Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

II

     Hulla…!!!

Cari posisi nyaman dulu, yuk, sebelum mulai baca.

Udah?


+++++

Sinar matahari yang menyelinap masuk melalui celah gorden sedikit mengusik tidur nyaman sesosok makhluk ciptaan Tuhan berjenis kelamin laki-laki. Bukannya langsung bangun karena sadar jika hari sudah beranjak siang, tangan laki-laki itu malah menarik selimutnya melewati kepala. Menghindari terpaan cahaya mentari.

Lima menit kemudian, di saat alam mimpi kembali ia pijak, gedoran di pintu kamar menariknya paksa untuk terbangun dari kenyamanan waktu istirahat setelah hampir seminggu berkutat dengan pelbagai tugas-tugas kuliah.

 "Nanda, bangun! Udah siang!" Teriakan di balik pintu sontak membuat kepala laki-laki itu berdenyut pening lantaran terduduk tanpa aba-aba. Bahkan sebelum nyawa terkumpul penuh.

Ingin mengumpat, tapi takut dosa. Alhasil, dengan langkah berat ia menuju pintu kamar. Membukanya, kemudian menjerit kuat. "Akh! Ma, sakit … astaghfirullah. Kekerasan sama anak ini namanya. Aw! Ma … Nan laporin ke Kak Seto lho, entar." Tangan kanannya refleks mengusap telinga kanan yang baru saja menjadi korban tangan sang ibunda hingga memerah. "Nanti kalo gara-gara ini Nan jadi nggak ganteng lagi, gimana?"

Di depannya, berkacak pinggang seorang wanita paruh baya dengan mata melotot. "Biarin! Biar tau rasa kamu!" sahut ibunya tanpa rasa kasihan sedikit pun. Tidak ada untungnya mengasihani Nanda, begitu yang pernah ibunya ungkapkan kala Nanda bertanya perihal sang ibu yang diperkirakan merupakan kerabat dekat macan betina.

 "Mama ngapain sih, bangunin Nan pagi-pagi buta begini? Ini tuh hari minggu kalo Mama lupa," ujar Nanda sembari menutup mulutnya yang menguap.

 "Pagi-pagi buta?! Ngigo kamu, ya? Tuh, lihat! Udah jam berapa sekarang?!" Telunjuk ibunya mengarah ke dinding kamar Nanda yang tergantung sebuah jam dinding dengan jarum pendek menunjuk angka sembilan. "Kamu lupa? Hari ini kamu janji mau nganterin Mama arisan, heh?!" Nada suara ibunya yang jarang lembut sudah menjadi hal lumrah di rungu Nanda. Gendang telinganya juga sudah cukup kebal dengan suara sang ibu yang tidak ada halus lembutnya.

Ada jeda beberapa saat sebelum Nanda menyahut. "Nggak bisa di-cancel aja dulu, Ma? Nan ngantuk banget, nih." Sambil memasang wajah memelas, Nanda mencoba bernegoisasi. Semalam dia lembur mabar bersama teman satu tongkrongannya. Entah pukul berapa akhirnya ia terlelap, yang jelas saat ini mata Nanda masih sangat-sangat mengantuk.

 "Apaan? Kamu ini! Udah kayak karyawan yang habis lembur aja. Udah-udah, sekarang kamu mandi, habis itu anterin Mama. Nggak ada bantahan lagi. Ngerti?!"

Menarik napas panjang, kepala Nanda mengangguk patuh. Memangnya dia bisa apalagi? Menolak permintaan sang ibu tentu bukan pilihan baik. Apalagi ini ibunya Nanda. Sri Kumalasari. Wanita yang tidak pernah lepas dari kipas di tangannya itu merupakan seorang ibu tulen. Dia memiliki segudang cara yang akan digunakan demi bisa membuat sang anak menuruti keinginannya. Dan Nanda, sama sekali tidak bisa menolak permintaan sang ibu. Bagaimanapun juga, ibunya merupakan cinta pertama sekaligus satu-satunya wanita yang tidak ingin ia sakiti hatinya. Menolak permintaan Sari, sama saja ia membuat ibunya kecewa. Dan Nanda tidak menginginkan hal tersebut terjadi atau ia akan menyesal sepanjang sisa usianya.

+++

      Ramai. Riuh. Suara tawa yang menggelegar tidak sekali dua kali terdengar menggema dari ruang tamu hingga ke lantai dua tempat di mana kamar Dinda terletak. Menutup buku, perempuan itu lantas memilih keluar kamar. Niat awal ingin menuju ke dapur untuk mengambil cemilan dan minuman dingin yang akan menjadi temannya menonton drama korea yang memang sedang menjadi virus kilat di nyaris seluruh penjuru negeri. Namun sayang, niat tersebut harus dikubur dalam-dalam, saat ibunya berseru. Memanggil namanya. Wanita paruh baya itu ternyata melihat sang anak yang tengah berjalan melewati ruang tamu.

   "Ini Dinda, Mbak?" tanya wanita sebaya ibunya yang tidak Dinda ketahui siapa namanya. Namun, ia merasa familiar dengan wajah wanita yang tengah menatapnya dengan ulasan senyum lebar tersebut.

  "Iya." Tangan Dinda ditarik pelan oleh sang ibu. "Din, ingat sama Tante Sari?" tanya ibunya kemudian.

Ragu-ragu, kepala Dinda menggeleng dengan kening yang sedikit mengernyit. "Nggak, Bun."

   "Tante kecewa lho, sama jawaban kamu, Din." Wanita yang belum berhasil Dinda ingat siapa sebenarnya itu menyahut dengan wajah yang dibuat sesedih mungkin.
    
    "Tante Sari ini tetangga kita dulu. Masa kamu lupa?" Tri Rekno Wirnasari, ibu Dinda memberi kode supaya sang anak menyalami Sari.

Memori Dinda terpaksa ditarik mundur demi mengingat tentang siapa wanita yang tengah menatapnya dengan senyuman lebar yang tidak luntur sejak tadi itu. Sampai akhirnya, ia menemukan pintu memori tentang wanita di depannya ini dalam ingatan. "Maaf, Tan. Habisnya udah lama. Tante apa kabar?" Pertanyaan basa-basi, namun bagi mereka yang sudah lama tidak bertemu, tentu itu pertanyaan utama yang wajib dilontarkan.

 "Alhamdulillah, baik. Tante pangling, lho lihat kamu. Dulu, masih kecil banget waktu suka main sama Nando," ujar Sari mengenang. Matanya sempat berkaca-kaca, itu yang Dinda tangkap sekilas.

 "Bunda ketemu Tante Sari nggak lama ini. Ternyata Tante Sari dan keluarganya tinggal nggak jauh dari sini. Di komplek Cempaka." Wirna kembali menarik lengan Dinda hingga terduduk persis di sampingnya. Beruntung, Dinda mengenakan pakaian rumahan yang cukup sopan. Rok payung di bawah lutut berpadu dengan kaus setengah lengan.

 "Kamu main-main dong, ke rumah," ajak Sari.

 "Insya Allah, Tan." Mungkin Dinda akan bertamu, tapi tidak sendirian. Bersama ibunya, tentu saja. Karena ia takut canggung, jika pergi sendiri. Apalagi, mereka sudah lama tidak bertemu ataupun berkomunikasi.

 "Masih kuliah, Din?" tanya teman arisan ibunya yang lain.

Mengangguk, Dinda menjawab, "iya, Tan."

 "Lulus nanti mau kerja dulu apa langsung nikah?" Pertanyaan yang ingin Dinda benci, jika sudah bertemu teman satu arisan ibunya yang terbilang rempong. Sayangnya, Dinda jelas tidak bisa menunjukkan secara terang-terangan rasa bencinya terhadap pertanyaan tersebut di depan para ibu arisan ini. Jaga image itu penting, kalau menurut Dinda.

 "Nikah aja langsung. Kayak anak Tante. Sekarang, hmmm udah enak dianya. Di rumah, nyantai sambil main hp. Maklum, suaminya menteri negara."

Dinda hanya bisa menanggapi dengan senyuman. Sedikit risih, ketika dihadapkan dengan situasi semacam sekarang. Alhasil, ia memilih undur diri. Beralibi ingin mengerjakan tugas kuliah. Beruntung ibunya pengertian dan peka terhadap anaknya yang mulai merasa tidak nyaman berada di tengah-tengahnya dan teman-teman satu arisannya.

Halaman belakang rumah menjadi pilihan Dinda. Mengurungkan niat melanjutkan langkah ke dapur. Ia perlu udara segar, setelah tadi merasa pengap dikerumuni ibu-ibu arisan.

+++AL+++

Gimana gimana gimana, udah ada gambaran tentang sosok Dinda sampai di sini? Atau Nanda?

Nantikan lanjutan ceritanya, yap!!!

See you next part👋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro