo gue embat!" kata Nora sebelum berlalu. Tidak lupa, dilayangkannya tatapan tajam ke arah Isya yang ditanggapi seringai tipis oleh perempuan itu. Semenjak tahu apa yang sudah Isya lakukan pada Dinda di masa lalu, pandangan Nora tentang Isya berubah drastis. Sama halnya dengan Hanum yang sangat ingin membenci Isya, namun tetap dalam batas wajar. Karena ia sadar, tidak baik terlalu membenci sesuatu.
+++AL+++
Gimana?
Udah ada gambaran tentang sosok para tokoh di cerita ini?
See you next part ….
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro